Bab 11. Bertemu Sandra

1083 Kata
Winda tetap bisa bernapas dengan lega, meskipun dirinya belum mendapatkan akta cerai. Yang terpenting baginya adalah papanya tetap mendukung apapun yang menjadi keinginan dan keputusannya, termasuk berpisah dari Keenan. Sudah lebih dari dua minggu dia tidak lagi bertemu atau berurusan dengan Keenan, Winda justru merasa senang dan bahagia. Pikirannya tidak lagi akan terbebani dengan Dinar, dan dia akan siap seandainya Keenan yang mungkin saja suatu hari menikah dengan Dinar. Winda bahkan siap diundang dan akan mendatangi pernikahan mereka bila perlu. “Halo, Sandra.” “Hai, Jandaaaaa!” Winda terbahak-bahak mendengar suara renyah Sandra dan ucapan provokasinya. “Haha. Belum, Sandra.” “Kalo begitu aku sebut kamu istri yang teraniaya.” Winda menggeleng tertawa. “Ketemuan, ‘yuk,” ajaknya kemudian. “Kamu di mana, Win?” “Biasa di cafe depan gedung. Ada cafe baru di sini, aku baru saja sampai dan belum memesan apapun.” “Tunggu aku di sana!” Winda senang mendengar suara renyah Sandra, sahabat yang selalu mendukungnya dan tidak mau dia terpuruk. Sandra dalam waktu seminggu ini sedang ditugaskan atasannya ke Selangor, untuk mewakili perusahaan dalam rangka mengikuti sebuah seminar internasional tentang perekonomian dunia di sana. Semalam Sandra mengabarkan Winda bahwa dia baru saja pulang dan hari ini akan kembali bekerja ke kantor, tapi tidak terlalu sibuk. Tidak sampai sepuluh menit, Sandra sudah tiba di dalam cafe, dan duduk di depan Winda. Sudah ada minuman hangat yang dipesan Winda untuk Sandra. “Ini oleh-oleh dari Selangor untuk calon janda cantik,” ujar Sandra sambil meletakkan tas kertas kecil di atas meja. Sandra langsung menyeruput kopi yang sudah dipesan Winda, lalu berdecak nikmat, memandang wajah Winda yang semakin segar dan tentu saja cantik. “Tebak aku bertemu siapa di Selangor,” ujar Sandra memulai cerita perjalanan bisnisnya. Matanya berkilat-kilat yakin bahwa Winda yang pastinya akan terkejut di saat dia memberi jawaban, tapi dia ingin memberi kesempatan Winda menebak. “Ya mana aku tau.” “Aku beri clue deh, dan kamu pasti nggak menyangka.” “Ok.” Winda suka tebak-tebakan dan itu selalu menyenangkan perasaannya, Sandra tahu itu. “Dia laki-laki—“ Winda langsung tersenyum kecil dan menggeleng. “Dia teman kuliah kamu di Singapore.” Sandra meminta Winda untuk menebak. “Darren?” “Na.” “Noah?” “Na.” “Syarif? Huda? Hm … Jafar?” Sandra tetap menggeleng. Winda mengangkat tangannya dan menggeleng. Dia menyerah. Sandra lalu menyebut ciri-ciri laki-laki yang dia temui di Selangor, yang juga mengenal Winda dengan sangat baik, “Dia sangat mengenalmu, katanya pernah nyatakan perasaan sama kamu, tapi kamu nggak menjawabnya.” Winda menggeleng dan berdecak, “Budi?” Sandra tetap menggeleng. “San. Hanya Budi yang pernah nyatain perasaannya sama aku di Singapore dulu.” “Masa sih ingat Budi doang? Bukannya banyak yang suka kamu?” Winda berpikir lagi, “Farrel?” “Krisna.” Winda justru mengerutkan dahinya mendengar nama yang menurutnya agak asing. Sandra jadi heran melihatnya. “Kamu nggak kenal Krisna?” Winda menggeleng lagi. “Nama lengkapnya Jaya Krisna.” “Ck, ah, Jaya,” decak Winda. “Ingat?” “Ya, aku kenal, dan aku menanggapi perasaan sukanya kepadaku waktu kuliah dulu, dan aku memang menolaknya.” “Dia bilang kamu nggak membalasnya sama sekali.” Winda menggeleng, sejak menikah dan pikirannya yang dipenuhi kecurigaan dan kekecewaan, dia tidak lagi mengingat masa-masa kuliah di Singapura. Sandra mengamati wajah Winda yang tidak begitu semangat, dia tahu Winda yang mungkin menyesalkan pernikahannya dengan Keenan. “Dia kirim salam,” ujar Sandra. “Oh, bagaimana bisa dia bekerja di sana dan bertemu kamu, lalu menyinggung aku?” Winda akhirnya penasaran bagaimana bisa Sandra bertemu Krisna di Selangor. “Ah, biasa. Aku dan dia sama-sama ditugaskan perusahaan untuk mengikuti seminar di Selangor, aku berkenalan dengannya karena dia … oh my Gosh, he is fu***ngly handsome.” Winda tertawa kecil, mengingat sosok “Jaya” yang memang tampan dan menjadi rebutan mahasiswi di kampusnya. Tapi dia biasa saja saat Jaya menyatakan perasaannya, dan Winda tidak merasa dirinya spesial. “Ya, dia memang tampan,” gumam Winda pelan. Sandra mencebikkan bibirnya, karena Winda memuji Jaya setengah hati. Dia lalu melanjutkan ceritanya, “Aku dan dia satu grup dalam seminar, aku bilang aku dari Jakarta dan dia dari Singapore. Aku lalu mencoba mengakrabkan diri dengan menyebut memiliki sahabat yang dulu kuliah di Singapore, dan dia bertanya nama. Saat aku menyebut nama kamu dia langsung menyebutkan ciri-ciri kamu dan aku membenarkannya. Dia… akan pindah ke Jakarta minggu depan.” Winda mengangguk-anggukkan kepalanya. “Dia ingin bertemu kamu nanti, dia sempat menanyakan nomor kontakmu, tapi aku tidak memberinya karena aku bilang harus menunggu izinmu.” “Ya, berikan saja.” “Baiklah.” Sandra langsung membuka ponsel dan mengirim pesan untuk Krisna. “Dia juga tau kamu menikah dengan Keenan, dan … tau pula kamu akan bercerai.” Winda menghela pasrah, isu rumah tangganya begitu cepat menyebar, padahal dia belum mengikuti jadwal sidang cerai. Dia dengan cepat pula menebak bahwa mungkin saja karena Krisna menjadi anggota dalam grup reuni, sehingga dia mengetahui kabar-kabar terbaru seputar alumni. Apalagi pernikahannya dengan Keenan memang dirayakan besar-besaran di dua negara, Indonesia dan Singapura. Tentu gosip tentang dirinya juga termasuk yang ditunggu-tunggu. Sandra memainkan sendok kecil di dalam cangkir kopi hangatnya sambil memandang wajah Winda. “Apa sih?” decak Winda risih ditatap Sandra. Tatapan Sandra sarat godaan. “Ya ampun, San. Aku bahkan belum bercerai, kamu ada-ada saja.” “Ah, setidaknya kamu membalas perlakuan Keenan.” “Untuk apa? Nggak perlu. Aku nggak butuh perhatian Keenan.” Sandra bertepuk tangan, senang dengan keteguhan Winda, meskipun dalam hatinya dia menilai bahwa tidak salah Winda membuka diri. “Maaf, Winda. Mungkin selama ini aku sudah menganggap kamu seorang janda, karena selalu menjadi korban keegoisan Keenan.” *** Dinar cemas, sudah dua minggu lebih dia tidak mendapat kabar Keenan. Dia berkali-kali mencoba menghubungi Keenan, tapi tidak bisa. Dinar juga sudah mencoba menghubungi Rara dan Rara menjawab bahwa kakaknya itu sedang sangat sibuk dalam dua minggu ini, bahkan pergi lagi ke Eropa selama satu minggu. Ingin dia bertanya kepada kakaknya, dia tidak mau karena pasti Beno akan tetap menyuruhnya untuk menunggu. “Sudah Mas bilang, tunggu saja, dia pasti hubungi kamu kok.” Beno ikut menenangkan perasaan adiknya yang galau beberapa hari ini. “Mas nggak mau hubungi dia?” ”Ya dia lagi sibuk. Pesan Mas saja nggak dia balas.” Dinar berdecak sebal. Tapi, baru saja Beno mengatakan bahwa Keenan tidak membalas pesannya, tiba-tiba dia menerima sebuah balasan dari Keenan. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN