Krisna lalu bercerita bahwa dia mendapatkan kabar bahwa Winda akan bercerai justru dari Sandra ketika sama-sama menjadi peserta seminar internasional di Selangor beberapa minggu lalu.
“Ah, aku juga ingat bahwa kamu akan pindah ke Jakarta.”
“Ya, sekarang aku sedang menunggu kabar dari direktur perusahaan.”
“Di mana?”
“Aku pindah ke Biantara Group.” Krisna menghentikan bicaranya sebentar, bertanya, “Kamu tau perusahaan itu?”
“Ya, sedikit. Aku mengenal Dimas, tapi tidak dekat. Tapi keluarganya mengundang kami sekeluarga menghadiri undangan pernikahan papanya dengan Kinanti … aaargh.”
“Kenapa?” tanya Krisna yang heran melihat sikap Winda yang tiba-tiba menggeram, setelah sedikit menjelaskan tentang keluarga pemilik Biantara Group yang dimaksud Krisna. “Kamu merasa aneh dengan pernikahan pria tujuh puluh tahun dengan gadis dua puluh dua tahun?” tanyanya kemudian. Pemilik perusahaan Biantara Group yang bernama Arsa, berusia tujuh puluh tahun menikah dengan seorang mahasiswi muda berusia dua puluh dua tahun.
“Bukan itu, Krisna. Nama istri baru ketua Arsa yang mengingatkanku ke Keenan.”
Krisna tertawa menggeleng. “Kenapa kamu sangat membenci Keenan, Winda?”
“Masalah klise. Dia yang berselingkuh.”
“Ck ck ck. Wanita secantik kamu bisa-bisanya diselingkuhi.”
Winda mengangguk ragu, menutup wajahnya, dia benar-benar tidak mau menyinggung pernikahannya yang gagal, apalagi menyinggung Keenan.
“Ya, pernikahan papa Dimas dan Kinanti memang sedikit mengganggu proses penerimaanku untuk bekerja di sana. Karena adanya manajemen perpindahan kepemilikan perusahaan itu dari Ayah ke anak. Itu yang membuatku harus menunggu beberapa hari ke depan. Tapi aku yakin dalam bulan ini aku akan segera bekerja di sana.”
Winda berhasil mengusir kesalnya meskipun mengingat Keenan, dan merasa tidak perlu serius menanggapi segala hal yang bersinggungan dengan Keenan, nama seseorang yang hampir mirip dengan nama Kinan misalnya.
“Dan setelah itu, kita bisa bertemu lagi, kan?” tanya Krisna.
Winda membalas tatapan Krisna yang dalam menatapnya. “Jika ada urusan penting.”
***
Winda pulang dari acara reuni dengan perasaan puas, bertemu Krisna lumpayan menghilangkan gugupnya bertemu teman-temannya. Meskipun ada yang membuatnya gusar dan kembali menjadi bahan pembicaraan di antara teman-temannya, tapi ternyata setelah acara selesai, Winda dan teman-teman pun saling memaklumi. Poppy dan gengnya sempat pula meminta maaf kepadanya, dan Winda tidak begitu peduli apa mereka tulus meminta maaf atau tidak. Karena ternyata mereka agak segan dengan Winda, karena baru mengetahui bahwa Winda adalah donatur utama acara reunian mereka, yang menyumbang uang terbanyak.
“Sepertinya acaranya menyenangkan. Bertemu seseorang yang spesial?”
Cindy tanpa berbasa basi langsung menyindir Winda yang baru saja memasuki ruang tamu, dan duduk di atas bangku kecil sedang menukar sepatunya dengan sandal rumah. Dia melihat Winda yang lumayan ceria saat pulang.
“Ya, menyenangkan dan aku bertemu Krisna.”
Cindy tertawa kecil.
“Kakak ingat dia, ‘kan?”
“Tentu saja, dia yang menyukaimu … sang idola mahasiswi dan para staff kampus. Aku sampai pusing dengan banyaknya laki-laki yang menanyakan kamu.” Cindy mengenang masa-masa dulu ketika tinggal di Singapura.
Winda mengerlingkan matanya. Setelah kakinya merasa nyaman, dia bangkit dari duduk dan melangkah menuju tangga, hendak ke kamarnya.
“Keenan katanya mau resign.”
Kata-kata Cindy membuat langkah Winda tertahan.
“Oh ya?” deliknya. Winda gusar jika disinggung Keenan, merasa tidak nyaman mengingat suaminya itu. Hatinya terlanjur sakit mengingat pengkhianatan yang dilakukan Keenan, juga sikap acuh tak acuhnya selama menikah.
“Papa sedang mempertimbangkan untuk memindahkannya ke perusahaan makro Papa yang lain.”
Winda menggeleng tidak menyetujui tindakan papanya. “Kenapa papa nggak membiarkan dia pergi saja dari perusahaan. Papa apa nggak memiliki harga diri, terlalu bergantung kepadanya.”
“Aku setuju dengan apa yang kamu katakan, papa terlalu sayang sama Keenan. Tapi selama ini Keenan banyak membantu dan papa sangat mempercayainya.”
Winda menghela napas panjang, lalu menggeleng dengan ekspresi ketidakpedulian.
“Aku harap dia lebih baik ke luar saja, dan papa sebaiknya tidak takut jika suatu saat dia mengembangkan perusahaannyasendiri.”
“Papa sepertinya masih memiliki ketakutan yang besar jika suatu saat perusahaan Keenan bisa bersaing dengan perusahaannya.”
“Jika seperti itu, papa memiliki pikiran yang picik.”
Cindy berdecak kecil, menyetujui pendapat adiknya. Meskipun Keenan selama ini tidak bermasalah dalam pekerjaannya, tapi mendengar alasan akan bercerai, Cindy ikut menyesalkan Keenan yang terkesan tidak bertanggung jawab dan tidak peduli perasaan adiknya.
Winda hampir berbalik menaiki tangga, tapi Cindy kembali mengingatkan suatu hal kepada Winda, sedikit berseru saat berkata, “Jadi lusa nanti ke rumah Keenan, mengambil barang-barangmu? Aku punya waktu luang, dan bisa mengantarmu ke sana.”
Winda kembali menghadap kakaknya, “Ya, tapi kalo kakak sibuk, aku bisa datang sendiri.”
“Aku usahakan akan mengantarmu, Winda. Hm … akan kamu sudah buat janji dengan Keenan?”
“Nggak perlu membuat janji, selama Mbak Nira masih bekerja di sana, aku bisa masuk rumah itu, bahkan tanpa Keenan di sana.”
Cindy lalu membiarkan adiknya menaiki tangga dan memasuki kamarnya. Dia cukup prihatin dengan nasib rumah tangga adiknya, merasa tidak pantas Winda mendapat perlakuan yang semena-mena dari Keenan dan keluarganya. Dia juga sudah mengetahui bahwa keluarga Keenan yang sedari dulu memang kurang menyukai Winda dan lebih mengharapkan Dinar. Cindy jadi menyesalkan papanya yang dulu yang seakan memaksa Winda menerima perjodohannya dengan Keenan. Tapi saat itu sepertinya Winda memang langsung menyukai Keenan.
***
Erina menyambut kedatangan Dinar ke rumahnya dengan pelukan hangatnya. Hari itu dia sangat bahagia karena Keenan sedang berada di rumahnya. Akhir-akhir ini, Keenan beberapa kali mengunjunginya, bahkan sampai menginap di rumahnya beberapa malam. Bagi Erina, isu keretakan dalam rumah tangga Keenan dan niat mereka yang akan bercerai sedikit memberinya kebahagiaan, karena Keenan yang kembali dekat dengan keluarga serta perhatian Keenan yang hilang kini kembali.
“Tambah cantik saja, Dinar. Aduh, sudah lama Tante nggak ketemu kamu,” ujar Erina dengan wajah binarnya, senang dengan Dinar yang sangat sopan di depannya.
“Apa kabar mama kamu. Dinar?”
“Sehat, Tante, mama kirim salam untuk Tante.”
“Ah, harusnya diajak kemari juga dong.” Erina menyambut baik oleh-oleh dari tangan Dinar, berupa kue-kue kering.
“Nanti lain kali aku akan mengajak mama ke sini.”
“Begitu ‘dong. Soalnya Tante dan mama kamu sudah lama nggak bertemu.”
Sejak Keenan memutuskan menikah dengan Winda, hubungan Erina dan mama Dinar sedikit renggang. Maklum, sebelum ada ide perjodohan Keenan dan Winda muncul, Ratri sudah terlanjur yakin bahwa Keenan dan Dinar akan menikah, karena Erina yang sering mengatakan bahwa Keenan dan Dinar akan berjodoh, dan dia menyukai Dinar. Ratri pun sudah menyebarkan berita tersebut di keluarga besar. Malu pun tidak bisa terelakkan dari diri Ratri setelah mengetahui bahwa pada akhirnya Erina tidak kuasa menolak perjodohan yang diatur keluarga Winda. Ratri sempat menuduh Erina yang materialistis, padahal Erina sudah menjelaskan bahwa pernikahan itu atas kehendak Keenan sendiri dan dia tidak kuasa menahan keinginan Keenan tersebut.
Bersambung