Bab 8. Harapan Dinar

1049 Kata
Jika Keenan gusar dan kacau, sebaliknya, Winda sendiri merasa sangat lega setelah mendapatkan tandatangan Keenan. Meskipun masih tahap awal yakni berupa tanda tangan persetujuan dari Keenan, tapi Winda yakin bahwa proses perceraiannya akan lancar dan bisa disegerakan, dan dia bisa pula dengan segera menikmati kebebasan yang sesungguhnya. Sudah lama dia membutuhkan tanda tangan Keenan ini sejak terus-terusan mempertengkarkan Dinar, dan terakhir mereka bertengkar hebat beberapa hari sebelum Keenan melakukan perjalanan bisnisnya ke Palangkaraya, pulau Kalimantan. Keenan bahkan tidak sudi pulang ke rumah dan memilih pulang ke rumah Beno. Winda tentu sudah tidak tahan dan muak akan sikap Keenan yang tidak tegas dan ambigu ini, lebih baik disudahi saja pernikahannya selagi ada kesempatan dan bukti-bukti nyata terpampang nyata. Tak masalah bagi Winda yang harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Baginya yang terpenting adalah kenyamanan batin. Kini Winda sedang dalam perjalanan menuju rumah kedua orang tuanya di daerah Kemang. Dia tidak mau kembali ke rumah suaminya yang dipenuhi dengan kenangan buruk, di mana dia kerap bertengkar, dengan masalah yang selalu sama dan Keenan juga sepertinya tidak berniat menyelesaikannya. Winda berencana akan kembali ke rumah itu untuk mengambil barang-barangnya setelah keadaan lebih aman. Winda menatap nanar pemandangan di luar jendela mobil, mengingat kembali kejadian barusan. Matanya memanas saat dihina oleh Dinar yang mengatakan bahwa dirinya mandul dan tidak bisa memiliki anak. Dinar sudah keterlaluan. Tapi yang membuat Winda tidak habis pikir adalah bahwa Keenan yang tidak berdaya menghadapi sikap Dinar yang semena-mena terhadap dirinya, bahkan dia tidak berusaha mencegahnya, dan terkesan membiarkan. Apa dia tidak menyadari bahwa kata-kata itu juga menjatuhkan harga dirinya? Winda pikir tindakan yang dia ambil ini sudah sangat tepat, yakni bercerai dari Keenan. “Iya, Sandra?” Winda menerima panggilan Sandra. “Bagaimana, Winda?” “Aku berhasil mendapatkan tanda tangannya.” “Bagus, bagaimana perasaanmu sekarang?” “Lega, San. Aku nggak perlu khawatir lagi. Kamu benar, Keenan memang lebih menyayangi Dinar dari pada aku.” “Bukannya kamu sudah menyadarinya dari dulu?” “Maksudku, baru kali ini aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri bahwa Keenan memang takluk di depan Dinar.” Terdengar helaan napas lega dari ujung sana, dan ucapan selamat serta pujian meluncur deras dari mulut Sandra bahwa pada akhirnya Winda mengambil keputusan yang tepat. Winda menghela napas panjang, membayangkan hari-harinya ke depan, yang tentu akan mengalami perubahan. Dia yang biasanya lebih sering menghabiskan waktu di rumah dan di yayasan amal milik keluarga besarnya, ke depan, dia akan menghabiskan waktunya di kantor. Winda bertekad akan bekerja sebaik-baiknya di kantor perusahaan besar keluarganya. *** Meski pada akhirnya Keenan pulang dari rumahnya, Dinar merasa sangat bahagia karena tujuannya telah tercapai, yakni membuat Keenan dan Winda akan berpisah dalam waktu dekat. Dinar senyum-senyum sendiri di kamarnya, duduk di tepi tempat tidur sambil memangku bantal boneka hadiah dari Keenan dua bulan yang lalu. Berbagai rencana telah dia pikirkan untuk merebut hati Keenan, hingga dia bisa menikah dengan pria tampan itu. Dinar bertekad akan membuat Keenan bahagia, menjadi istri yang patuh, dan bukan seperti Winda yang angkuh dan sok kaya. Dinar sudah membayangkan dirinya yang suatu saat mengandung benih Keenan, dan memberinya anak. Lalu kehidupan keluarganya benar-benar bahagia. “Ih, senyum-senyum.” Dinar terkejut, mamanya tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya dan melihatnya senyum-senyum sendiri. Ratri lalu duduk di samping Dinar, memperbaiki rambut panjang dan tebal Dinar yang menutupi wajah cantik Dinar, lalu membelainya penuh kasih sayang. “Sebenarnya kamu yang diharapkan Tante Erina,” ujarnya pelan. Ekspresi wajahnya seolah mengingat momen beberapa tahun lalu, saat Keenan belum diperkenalkan dengan Winda. Bukan Keenan dan Beno saja yang berteman dekat, tapi juga Ratri dan Erina, mama Keenan. Keduanya kerap berbagi cerita dan pengalaman, dan juga saling mengundang acara keluarga masing-masing. Termasuk menyinggung hubungan dekat Keenan dan Dinar, berharap keduanya bisa lanjut ke pelaminan. Namun, sejak Keenan menikah dengan Winda, hubungan Ratri dan Erina tidak sedekat sebelumnya, belum lagi Erina yang sering sakit-sakitan dan sering pula bolak balik rumah sakit, Ratri pun jarang bertemu Erina. Ratri memahami Erina dan Pandu, suaminya, menerima perjodohan yang diusulkan papa Winda, bahwasanya keluarga Winda telah berjasa dalam karir Keenan. Lagi pula Keenan juga tidak kuasa menolak. Namun, seperti yang telah dia duga, Erina yang pada akhirnya mengeluhkan sikap angkuh Winda setelah menikah dengan Keenan, yang tidak ramah dengan keluarga dan cenderung menyendiri. Dinar menghela napas panjang dan wajahnya menunjukkan penyesalan yang mendalam. “Iya, Ma,” lirihnya pelan. “Seharusnya aku yang menikah dengan Mas Keenan dan bukan wanita mandul itu.” “Dinar, Mama nggak setuju kamu kasar seperti itu tadi,” ujar Ratri yang ternyata juga mendengar teriakan Dinar yang kesal dengan Winda. Baginya, kata-kata itu sangat tajam dan tidak perlu diungkapkan. “Habis dia duluan bilang Dinar licik,” gerutu Dinar dengan bibir manyun. Ratri terkekeh pelan. “Itu karena dia cemburu sama kamu. Lagian kamu juga kata Mas Beno suka ganggu Mas Keenan.” Dinar melirik mamanya, lega karena mamanya yang tidak mengetahui bahwasanya memang dia yang memulai dan memicu pertengkaran itu dengan mengirim foto-foto kemesraannya dengan Keenan. Dinar meletakkan kepalanya di bahu mamanya. “Aku ingin jadi istri mas Keenan, Ma. Aku menyukai dan menyayangi mas Keenan.” “Mama tau, semua tau kamu dekat dengan mas Keenan. Ya, tinggal kamu atur siasat.” “Menurut Mama? Aku harus apa setelah ini?” Ratri menghela napas panjang sambil berpikir. “Kamu tenang saja dulu, tetap beri perhatian kepada mas Keenan.” Dinar tersenyum bahagia mendapatkan dukungan dari mamanya, yakin Beno pasti juga akan mendukungnya. Lebih-lebih lagi, Rara yang pasti sudah tidak sabar ingin dirinya menjadi saudara iparnya. Juga kedua orang tua Keenan. “Aku ingin membuat mas Keenan bahagia, Ma. Aku liat mas Keenan nggak bahagia dengan wanita itu.” “Iya, Mama juga tau itu. Tante Erina juga cerita akan hal itu, meskipun mas Keenan tidak pernah bercerita kepadanya tentang keadaan rumah tangganya.” Dinar menghela lega, “Mas Keenan pasti lega setelah ini. Hm ….” Tiba-tiba raut wajah Dinar berubah penuh tanda tanya. “Tapi kenapa mas Keenan sedih ya, Ma?” “Mungkin malu karena istrinya datang tiba-tiba ke rumah ini, lagipula kejadiannya mendadak juga tanpa dia duga. Kamu juga kaget, ‘kan?” Dinar mengiyakan dalam hati, meskipun dia sudah menduga bahwa pasti akan ada kejadian luar biasa setelah dia mengirim foto-foto dirinya dengan Keenan ke Winda, tapi dia tidak menduga bisa secepat ini dampaknya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN