Fara memasuki rumah dengan langkah gontai. Rumah yang dibangun dengan hasil keringat dan jerih payahnya. Bahkan dia rela untuk meninggalkan karirnya sebagai model yang mulai meroket hanya demi seorang Agha. Namun apa yang dia dapat selain penghianatan dan perlakuan buruk mertuanya. Padahal selama ini sepedas apapun perkataan Yurike, selalu dia telan mentah-mentah. Hanya demi satu kata yang ia junjung, cinta.
Tidak ada gunanya lagi bertahan jika membuat luka semakin menganga. Fara memutuskan untuk pergi menemui ibunya. Sudah seminggu dia tidak menjenguk. Pertahanan yang dia bangun sudah runtuh. Yang ada hanya kecewa dan sakit hati. Dia mengusap sisa bulir air mata yang menggenang. Dia berjanji tidak akan terlihat lemah dihadapan Agha.
"Fara, kamu mau ke mana?" tanya Agha yang baru saja sampai dan memarkirkan mobilnya. Tampak Yurike dan juga Nesa keluar dari mobil. Wow, kejutan besar. Wanita itu rupanya ikut ke rumahnya.
"Aku mau ke rumah Ibu, Mas," jawab Fara dengan tatapan dingin. Tidak ada lagi rona bahagia saat mendapati sang suami pulang.
"Aku antar, ya?" tawar Agha dengan lembut.
"Tidak perlu, Mas. Kamu urus saja pacar barumu itu. Bukankah kamu ingin dia yang melahirkan keturunanmu," sahut Fara dengan sinis.
"Fara, jangan bicara begitu! Aku tahu kamu cemburu, tapi kita bisa bicara baik-baik." Agha berusaha membujuknya.
"Bicara baik-baik katamu? Kamu membawa wanita lain ke rumah kita tanpa izinku! Kenapa aku harus mendengarkanmu," sanggah Fara. Hatinya sudah lebih kuat sekarang.
"Laki-laki tidak perlu izin istrinya jika ingin menikah lagi," sela Yurike ikut bersuara. Nesa yang sejak tadi masih memperhatikan diam-diam mulai tersenyum angkuh.
"Dapat hasil merebut saja kok bangga," batin Fara.
Fara beralih menatap Yurike. "Begitu menurut Mama? Baiklah, jangan kaget jika nanti Bapak juga melakukan hal yang sama dengan Mas Agha. Menikah diam-diam di belakang Mama," ujar Fara dengan tenang.
"Jaga mulut kamu ya? Bisa-bisanya kamu ngomong kayak gitu," sahut Yurike tampak emosi.
"Loh, bukannya Mama sendiri yang bilang. Saya, kan hanya memperjelas." Fara mengulas senyum tipis.
"Sudah-sudah. Tidak perlu ribut-ribut hanya karena perkara sepele." Agha kembali menengahi.
"Sepele pala lu peyang." Fara ingin sekali membawa suaminya untuk diruqyah. Sejak kapan perkara selingkuh menjadi hal yang sepele.
"Fara, kita harus bicara. Mas bisa jelaskan semua. Mas janji akan bersikap adil jika kamu bisa menerima kehadiran Nesa di rumah ini," rayu Agha lagi.
Fara benar-benar tidak percaya dengan pendengarannya. Bukannya minta maaf, Agha justru memintanya untuk memaklumi. Sepertinya suaminya itu sudah sakit jiwa.
"Jadi, kamu ingin dia tinggal di sini?" tanya Fara dengan ragu.
"Benar. Aku tahu kamu istri yang baik. Agar tidak menimbulkan fitnah, aku ingin menikahi Nesa. Kamu dan Nesa bisa jadi teman nantinya," ujar Agha dengan yakin. Enteng sekali dia mengatakannya.
Fara mengusap wajahnya dengan kasar. "Maaf, Mas, tapi baik dan bodoh itu beda tipis. Aku bukan orang bodoh. Aku tidak mau dimadu dengan wanita ini, lebih baik angkat kaki dari sini," tolak Fara dengan lantang.
Karena insiden ketahuan di mall tadi, Nesa terus merengek ingin ikut ke rumah Agha. Sebelum ketahuan, dia tinggal di rumah sendiri yang masih nyicil. Bak gayung bersambut, Yurike pun juga mendesak Agha agar Nesa ikut tinggal bersama mereka.
"Fara!" seru Agha tak percaya kata-kata itu terlontar dari mulut Fara yang kalem.
"Ya?" jawab Fara dengan santai.
"Kamu masih menjadi tanggung jawabku," tambah Agha ngotot.
"Kalau begitu lepaskan saja aku supaya tidak membebanimu. Gampang, kan," potong Fara tak sabar.
"Iya, Mas. Ceraikan saja dia. Lagi pula kamu sudah punya aku. Kamu bilang sudah tidak mencintainya lagi," cetus Nesa menimpali. Rupanya sudah berani buka suara dia. Mentang-mentang Yurike ada dipihaknya. Agha hanya melotot agar Nesa tak ikut campur.
Fara tersenyum getir. Dasar pelakor tak tahu malu. Hasil merebut saja sombongnya minta ampun. Bukannya merasa bersalah, justru terang-terangan menantang perkara.
"Oh begitu? Jadi memang kamu tidak mencintaiku lagi? Bagus deh, kamu bisa menceraikan aku kapan pun kamu mau, aku juga bisa urus sendiri berkas-berkas perceraian kita, Mas. Kamu tinggal terima jadi," jelas Fara dengan santai.
"Lalu bagaimana dengan Bunda?" tanya Agha. Raut wajahnya terlihat khawatir.
"Memangnya Bunda kenapa?" Tatapan Fara mengejek. Bukan rahasia lagi jika Agha dulunya adalah sopir pribadi Nyonya Hanah—ibu Fara. Karena keuletannya dan baik hati, Fara pun jatuh cinta pada pria sederhana itu, tapi sekarang sang suami justru menusuknya dari belakang, bak kacang lupa kulit.
"Bagaimana jika sakit Bunda bertambah parah?" tanya Agha kembali memelas.
Fara berdecak keras. "Memangnya kamu masih peduli? Sudahlah, Mas. Tidak perlu banyak alasan. Ceraikan aku secepatnya supaya kamu bisa bebas."
"Tidak usah menghiraukan dia, Agha. Istri pembangkang macam dia tidak patut dipertahankan. Lagian ngapain juga kamu tanya-tanya ibunya. Itu bukan urusan kamu!" Yurike menyela dengan pedas.
Nyes. Sakit sekali Fara mendengarnya. Setidaknya sang mertua sadar bahwa semua kemewahan yang dia rasakan adalah hasil jerih payah Fara yang dia tabung. Bahkan Agha dan orang tuanya datang hanya membawa diri. Fara yang selama ini mencukupi kebutuhan mereka. Fara juga yang membeli rumah baru dengan tabungan pribadi. Namun, Yurike seolah menutup mata.
"Mama! Bisa diam dulu tidak? Bagaimanapun Fara masih istriku." Agha diambang dilema. Dia tidak bisa melepas Nesa namun dia juga tidak mau kehilangan Fara. Sungguh egois.
"Ya sudahlah terserah kamu." Yurike akhirnya angkat tangan dan berlalu masuk meninggalkan mereka yang masih berseteru.
"Minggir!" serunya sembari menabrak bahu Fara hingga wanita itu mundur teratur.
Tak tahan dengan sikap mertuanya dan kehadiran wanita lain bersama suaminya. Fara pun menaiki mobil yang baru saja dia parkir di halaman depan. Menyesal kenapa tadi dia tidak langsung saja ke rumah ibunya.
"Fara! Aku bilang jangan pergi. Kamu tidak boleh keluar rumah tanpa seizinku." Agha masih kekeh melarang.
"Maaf, Mas, tapi izinmu sudah tidak berlaku lagi bagiku sejak kamu mengkhianati ikatan suci pernikahan kita," lantang Fara menyela. Entah dia akan berdosa atau tidak. Namun yang dia rasakan saat ini hanya ingin menjauh, menepi dan menyendiri.
"Fara!" Agha semakin mengeraskan suaranya.
"Sst. Jangan berisik, kalau tetangga dengar, kalian bisa habis di sini. Pasangan yang bukan suami istri berada dalam satu rumah, apa tidak menimbulkan fitnah?" serang balik Fara membuat Nesa geram.
"Jangan macam-macam kamu, ya! Beraninya mengancamku," sahut Nesa sewot.
"Tenang saja. Aku tidak mengancammu, aku hanya mengatakan kebenarannya. ambillah suamiku, pelakor. Aku tidak peduli," lanjut Fara dengan mimik tenang. Respon yang dia tunjukkan di luar dugaan Agha. Pria itu berpikir jika sang istri akan menerima kehadiran Nesa dengan lapang hati sebab rasa cintanya yang teramat besar.
"Jaga mulutmu!" Nesa mengayunkan tangan ke udara namun segera ditepis oleh Agha. Pria itu memberi kode agar Nesa tetap diam.
"Fara! Aku mohon, kita bisa bicarakan ini baik-baik," rayu Agha lagi.
"Kita akan bicara lagi, tapi tidak sekarang, Mas. Maaf aku belum siap. Aku butuh sendiri," lanjutnya tanpa berpamitan. Dia segera membuka pintu mobil dan menginjak pedal gas perlahan.
Sayup-sayup deru mobil menjauh dari rumah mereka. Agha hanya mengusap kasar wajahnya.
Nesa mendengus kesal. Karena ternyata Agha masih mencintai istrinya. "Mas! Kenapa sih kamu selalu belain dia? Kamu nggak sayang lagi ya sama aku?" protesnya sinis.