Bingung

1746 Kata
Hubungan Anika dan Alvin kembali kaku seperti biasanya padahal Anika berfikir kalau hubungannya dengan Alvin mulai mencair karena Alvin sudah SEDIKIT LEBIH BANYAK bicara padanya. Namun pemikiran Anika sirna ketika Alvin kembali diam atas pertanyaan Anika. Anika dan Alvin kini masih berada di restoran menikmati kopi yang mereka pesan. Sesekali Anika menatap Alvin sambil berfikir sementara Alvin sibuk dengan HP nya. Anika sudah kehilangan selera makannya. Spagethi yang begitu menggiurkan tiba-tiba tidak menggugah nafsu makannya lagi. Anika hanya memakan beberapa suap demi mengisi perutnya. Anika memiliki penyakit maag yang harus ia jaga. Anika tidak ingin merepotkan Alvin. Dengan kondisi hubungan seperti ini merepotkan Alvin dengan penyakitnya hanya akan menambah daftar rasa sungkan Anika. Anika bingung apa mungkin ia sudah melakukan kesalahan yang membuat Alvin marah padanya. Anika mencoba mengingat-ingat kejadian hari ini mulai dari ia membuka mata. Anika ingat betul Alvin tadi pagi masih baik-baik saja namun semua berubah setelah.... setelah Anika menerima telepon dari Dion. Anika merasa bingung memikirkan perubahan sikap Alvin. Anika merasa tidak mungkin Alvin berubah kembali kaku karena Anika menerima telepon dari Dion. Tidak ada apa-apa antara Anika dan Dion terlebih tidak ada apa-apa antara Anika dan Alvin. Jadi pemikiran Anika kalau Alvin berubah karena ia menerima telepon dari Dion rasanya sangat tidak mungkin. Anika menghela nafas dan helaan nafas itu jelas disadari Alvin. Alvin melihat wajah murung Anika sedikit banyak merasa bersalah. Alvin sadar pasti Anika bingung atas sikapnya tapi Alvin tidak bisa menutupi kalau Alvin kesal karena Anika menerima telepon dari Dion terlebih Dion akan kesini ke italy menyusul mereka berdua. Heck! Apa Dion seniat itu mengejar Anika. Pemikiran itu membuat rasa panas menjalar dalam hati Alvin begitu saja. Anika menatap Alvin yang masih sibuk dengan HPnya. Anika menghela nafas dan itu jelas tidak luput dari perhatian Alvin. Alvin tetap mengawasi Anika dari sudut matanya. "Setelah ini kamu mau kemana?" Tanya Alvin setelah mengalihkan pandangannya dari HP nya menatap Anika. Anika kaget karena Alvin terlebih dahulu membuka pembicaraan. "Hmm.. Venice?" "Oke," jawab Alvin cepat. Anika lagi-lagi menghela nafas. "Jangan terlalu banyak berfikir Anika. Nikmati saja liburan ini," ucap Alvin tanpa melepaskan tatapannya dari HPnya. "Iya," jawab Anika singkat. "Kapan Dion berangkat?" Tanya Alvin tiba-tiba. "Lusa Mas Dion berangkat," jawab Anika singkat. Alvin hanya mengangguk mendengar jawaban Anika. "Kamu berencana menghabiskan waktu di Italy sama Dion?" Anika kaget mendengar pertanyaan Alvin langsung menggelengkan kepalanya. "Enggak Mas, Aku nggak berencana seperti itu. Aku bahkan gak tau apa bisa bertemu Mas Dion karena Mas Dion bilang kan kesini untuk urusan pekerjaannya mencari supplier Wine," "Kalau kamu mau pergi sama Dion gak apa-apa. Aku nggak melarang. Siapa tau Dion jodoh kamu dengan begitu kamu bisa lepas dari pernikahan ini," Anika terkejut mendengar ucapan Alvin. Anika mulai yakin Alvin memang sangat terpaksa menikahinya dan ingin segera pernikahan ini cepat-cepat berakhir. Anika tertawa lirih. "Aku atau kamu yang mau segera lepas dari pernikahan ini Mas?" Tanya Anika sambil menatap Alvin. Alvin jelas melihat gurat luka dalam bola mata Anika. Apa Alvin sudah kelewat batas? Tapi apa yang Alvin ucapkan sudah benar. Begitu memang perjanjian mereka, pernikahan mereka akan berakhir ketika Anika menemukan orang yang ia cintai dan mencintainya. Alvin dengan senang hati akan melepas Anika dan Anika bisa melimpahkan segala kesalahan pada Alvin. Alvin tidak perduli dipandang jelek karena Alvin sudah berencana melajang seumur hidupnya setelah Mikhaela meninggalkannya. Bagaimana bisa Alvin mengkhianati Mikhaela. Tidak. Alvin tidak akan pernah sanggup melakukannya sekalipun Mikhaela sudah tidak ada di dunia ini lagi. Anika menatap nanar suaminya. Suami pura-puranya demi kebahagiaan orang tuanya. Hubungan mereka memang sekaku itu. Ketika ada perubahan kecil dalam hubungan mereka tiba-tiba karena sesuatu yang Anika tidak tau apa itu, hubungan mereka kembali ke titik nol. Anika menatap pemandangan kota italy dengan berbagai macam perasaan. Apa yang Anika harapkan dari pernikahan ini, pernikahan yang dibangun hanya atas dasar kesepakatan untuk tidak mengecewakan orang tua mereka. Anika tersenyum miris. Miris karena kehidupannya kini begitu terasa menyedihkan. Memikirkan nasib percintaannya sontak membuat mata Anika berkabut namun Anika mencoba menguasai emosinya sendiri. Terhitung sejak hari pernikahannya dengan Alvin sudah ribuan bahkan jutaan kali Anika menguatkan hatinya tapi apa Anika sekuat itu? Disebrang Anika ada Alvin yang sibuk menatap HPnya namun pikirannya mengembara entah kemana. Alvin berfikir setelah kehilangan Mikhaela, Alvin kehilangan kemampuan untuk mencinta. Alvin bahkan mendoktrin dirinya sendiri kalau wanita itu merepotkan, Alvin tidak ingin berhubungan dengan wanita lain yang mungkin akan menggeser posisi Mikhaela dari hatinya. Tidak. Tidak akan ada yang bisa menggeser posisi Mikhaela dari dalam hati Alvin. Alvin yakin itu. Anika memperhatikan pria dihadapannya. Anika merasa Alvin sedang sibuk menatap HPnya dan Anika cukup sadar diri untuk tidak mengganggunya. Anika pun berdiri dari kursinya untuk sekedar berjalan-jalan. Anika perlu udara segar. Anika merasa udara yang ia hirup kini begitu menyesakkan paru-parunya. "Mau kemana?" Tanya Alvin ketika menyadari Anika bangkit dari kursinya. "Aku mau berjalan-jalan disekitaran hotel sebentar. Aku tau Mas masih sibuk, Mas selesaikan dulu saja pekerjaan Mas. Nanti aku kembali ke kamar," Alvin mengerutkan dahinya, "Kamu nggak jadi mau ke Venice?" Anika menggelengkan kepalanya pelan. "Besok-besok aja. Kayaknya Mas juga masih sibuk. Aku juga masih capek. Kita masih punya banyak waktu disini jadi aku pikir masih ada besok-besok," Alvin mengangguk. "Oke kalau itu mau kamu," Anika tersenyum tipis dan pergi meninggalkan Alvin yang kini sudah sibuk kembali menatap HP nya. Anika berjalan keluar dari restoran sambil menghirup dalam-dalam udara disekitarnya demi menguatkan hatinya. Anika suka italy karena disini terkenal sebagai tempat dengan suasana romantis. Anika dulu sungguh berharap Italy akan menjadi tempat kenangan yang indah untuk dirinya dan orang yang ia cintai tapi kini Anika terjebak di Italy selama tiga minggu dengan laki-laki yang sama sekali tidak ia cintai. Anika tersenyum miris. Dunia Anika ternyata seutuhnya runtuh. Bukan hanya rencananya tapi mimpi-mimpinya, keingiannya dan semua itu membuat pondasi hati Anika perlahan tapi pasti runtuh. Anika berjalan-jalan mengelilingi area sekitaran hotel dan mencoba menata hatinya yang hari ini lagi-lagi mulai runtuh atau mungkin sudah runtuh. Anika berjalan menyusuri jalanan hingga Anika menemukan seorang anak perempuan yang nampak kebingungan. "Papaa.. Papa dimana?" Ucap anak itu dengan nada lirih. Mendengar anak perempuan itu mengucapkan bahasa indonesia. Anika mengira anak perempuan ini mungkin berumur 5 atau 6 tahun. Anika mengambil kesimpulan anak ini turis sama seperti dirinya. Anika menghampiri anak perempuan itu kemudian mensejajarkan diri dengannya. "Halo manis, Orang tua kamu dimana?" Tanya Anika dengan lembut. Anak perempuan itu hanya diam dan wajahnya jelas takut. "Jangan takut sayang, nama Kakak Anika. Papa kamu dimana? Mau kakak bantu cari?" Anak perempuan itu masih diam menatap Anika. "Kakak bukan orang jahat. Kakak cuma mau bantu kamu cari orang tua kamu boleh?" Tanya Anika lagi sambil tersenyum. Anak perempuan itu masih diam menatap Anika hingga akhirnya anak perempuan itu mengangguk. "Jadi, siapa nama kamu?" Tanya Anika lagi. "Lila," ucap Anak itu dengan suara khas anak-anak. "Jadi nama kamu Lila. Baiklah Lila perkenalkan namaku Anika," ucap Anika sambil menyodorkan tangannya. Lila menatap tangan Anika sebentar kemudian menyambut uluran tangan Anika membuat Anika tersenyum. "Ayo kita cari orang tua kamu. Kamu ingat kamu tadi dari arah mana? Atau kamu ingat nama hotel tempat kamu menginap?" Tanya Anika mencari informasi. Anak perempuan bernama Lila itu menggelengkan kepalanya. "Lila tidak ingat. Tadi Lila kejar balon Lila yang terlepas terus Lila sudah ada disini," ucap Lila dengan wajah hampir menangis. "Jangan menangis sayang. Kakak akan bantu kamu mencari orang tua kamu. Kamu tadi berada bersama Papa dan Mama kamu?" Lila menggeleng. "Enggak Kak. Lila sama Papa dan Tante Fara. Kata Papa, Mama Lila udah disurga," ucap Lila dengan nada sedih. "Oh sayang. Maafkan Kakak ya. Ayo kita cari Papa kamu dan Tante Fara," Lila mengangguk cepat. Lila tersenyum dan Anika bersyukur karena Lila sudah tidak takut padanya. Kini tinggal bagaimana cara Anika bisa menemukan Papa dan Tante anak ini. Anika berjalan mencari kantor polisi terdekat dan tiba-tiba seorang pria memanggil nama Lila dan memeluk Lila dengan kuat. "KALILA?!" Teriak seorang pria sambil berlari ke arah Anika dan Lila. "PAPAAA?!" Seorang pria berlari memeluk erat Lila. Lila pun memeluk erat pria itu kemudian menangis tersedu-sedu. "Maafin Papa.. Maafin Papa.." ucap pria itu dengan nada bersalah. Anika melihat pemandangan itu dengan perasaan lega akhirnya anak perempuan yang bernama Lila ini akhirnya menemukan orang tuanya. Lila melepaskan pelukan Papanya dan menunjuk Anika. "Papa ini Kak Anika yang mau bantu Lila cari Papa," Pria itu pun menatap Anika kemudian berdiri mengulurkan tangannya. "Terima kasih sudah membantu Lila. Perkenalkan saya Robby, Papa Lila," Anika mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Robby. "Saya Anika. Sama-sama." Kemudian Anika berlutut mensejajarkan diri dengan Lila. "Karena Lila sudah ketemu Papa jadi Kak Nika tinggal ya. Baik-baik sama Papa jangan sampai terpisah lagi," ucap Lila sambil mengelus wajah Lila. Lila mengangguk dengan semangat. "Terima kasih Kak Nika," Anika pun melambaikan tangannya pada Lila dan beranjak pergi meninggalkan Lila dan Robby. Anika tidak menyangka akan mengalami hal ini. Anika pun kembali ke hotel tempatnya menginap. Anika berjalan santai dan sempat mampir ke sebuah kedai gelato terlebih dahulu kemudian kembali berjalan santai hingga tidak terasa Anika sampai di hotel. Anika berjalan menuju kamar tempat ia dan Alvin menginap. Anika membuka pintu dan mendapati Alvin menatapnya dengan penuh amarah. Anika bertanya-tanya dalam hati. Kali ini apa lagi kesalahan yang sudah ia perbuat sehingga Alvin menatapnya seperti ini. "Sudah puas jalan-jalannya?" Tanya Alvin dengan nada dingin. Anika mengerutkan alisnya. "Mas kenapa?" "Kamu pergi dari tadi Anika?! Sudah 3 jam berlalu dan kamu pun tidak membawa HP kamu. Kamu masih bisa tanya saya kenapa?!" Ucap Alvin dengan nada tinggi penuh emosi. Anika berjengkit kaget mendengar suara menggelegar Alvin yang memenuhi ruangan. Anika tidak menyangka Alvin membentaknya seperti ini. "Aku.. Aku memang tidak membawa hp dari sarapan tadi dan tadi.. tadi aku ketemu anak yang terpisah dari orang tuanya jadi.. jadi aku tolong anak itu dulu," ucap Anika terbata karena syok dan takut. Alvin mengusap wajahnya dengan kasar. Melihat respon Anika rasa bersalah menyerang Alvin karena sudah menumpahkan segala kekhawatirannya pada Anika dengan membentak Anika. "Kamu disini tanggung jawabku Anika. Jangan membuatku susah. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan kamu siapa yang akan disalahkan orang tua kita? Tentu saya orangnya. Jangan seperti anak kecil," ucap Alvin dengan nada lelah. Mata Anika berkabut. Anika hanya mengangguk tanpa berniat menjawab. Sementara itu Alvin yang melihat respon anggukan Anika hanya bisa menghela nafas panjang dan memilih keluar kamar meredakan emosinya meninggalkan Anika sendiri didalam kamar. Sepeninggal Alvin, Anika menanggis sekencang-kencangnya melepaskan emosi yang berkumpul di dadanya. Semua peristiwa yang berjalan secara beruntun membuat hati Anika penuh sesak dan terasa berat. Perjodohan, pernikahan tanpa cinta, sandiwara pernikahan bahagia kini perjalanan bulan madu yang hambar. Oh Tuhan kuatkanlah hatiku..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN