Dinar keheranan melihat asisten rumah tangga keluarganya ke luar dari dapur menuju teras depan. Wanita setengah baya itu membawa baki dengan satu cangkir minuman hangat di atasnya. Dia tidak melihat adanya tamu di rang tamu.
“Buat siapa, Bik?” tanya Dinar yang masih heran, dia perlahan melepas pelukannya dari tubuh Keenan, dan Keenan beranjak dari posisinya, duduk di atas sofa tamu.
“Lo, belum lihat ke depan? Itu, Non, ada petugas dari asuransi yang mau bertemu pak Beno, katanya dia sudah punya janji dengan pak Beno, tapi pak Beno malah pergi, nggak tau ke mana. Emang ke mana sih, Non?” asisten itu malah balik bertanya.
Dinar mengerutkan dahinya, saat Beno pergi ke luar dari rumah dia berpakaian olah raga, dan menurutnya kakaknya itu mungkin sedang lari pagi keliling kebun teh. Biasanya jika Beno memiliki janji dengan seseorang, dia tidak akan lupa dan pasti akan menunggu di rumah. Tapi, kenapa kakaknya itu pergi dan tidak pula menitipkan pesan kepadanya.
“Non?” bibik itu memanggil Dinar yang sedang memikirkan sesuatu.
“Ya, Bik. Eh?” Dinar tergagap.
“Bibik ke depan ya? Mau kasih minum. Kasihan tamunya, nungguin.”
Dinar mengangguk membolehkan.
Akhirnya Dinar berdiri menghadap ke arah luar jendela rumah. Barulah dia melihat sosok wanita duduk menghadap ke arah pekarangan rumah.
Setelah asisten rumah tangganya kembali memasuki rumah, Dinar melangkah ke luar rumah. Dia tidak langsung menyapa wanita itu, akan tetapi memperhatikan wanita itu dari arah samping dengan berdiri di sisi pintu, sehingga wanita itu sama sekali tidak menyadari ada yang tengah memperhatikannya.
Dinar mencebikkan bibirnya saat mengamati penampilan wanita yang mengaku memiliki janji bertemu dengan Beno. Dia tidak menampik bahwa wanita itu sangat cantik, terlihat dari kulit tubuhnya yang terang dan mulus, juga betisnya yang indah terawat. Dinar bahkan sempat tidak percaya wanita itu adalah petugas asuransi yang biasanya berpenampilan standar dan tidak semewah ini. Apalagi cara duduk wanita itu seperti seorang pembesar. Lebih-lebih lagi saat wanita itu meminum teh, posisi duduknya tegap dan tidak berubah, menunjukkan dia bukan wanita sembarangan.
Dinar tersentak dari lamunannya saat mendengar suara Keenan dari dalam, dan dia terkejut karena wanita petugas asuransi itu menoleh ke arahnya, dan pada akhirnya wanita itu seperti menyadari dirinya diperhatikan cukup lama.
Dinar yang terkejut, langsung kembali masuk ke dalam rumah tanpa berkata apapun ke wanita itu.
Winda menghela napas panjang, dia melihat keterkejutan Dinar, dan dia tersenyum tipis. “Dasar bocah,” gumamnya dalam hati.
“Ya, Beno?” Ternyata Keenan sedang menerima panggilan dari Beno.
“Keenan, ada tamu di rumah. Dia petugas asuransi, aku menunggak dua bulan dan aku berjanji melunasi tunggakan itu sekarang secara tunai. Tapi sekarang aku sedang ada urusan yang sangat mendesak di kebun, jadi aku minta tolong kepadamu untuk mengatakan ke petugas itu agar kembali datang besok pagi.”
Keenan mengangguk menyanggupi. “Ya,” ucap Keenan, sempat terpikir kenapa Beno tidak menghubungi Dinar.
“Aku sudah mencoba menghubungi Dinar, tapi tidak dia mengangkat hapenya.”
Akhirnya Keenan mengetahui alasan Beno menghubunginya, dan dia pun mengakhiri panggilannya. Lalu terdengar helaan lega dari ujung sana.
Keenan lalu beralih ke Dinar yang duduk di depannya, memasang wajah serius saat Keenan menerima telepon dari kakaknya.
“Dinar, kamu suruh tamu itu masuk ke dalam,” suruh Keenan.
Dinar dengan malas bangkit dari duduknya, dan melangkah menuju pintu depan rumah. Dia merasa jengkel, karena entah kenapa dia tidak menyukai wanita itu di rumahnya, terkesan menyeramkan.
Dengan ekspresi wajah datar, Dinar menegur wanita yang sedang duduk di bangku teras. Ternyata wanita itu kebetulan baru saja hendak berdiri dari duduknya, seperti ingin merenggangkan otot-ototnya, karena sudah duduk begitu lama.
“Mbak, masuk saja,” ujar Dinar. Dia terkejut karena wanita itu tidak saja cantik, tapi tubuhnya tinggi dan langsing dan nyaris sempurna. Wanita itu melepas kacamatanya, menatap tajam Dinar.
Dinar cukup tersentak kaget akan tatapan wanita itu. Dia seperti mengenal wanita itu.
Winda masuk ke dalam rumah dengan sikap elegan dan tegap.
Sama seperti Dinar, Keenan juga tersentak melihat petugas asuransi yang menurutnya tidak biasa dan terkesan galmour dan elegan.
Keenan lalu mempersilakan Winda duduk di depannya.
“Mbak ….”
“Asriani.”
Keenan terkejut, dia mengenal suara wanita itu.
Winda langsung mengeluarkan map berisi berkas dokumen. Dia lalu membukanya di depan Keenan. Sementara Keenan malah memperhatikan wajah “petugas asuransi” itu dengan seksama, dan jantungnya langsung berdetak sangat keras, menyadari ada yang tidak beres.
“Winda.” Keenan baru menyadari bahwa yang duduk di depannya sekarang adalah istrinya. Winda sangat berbeda dengan penampilannya sekarang, sama sekali berbeda, sehingga dia tidak bisa mengenalinya.
Dinar juga sangat terkejut, dia sama sekali tidak menyangka bahwa petugas asuransi yang datang ke rumahnya adalah Winda, istri Keenan. Dia berdiri dengan sikap menantang, apalagi saat Winda sempat meliriknya, Dinar merasakan wajahnya memanas, karena hatinya yang panas.
Winda melepas wignya karena penyamarannya cukup berhasil. Mengibas rambutnya yang indah, dia lalu berkata dengan sikap sangat tenang, dan dia tidak mempedulikan Dinar. “Kamu tandatangani berkas perceraian kita,” ujarnya tanpa basa basi.
Jantung Keenan berdetak kuat. “Apa maksudmu, Winda?” tanyanya.
“Aku ingin bercerai. Tandatangani ini cepat.”
Dinar tampak tersenyum tipis, ada guncangan bahagia saat melihat kebingungan Keenan dan amarah Winda yang meledak-ledak. Dia senang usahanya yang tampaknya berhasil, Winda pasti marah karena foto-foto mesra yang dia kirimkan. Ah, sebentar lagi mereka bercerai dan dirinya bisa memiliki Keenan yang tampan dan gagah itu seutuhnya.
“Kita bicarakan dulu, tapi tidak di sini.” Keenan masih menolak menandatangani.
Winda menatap geram wajah suaminya yang merasa tidak bersalah sama sekali.
“Aku sudah tidak tahan, Keenan. Aku ingin bercerai darimu dan hidup tanpa kamu. Aku ingin kamu enyah dari hidupku.”
“Kamu gila, Winda.”
“Ya, aku memang gila, makanya lebih baik kamu singkirkan saja orang gila ini dari hidupmu, dan kamu tidak akan mendengar amarahku lagi tentang gadis ini, dan kamu bisa bersenang-senang dengan gadis licik ini.” Winda menunjuk-nunjuk sosok Dinar dengan telunjuk kirinya. Dia benar-benar marah, dan seperti ada yang meledak di kepalanya.
Keenan terkesiap, juga Dinar yang terkejut. Meskipun ini yang dia inginkan, tapi dia cukup gentar saat dia ditunjuk-tunjuk Winda.
Geram dan tidak mau kalah, Dinar maju ke hadapan Winda dan dengan cepat Keenan menahannya, dia tidak mau ada keributan hebat di antara mereka.
“Winda, kita pulang.”
“Aku tidak mau menginjak rumah itu lagi, Keenan. Tandatangani berkas perceraian ini, bahwa kamu menyetujui proses perceraian kita. Itu saja.”
Bersambung