9 - Debat Kecil

2146 Kata
Seperti biasanya,sesekali Mba Jena akan datang memeriksa apakah rumah akan rapi atau malah berantakan. Sudah mirip dengan seorang ibu yang sedang mengecek rumah anaknya bukan? Padahal aku dan Mba Jena hanya beda beberapa tahun saja. Mba Jena datang dihari selasa,setelah menunggu sekitaran sepuluh menitan aku akhirnya datang membukakan pintu untuknya. “Anindira… Kamu usianya 25 tahun kan? Cuci piring pas selesai makan kan bisa? Kenapa piringnya malah dibiarin bertumpuk begini? Kamu engga keganggu dengan baunya? Mba aja yang baru berdiri depan wastafel udah hampir muntah,” Kusandarkan bahuku di dinding,menatap punggung Mba Jena. “Nin?” “Mba,selagi bisa digituin dan masih ada piring yang dipake lalu mengapa harus dicuci cepat-cepat? Kan mubazir air Namanya Mba.” Mba Jena membalikkan badannya menatapku,tajam. “Apa Mba? Kesini mau ngapain? Perjanjian pertemuan kita itu lusa bukan sekarang. Dan sekarang aku lagi sibuk urusan piring nanti.” Jengah mendengarkan Mba Jena,kutinggalkan Kawasan dapur. “Mau cek rumahmu,Mba cuci piring sambal nunggu Chika pulang juga. Kamu lanjut ngetik aja jangan hiraukan keberadaan Mba,” Mau Mba minta ditemenin juga aku engga bakal mau,mending mengerjakan deadline yang sangat menyebalkan ini. Duduk dihadapan laptop kembali,sudah di bab 12 dimana Aydira masih koma membuat orang-orang merasa takut kehilangannya termasuk si kaya itu,kumainkan tanganku diatas keyboard menyalurkan semua khayalan yang makin banyak. Masih bisa kudengar dengan jelas suara air yang mengalir serta piring yang sesekali berdenting pertanda Mba Jena benar mencuci piringnya,tadinya rencanaku akan mencucinya sehabis maghrib. Tapi Mba Jena mau berbaik hati makanya kubiarkan,keberuntungan. “Nin,Cucian kamu udah sampe!” aku mendesis sebal,sejam lalu aku memang memasukkan cucian kedalam mesin cuci tapi lupa. “Biarin aja Mba,nanti kuurus.” Balasku dengan suara agak dibesarkan,mencoba berpikir apa yang akan ku ketik. Sebenarnya alurnya sudah kutulis dikertas selembar tapi tidak terlalu kujadikan patokan karena memang itu semacam pemancing ideku saja. suara langkah kaki membuat jariku berhenti menari diatas keyboard,berbalik menatap Mba Jena. Dia masih cantic di usia tiga puluan. “Udah sampe bab berapa?” “Jangan menanyakan bab Mba,belum jadwalnya dan ini masih ranah privasiku. Mba mau jemput Chika kan? Sana gih!” usirku tak tau terimakasih. Bukannya bersyukur ada Mba Jena yang mau membantuku malah mengusirnya. Kudengar tawa kecilnya,aku kembali menghadap laptop. “Nin,” baru satu kata ketikanku suaranya terdengar lagi, “Mba mau bahas sesuatu,penting. Kamu bisa jeda sebentar engga? Engga lama kok tidak akan membuat kamu kesal juga.” Dengan sabar,ku tatap kembali Mba Jena. Karena Kawasan kamar adalah privasiku maka aku keluar kamar berbincang dengan Mba Jena diluar,memintanya duduk tanpa memberinya minuman sama sekali. Mba Jena termasuk orang yang berjasa untukku. Sangat berjasa beberapa tahun yang lalu. “Mba pengen kamu ketemu sama seseorang,” “Seseorang? Pihak penerbitan lagi? Bukannya kemarin kita sudah sepakat jangan menerima tawaran apapun dulu? Biarin tertunda sementara soalnya udah banyak banget ya? Kok Mba egois banget,” kunaikkan kakiku diatas sofa dan duduk bersila. “Maksud Mba bukan itu,Nin. Kamu tau pembahasan Mba kemana kan?” Aku tertawa sumbang,”Mba tau sendiri aku engga suka?” “Anin…” “Apa Mba?” aku menatapnya menantang, “Pasangan penting,Nin.” Aku memutar bola mataku malas,ada apa sebenarnya dengan semua orang? Kenapa mereka selalu saja membahas pasangan,pasangan dan pasangan. “Mba,hidup tak selamanya berada di sisi suka sama orang. Banyak kok cara yang bisa kita tempuh untuk bahagia dan salah satunya mungkin mencintai atau mempunyai pasangan apalah itu. Tapi di aku engga,aku punya cara lain untuk bahagia.” Mba Jena masih terlihat tenang,dia masih berharap aku kesana? Karena aku begitu membebaskannya berada di dekatku makanya Mba Jena makin lancang? Ini bukan pertama kalinya Mba Jena mengatur pertemuanku dengan seorang lelaki bahkan sudah berulang kali,dan aku? Menolaknya. “Nin,Mba cuman mau happy.” Aku tertawa,happy katanya? “Ada banyak cara untuk happy Mba,dapat uang royalty happy,baca komentar para pembacaku juga happy Mba. Dengar film yang diadaptadi dari keryaku juga termasuk happy kok,bukan cinta aja yang buat orang happy.” Mba Jena awalnya mau mendekat padaku tapi dengan cepat kunaikkan tanganku pertanda melarangnya mendekat. “Kamu engga waras Nin.” “Engga waras Mba bilang? Bukan engga waras Mba tapi memilih jalan aman. Aku suka sendiri,takdir itu banyak,ujian Allah juga banyak bukan cinta-cintaan aja. Kenapa sih harus bahas cinta terus? Aku capek Mba,memuakkan.” Kuturunkan kakiku dari sofa,menunduk menatapnya. “Kamu yang capek,sedang Mba Engga.” Aku mendongak menatapnya,”Karena Mba engga tau,apapun.” Aku meninggalkan Kawasan sana menuju kamarku. “Selama ini aku selalu membiarkan Mba disekelilingku karena Mba dulunya yang menawarkan aku dikerjaan ini. Mba yang membantuku menemukan pekerjaan yang sesuai dengan apa yang akum au. Tapi Mba,jangan karena aku membebaskan Mba di sekelilingku makanya Mba berbuat lebih? Selama ini aku selalu bebas da-“ “Mba pengen kamu menemukan kebahagiaan yang sejati.” Aku mendengus kesal,kuberaskan semua kertas-kertas yang ada dimejaku menyimpannya dengan baik. “Anindira,kamu mau kan?” ternyata masih belum sadar juga, “Selama ini Alga paham dan sama sekali tidak menuntut apapun,lalu Mba Jena? Mba bahkan kenalin aku sama orang yang engga jelas.” “Nin,Mba kenal dia. Kamu sudah Mba Anggap sebagai adik Mba sendiri. Mba mana mungkin memperkenalkan kamu pada orang yang salah atau berkemungkinan untuk menyakiti kamu. Mba dan suami Mba kenal dia dengan baik,Nin.” Setelah membereskan semua kertasku dengan rapi dan teratur,kumatikan computer yang sejak tadi menyala. Kubalikkan badan menatap Mba Jena yang berdiri diluar kamar. Ekspresi khawatir mulai Nampak dari wajahnya. “Mba hanya berpikir kamu engga bakal suka sama Alga,Nin. Makanya Mba selalu mencoba mengatur pertemuan antara kamu dengan orang-orang yang Mba kenal bukan sembarangan orang. Mba hanya merasa kamu pantas bahagia makanya Mba terus mencoba.” “Mba siapa?” “Anindira!” Ku tatap matanya langsung,”Mba tau persis bagaimana bencinya aku sama kata mencintai ataupun dicintai. Aku tidak akan memandang siapa yang sedang berbincang denganku saat ada seseorang dengan tak tau dirinya terus mengusik hal yang tidak aku suka,” Mba Jena mundur beberapa langkah. Kuambil dompet kecil yang selalu tersedia di sisi ranjang,tak lupa mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu,aku menatap Mba Jena dengan tatapan kecewa yang mendalam. “Jangan bersikap seolah Mba kenal aku,bukan ranah Mba.” “Anindira!” Keluar kamar dan menguncinya,”Aku menghargai Mba Jena,tapi Mba sesekali lupa dengan Batasan yang selalu aku berikan. Hari ini pembahasan tentang apapun hanya sampai disini,aku akan menganggap Mba tidak mengatakan apapun dan menjadwalkan pertemuan.” Kutinggalkan Mba Jena sendirian dirumahku. Aku membenci setiap kali ranah yang seharusnya hanya untukku diusik orang lain,mungkin kemarin sekitaran dua hari lalu Ananta sempat membahasnya tapi dia tidak ketahap ingin memperkenalkanku dengan seseorang. Duniaku adalah milikku sendiri,aku tidak suka diatur apalagi diminta melakukan apa yang tidak aku suka. Apasih pentingnya cinta? Kenapa orang sekelilingku begitu bangga dengan kata itu? Aku membencinya dan sangat membencinya. *** Apapun yang menjadi masalahnya maka pelarianku adalah pantai,suara ombak yang menenangkan ditemani suara kanak-kanak yang begitu bahagia. Anindira akan selalu menjadikan pantai sebagai tempat pelarian yang sangat indah. Tidak ada tempat paling nyaman setelah pantai,sangat memukau dan aku menyukainya. Saat ini aku sedang duduk dipinggir pantai tanpa alas sama sekali,sandal rumahan yang kupakai tersimpan tepat di samping kakiku. “Mama mau kesana,” Anak kecil itu lucu,mereka suka bermain dan melupakan dunia dewasa yang sedang orangtuanya alami. Perempuan yang dipanggilnya mama dapat aku lihat penampilannya sedang tidak baik-baik saja. “Kesana aja sayang,tapi jangan dekat banget sama airnya. Mama tunggu kamu disini,oke?” dan sang anak berlari dengan riangnya kedepan sana. “Sendirian aja? Kalau saya tidak salah tebak,anda ini Anindira bukan? Salah satu penulis terkenal yang karyanya sudah di filmkan?” mendongak menatapnya,matanya menampakkan kesedihan yang mendalam. Tanpa izinku,dia duduk didekatku. “Saya memprihatinkan banget ya? Maklum,suami saya ketahuan sama perempuan lain di hotel dekat sini. Katanya keluar kota eh malahan kesana sini,” aku menoleh memperhatikan penampilannya ataupun wajahnya,padahal dia cantic ya? Tapi sejak kapan cantic menjadi alasan agar lelaki tidak selingkuh? “Kamu tau mengapa aku ceritakan ini padamu? Padahal bisa saja kamu membeberkan semuanya ke public mengingat penggemar karyamu yang sangat banyak.” Aku berpikir cepat, “Mungkin karena anda percaya pada saya atau karena saya orang makanya anda mengatakannya. Bukannya bercerita dengan orang asing nyaman banget ya? Disisi lain mereka akan langsung melupakannya setelah bertemu jadinya tidak akan menceritakannya ke siapapun terus disisi lain kita akan merasa lega karena sudah mengungkapkan keresahan.” Dia menatapku,aku tau itu. “Tidak salah sih,kamu kan penulis. Pastinya bisa menesehati orang bukan hal rumit,engga percaya juga bisa ketemu Anindira disini.” “Kamu cantic,” tuturku padanya. “Sayangnya kecantikanku tidak bisa membuat suamiku setia,karena yang dibutuhkan adalah kesetiaan bukan rupa. Aku kesana dulu,anakku makin dekat dengan air.” Mataku terus menatapnya,dari perempuan itu berbincang dengan anaknya sampai mereka berlalu,dan pertemuanku dengan perempuan tadi hanya sampai disana. Hanya sepintas tapi setidaknya bisa meluapkan sakit hatinya. “Anin sayang,waktunya makan. Ayo sarapan sama teman yang lain,masa mau dikamar terus?” “Anin mau makan perkedel,” “Iya,Ibu nanti kasi Anin perkedel yang banyak banget sampai Anin sendiri bingung cara ngabisinnya gimana.” Masa lalu ya? Kehidupam panti semasa kecil nyaman tapi semenjak memasuki Kawasan dewasa akan sangat menyebalkan sekali. Pantas saja Ananta begitu gigih mau pergi dari sana dan membiarkan Ibu panti melepaskan kami dengan enggan. “Beneran disini,” aku kenal suaranya tapi lupa dengan Namanya,seminggu yang lalu sempat menayapaku. “Mas Alga sibuk nyariin Mba Anin. Tapi katanya tungguin dia dulu soalnya masih ada urusan,Mba debat lagi ya sama kakaknya? Aku juga kadang debat sama kakakku tapi engga bisa lama-lama.” Menoleh menatapnya,aku mengingatnya. Dia pegawai yang ada di warung sana. “Ini baru jam menuju siang,matahari makin terik. Ayo Mba duduk kesana jangan disini nanti malah kepanasan. Ayok!” dia menarikku tanganku dan anehnya aku tidak menepisnya sama sekali,aku bahkan mengikutinya hingga dia menuntunku duduk di salah satu kursi warung di bagian luar. “Mba Anin yang cantiknya selalu bikin adem,saya bawain somay biar hatinya adem.” Keningku berkerut bingung tapi tetap menerima semangkuk somay lengkap dengan kecap dan sambalnya. “Selamat makan Mba Anin,jangan malu buat nambah,” kutanggapi dengan anggukan ragu. Jangan-jangan ini semua ulah Alga. Dengan sigap kuambil ponsel yang ada dikantung jaketku dan ternyata ada pesan baru dari Mba Jena. Mba Jena. Maaf Nin. Kamu tau sendiri bagaimana sayangnya Mba sama kamu,mungkin langkah yang Mba ambil salah tapi Mba cuman pengen yang terbaik untuk kamu,Nin. Maaf ya,Mba tau kamu ke pantai biasanya juga sudah menelpon Alga dan jelasin semuanya. Tapi katanya dia masih ada kerjaan makanya belum kesana dulu, Maaf ya. Ponselku kusimpan kembali hanya tertawa sumbang,menikamti somay yang tadi penjual berikan. Dia mungkin sudah mengenalku sejak lama mengingat aku sudah sangat sering kesini. Akunya yang tidak mengingat Namanya sama sekali. “Tadi Mas Alga nelepon aku berulang kali,panik banget nanyain Mba Anin tersayangnya ada disini engga? Aku awalnya jawab engga ada,tapi Mas Alga minta aku periksa sekitar. Ternyata sedang sibuk liat ombak,Mba gemesin.” Sambal mengunyah aku menatap tangannya yang mengambang di udara,seolah sedang bersiap menarik kedua pipiku. “Gemes banget,” ulangnya sekali lagi dan meninggalkanku. Ada pengunjung yang memanggilnya untuk mendekat makanya pergi. Tak lama dia kembali,memperhatikanku mengunyah somay. “Kamu mau? Kalau mau pesan aja nanti aku minta Alga bayarin punya kamu juga.” “Hahaha,Mba Anin lucu. Mba Anin cocok banget sama Mas Alga,sama-sama nyebelin.” Dia menjauh kembali dan it uterus berulang sampai waktu istirahatnya tiba. Padahal mungkin dia seharusnya duduk didalam sana,menikmati waktu istirahatnya tapi malah menemaniku diluar. “Nama kamu siapa?” tanyaku tiba-tiba,matanya yang tadinya hampir tertutup terbuka dengan cepat. “Wah engga sia-sia aku korbanin masa istirahatku,” Aku meringis mendengar sindirannya itu. “Namaku Azalia,dipanggil Lia. Gimana? Bakal Mba ingat engga? Tapi ini pertama kalinya loh Mba nanyain namaku setelah sekian purnama jadi langganan makanan disini. Tidak papa,karena Mba yang menanyakan sendiri jadi aku yakin Mba akan ingat. Azalia,dipanggil Lia.” Aku tertawa,Lia memasang ekspresi cengo dengan responku. “Mba Anindira memang unik,pantas Mas Alga engga bisa beralih hati.” Senyumku agak menipis,kayaknya Alga benar-benar dekat dengan mereka semua. Somay yang tadi kumakan sudah habis,aku sudah mengembalikannya pada penjualnya. Aku awalnya ingin membayar tapi katanya tidak perlu biar itu menjadi urusan Alga dan dia. Alga itu,dia memang orang aneh. Azalia,dia pamit makan siang membiarkanku sendirian diluar tanpa ditemani siapapun. Pemiliknya sudah mengenalku hanya aku yang tidak tau Namanya tapi hapal dengan wajahnya. Kuperhatikan sekitar,perempuan yang menyapaku tadi alias yang memergoki suaminya selingkuh sedang ada didepan sana. Sedang berdebat dengan lelaki,apa dia suaminya yang tak tau bersyukur itu? Demi kesenangan sesaat dia meninggalkan dunianya yang sejak dulu aman-aman aja? Memang begitu dunia rumah tangga,kadang berhasil kadang juga gagal. “Anindira,memperhatikan sesuatu?” aku mengenal ini dan juga Namanya. “Rambutnya engga diikat lagi,Alga?” “Sengaja. Kamu kayaknya engga suka banget kalau rambutku engga diikat.” Keningku berkerut,memandang Alga yang sibuk mengikat rambutnya. “Engga rapi.” Dan balasan dari ucapanku hanya tawa kecil olehnya,Alga dengan segala dunianya yang kadang membuatku tak habis pikir sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN