Bab 18. Nakal Dinar

1061 Kata
Rara mengerutkan bibirnya saat berada di dalam ruang tamu rumah kakaknya, yang terlihat agak berantakan. Rara menebak mungkin karena emosi Keenan yang belum stabil pasca pertengkaran hebat dengan istrinya, juga istrinya yang sekarang tidak lagi tinggal bersamanya, menyebabkan tidak adanya waktu untuk berkemas. Sedikit membandingkan keadaan rumah Keenan sebelumnya, Rara pernah beberapa kali berkunjung ke rumah Keenan dan dia mengingat betapa rapi rumah kakaknya dan kehidupannya yang sangat teratur. Meskipun Winda terkesan angkuh, tapi Rara tahu Winda sangat menyayangi kakaknya. Ada sedikit rasa sesal melihat kakaknya, yang dia tahu pasti menyembunyikan kekecewaan karena perceraian yang dikehendaki Winda. Rara lalu melirik ke Dinar yang wajahnya cemberut, dia pun keheranan, ternyata Dinar sedang mengamati foto pernikahan Keenan dan Winda yang masih tegap terpampang di atas meja konsul. Rara merangkul bahu Dinar dan mengarahkannya untuk masuk ke dalam ruang keluarga tanpa harus memikirkan foto itu. “Mas mau istirahat dulu di kamar. Rara, kamu atur saja makanan untuk Dinar ‘ya? Mbak Nira tidak bekerja hari ini.” Rara mengangguk patuh, dan Dinar yang masih cemberut. Rara menghempaskan tubuhnya di atas sofa empuk di ruang keluarga, mengambil remote control TV dan menyalakan televisi layar datar berukuran besar. “Mau makan apa, Din?” tanya Rara sambil mengecilkan volume suara televisi. Dinar duduk di sampingnya, dan sekilas mengamati sekelilingnya. Dia pernah mengunjungi rumah ini sebelum Keenan menikah, mengakui dalam hati ada banyak perubahan, dan Winda yang memang memiliki selera tinggi dalam memilih isi perlengkapan rumah. Ada banyak perabotan mahal dan tertata rapi di dalam rumah Keenan. “Aku nggak lapar, Ra.” “Kamu kenapa sih mikirin foto. Itu ‘kan cuma foto dan kenyataannya Masku sudah menyetujui perceraian itu. Bukannya kamu yang semangat banget mau ke sini.” “Ya, tetap saja mengganggu pikiranku, Ra.” Rara menghela napas kesal karena sikap Dinar yang menurutnya tidak penting, tapi beberapa saat kemudian dia menyadari bahwa kecemburuan Dinar beralasan, mestinya kakaknya tidak meletakkan foto itu lagi di sana atau lebih baik membuangnya, karena dia sudah akan bercerai dan Winda sudah tidak tinggal bersamanya lagi. Seandainya dia di posisi Dinar, Rara mungkin akan merasakan kecemburuan. “Aku belikan fish and chips kesukaan kamu, dan gelato.” Dinar mengangguk lemah. Rara langsung meraih ponsel dan membuka aplikasi pemesanan makanan. Sementara itu Keenan terduduk di tepi tempat tidur. Wajahnya kusut karena begitu banyak yang menjadi beban pikirannya, terutama sejak bertengkar dengan Winda di rumah Beno. Pandangannya mengedar sejenak di seluruh penjuru kamar tidur, lalu menghela napas panjang. Saat matanya tertuju ke bantal yang biasa dipakai Winda, Keenan tertegun, terlintas di benaknya wajah Winda yang meregang puas saat dia setubuhi dengan kasar. Tangannya gemetar saat merasakan hangatnya cairan yang mengalir begitu deras dari tubuh Winda, dan suara teriakan Winda terngiang-ngiang di telinganya. Keenan berdecak, dia menerima notif dari Irman, sang mantan mertua, menawarkan sebuah opsi untuk dirinya yang akan ditempatkan di posisi yang sama di perusahaannya yang lebih besar. Sebenarnya Keenan ingin melepaskan diri dari bayang-bayang Irman. Keenan : Akan aku pertimbangkan, Pa. Irman : Kamu datang ke kantor Papa, kita bicarakan dengan lebih serius. Keenan : Baik, Pa. Irman : Kamu atur jadwal pertemuan dan cepat beritahu Papa Keenan : Oke. Meskipun akan bercerai dari Winda, bagaimanapun, Irman tetap dia sapa “Papa”. Keenan meletakkan ponselnya di atas tempat tidur, lalu beranjak menuju kamar mandi, ingin membersihkan diri. *** Makanan yang dipesan Rara sudah datang, dan ternyata Dinar pun menyukainya. Dia makan dengan sangat lahap dan Rara lega melihatnya yang mulai menyinggung soal lain, yakni kuliahnya. “Keren,” decak Rara yang memuji Dinar. “Iya, nilaiku dalam Matkul Bahasa Inggris paling tinggi sejurusan, dan aku mendapat hadiah dari dosenku berupa cokelat.” “Dosennya cogan nggak?” “Hm … ganteng sih, tapi bukan tipeku, aku nggak suka tipe cowok yang suka ngajarin ini itu, lebih suka yang penyayang kayak Mas Keenan.” “Wow, kamu benar-benar mencintai Mas Keenan.” “Ya, kamu kan memang tau sejak dulu, lagian pakai nanya cowok lain lagi. Hatiku sudah nggak bisa berubah, hanya Mas Keenan di dalam hatiku.” Rara tersenyum lebar, dan dia dengan semangat menghabiskan makanannya. Begitu juga dengan Dinar, dia menyukai makanan yang dipesan dan melahapnya sampai habis, padaha sebelumnya dia mengaku tidak lapar. Setelah makan dan kenyang, Rara dan Dinar masih asyik membicarakan banyak hal, sampai keduanya lelah dan merasa ngantuk. “Aku ngantuk banget, Din.” “Ya sudah, kamu tidur saja.” Rara tampaknya enggan ke kamar tamu dan memilih tidur di atas sofa, meletakan kepalanya di atas bantal sofa. “Kalo kamu mau istirahat, kamu bisa tiduran di kamar tamu, Din,” ujar Rara setelah menguap lebar. Dinar mengangguk. Dia sama sekali tidak mengantuk, meski kenyang, pikirannya tetap saja tertuju ke foto pernikahan Keenan dan Winda yang berada di ruang tamu. Dia sangat gusar membayangkan hari-hari Keenan saat pulang ke rumahnya, pasti mau tidak mau dia pasti akan melihat foto itu dan mengenang kebersamaannya dengan Winda. Bisa saja Keenan berubah pikiran untuk tidak menceraikan Winda dan kembali bersama Winda. Dinar mengganti saluran televisi, memilih film yang dia suka. Dia memilih film romantis yang dia suka. Baru saja film dimulai, terlihat adegan romantis. Dinar menahan napas saat melihat adegan romantis tersebut, sepasang kekasih yang tengah berciuman di atas tempat tidur. Tiba-tiba saja perasaan Dinar menghangat ketika membayangkan adegan itu adalah dirinya dan Keenan. Dinar menoleh ke belakangnya, melihat Rara yang tidur sangat nyenyak, dan napasnya yang terdengar teratur. Entah kenapa, Dinar tergerak ingin masuk ke dalam kamar Keenan. Sebenarnya dia ingin sekali berduaan dengan Keenan dan sedikit menggerutu karena ternyata Keenan juga mengajak Rara. Dinar pikir sudah saatnya dia harus memaksa Keenan dan memastikan perasaannya. “Aku harus melakukan sesuatu … aku yakin Mas Keenan pasti sedang membutuhkanku saat ini,” gumamnya yakin, mengingat kembali Keenan yang banyak diam saat dia jumpai di rumah orang tua Keenan. Dinar bangkit dari duduknya, melangkah pelan menuju kamar Keenan. Ternyata kamar itu tidak dikunci sehingga dengan mudah Dinar membukanya. “Dinar!” Keenan sangat terkejut melihat Dinar yang tiba-tiba membuka pintu kamarnya sementara dirinya sedang polos telanjang. Dengan cepat dia meraih handuk dan menutupi tubuhnya hingga pinggang. Keenan baru saja selesai mengolesi tubuhnya dengan pelembap. Dinar sendiri tersenyum kecil, dan bibirnya gemetar melihat tubuh polos Keenan. Dalam hati dia memuji tubuh atletis Keenan yang sempurna, sepadan dengan wajahnya yang tampan lagi gagah. “Dinar, Mas mau ganti baju dulu, kamu bisa ke luar?” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN