Bab 4. Lelaki Pendusta

1053 Kata
"Dia masih istriku, Nes!" seru Agha sedikit kesal. Pria itu tidak akan membiarkan Fara pergi dari sisinya begitu saja. "Kalau begitu cepat ceraikan dia. Katanya cuma aku wanita satu-satunya yang kamu cintai," sela Nesa berkacak pinggang. "Tidak semudah itu, Nesa. Jangan menekanku, nanti aku pasti ceraikan dia kalau waktunya tepat," bujuk Agha mulai putus asa. Tidak mengira niat hati ingin menyenangkan Nesa, malah berujung ketahuan. "Halah, kamu bilangnya selalu begitu sejak awal. Aku sudah bosan menunggu, Mas! Mengertilah, aku butuh perhatian kamu lebih. Apalagi aku sekarang tinggal sendirian, kan?" lirih Nesa menahan tangis. Dia paling tahu kelemahan Agha. Wanita itu menjadikan air mata sebagai tameng. Agha tampak melunak. Wajahnya tak lagi garang. Sejak awal Nesa selalu pandai mengambil simpatinya. "Sayang, Mas tahu kamu butuh Mas, tapi aku mohon, bersabarlah sedikit lagi. Semua ini tidak semudah yang kamu fikirkan. Mas punya tanggung jawab terhadap Fara dan lagi, Mas juga harus membalas hutang budi pada keluarga Fara. Kalau tidak karena ibunya Fara, Mas tidak akan bisa sampai sesukses ini," terang Agha berusaha merayu Nesa. Walaupun dengan tampang ditekuk, Nesa menghela napas kasar. Dia tidak rela sebenarnya Agha terus mendahulukan Fara. Apalagi dia belum terikat pernikahan yang sah. Otomatis bisa mengancam posisinya, tapi apalah daya, dia juga menikmati harta kekayaan Agha. "Baiklah, aku pegang ucapanmu, Mas. Ingat ya! Jangan sengaja mengulur-ulur waktu, apa kamu tidak kasihan sama aku? Tiap hari harus nunggu kamu tanpa kepastian," keluh Nesa lagi. Agha tersenyum simpul. "Iya, Sayang. Kamu tenang saja, Mas akan berusaha ada buatmu," bujuk Agha dengan kata-kata manis. "Nah gitu dong. Aku jadi makin sayang nih sama kamu, Mas," ujar Nesa manja. Bergelayut di lengan Agha sembari tersenyum licik. "Tunggu saja, Fara. Aku yang akan jadi ratu di rumah ini," batinnya senang. *** Fara menyeret langkahnya dengan gontai. Mobil ia parkir di pelataran halaman yang sangat luas. Rumah sang ibu bergaya modern dengan halaman yang penuh bunga dan pohon berimbun. Kepulangannya kali ini berbeda. Bisa jadi Fara tidak akan pernah kembali ke rumahnya bersama Agha, walaupun itu artinya dia harus merelakan lelaki itu merampas harta bendanya. "Bunda," panggil Fara pelan saat membuka pintu depan yang tidak dikunci. "Loh, Non Fara? Kok nggak bilang-bilang kalau mau pulang. Tau gitu Bibi bersihin kamarnya," ucap seorang wanita paruh baya seumuran dengan ibunya-Bik Sumi. "Ah, nggak papa, Bik. Nanti Fara bersihin sendiri. Oh ya, bunda di mana?" tanya Fara celingukan. "Ada, Non. Di halaman belakang," balas Sumi. "Kok dibiarin, Bik? memangnya bunda udah enakan?" tanya Fara lagi. "Itulah, Non. Nyonya ngotot minta keluar kamar. Katanya jenuh di dalem terus. Pengen ngurus kebun gitu," jawab Sumi menjelaskan. "Ya sudah, Bik. Nggak papa, nanti biar Fara ajak masuk." Sumi pun mengangguk sembari berlalu, dia sudah lama bekerja sebagai ART sejak Fara berusia lima tahun. Bahkan wanita paruh baya itu sudah dianggap keluarga sendiri oleh orang tuanya. Fara beranjak menuju ke taman belakang. Tampak sang bunda dengan ringkih memegang tongkat memandangi bunga-bunga yang bermekaran. "Bunda," panggil Fara lirih. Hampir saja pecah tangisnya. Wanita itu menoleh dengan senyum lebar. Raut wajahnya terlihat berbinar mendapati Fara ada di hadapannya. "Sayangku, putri kesayangan Bunda," jawabnya merentangkan kedua tangan. Fara seketika memeluk erat sang bunda-Hanah Wulandari, hampir saja tangisnya pecah jika tidak teringat wanita yang telah melahirkannya itu tengah sakit keras. Hanah menderita penyakit komplikasi, dia berjuang untuk sembuh, hanya saja wanita tua itu tidak mau dirawat. Suaminya sudah berpulang terlebih dahulu ke pangkuan Tuhan. "Bunda kenapa keluar?" tanya Fara dengan wajah sendu. "Bunda kan harus banyak istirahat." "Bunda bosan di kamar terus. Bunda pengen jalan-jalan, pengen lihat yang seger-seger," balas Hanah dengan suara lemah. "Ya sudah boleh, tapi jangan lama-lama. Kalau Bunda sudah pulih, masuk kamar ya? Kata dokter, Bunda harus banyak istirahat," balas Fara dengan lembut. Hanah pun mengangguk dengan senyum lepas. Putrinya itu selalu saja mencemaskan dirinya. Sejenak paruh baya itu celingukan seperti mencari keberadaan seseorang. "Suamimu mana, Fara?" tanya Hanah dengan mata sendu. Wanita cantik itu menunduk sesaat sebelum kembali mengulas senyum lebar. "Mas Agha masih ada kerjaan, Bunda," jawabnya berbohong. "Jadi kamu ke sini sendiri?" Hanah memastikan. Fara pun mengangguk. "Kamu sudah ijin suamimu?" kening Hanah mengkerut. Seperti menyadari ada sesuatu yang salah pada putrinya. "Sudah, Bun. Dia mengijinkan." Fara berbohong lagi. Mana mungkin dia meminta ijin disaat ingin kabur sejauh-jauhnya dari Agha yang telah mengkhianatinya. Hanah menelisik sekali lagi raut wajah Fara yang tampak tegang. "Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu dari Bunda, kan?" tanya Hanah membuat Fara tercengang. "Ti-tidak. Tentu saja tidak, Bunda," jawab Fara sedikit tergagap dan memasang tampang semanis mungkin. Tidak ingin Hanah curiga dan sedih. "Baiklah, kalau begitu di mana suamimu sekarang?" Hanah terus saja memburunya dengan pertanyaan. "Itu-" "Saya di sini, Bunda." sebuah suara menyela dengan cepat. Belum sempat Fara melanjutkan perkataannya, Agha sudah muncul dengan napas memburu. "Lho, Nak Agha? Kenapa kok ngos-ngosan begitu? kata Fara kamu sudah mengijinkan dia kemari," ujar Hanah penuh kecurigaan. "Iya, Bunda. Saya memang sudah mengijinkan Fara tapi-" "Bentar ya, Bunda," sela Fara tidak membiarkan Agha menjelaskan. Dia langsung menarik lengan suaminya untuk menjauh dari sang Bunda. Membawa Agha ke dapur, Fara pun langsung menyemprotnya. "Mas, kamu ngapain sih ikut nyusul ke sini?" "Aku khawatir sama kamu, Fara," balas Agha memelas. "Jangan banyak alasan!" sanggah Fara. "Mendingan kamu pulang saja sana," lanjut dia. "Tidak, Fara. Mas tidak akan pulang tanpa kamu. Mas ke sini untuk menjemputmu," sambung Agha meyakinkan. Namun hati Fara sudah terlanjur sakit. Tidak ada perkataan lelaki itu yang bisa ia percaya sekarang. "Mas-" "Fara …. Nak Agha…." Suara lirih Hanah memanggil. Tampaknya wanita paruh baya itu mulai menyadari ada yang tidak beres. Fara tidak ingin Bundanya tahu bahtera yang dia jalani sedang dihantam ombak. "Ya, Bunda," jawab Fara dengan lembut. Dia pun segera berbalik dan menuju ke halaman belakang tempat Hanah bersandar di kursi goyang. "Kalian ngomong apa kok sampai menghindari Bunda segala," ucap Hanah begitu anak dan menantunya itu kembali ke hadapannya. Mereka berdua pun saling tatap. Fara menghela napas panjang. Mau tidak mau dia harus bersikap mesra walaupun saat ini hatinya sudah hancur berkeping-keping. "Oh enggak kok, Bunda. Tadi Fara cuma kaget aja kok tiba-tiba Mas Agha datang ngasi kejutan. Padahal dia sibuk banget di kantor," sahut Fara dengan senyum enggan. Hanah tersenyum lebar. "Oh kirain ada apa. Itu tandanya Nak Agha bener-bener sayang sama kamu." "Sangat, Bunda. Tidak ada wanita lain yang sangat saya cintai selain Fara," jawab Agha tanpa rasa malu. "Lelaki pendusta," batin Fara geram.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN