“Jadi dia brau saja ketauan selingkuh? Padahal dalam sudut pandanganlu perempuannya cantic.” Kuperhatikan sisi wajah Alga dari samping,aku baru saja menceritakan masalah perempuan tadi pada Alga.
“Tapi cantic bukan alasan utama sih,prianya aja suka main perempuan.” Main perempuan ya? Lakilaki mana yang bisa setia pada satu perempuan? Memangnya ada?
“Memikirkan apalagi,Anindira? Banyak sekali drama yang mengantri untuk berperang di otak yang ukurannya tidak seberapa itu,” entah kenapa aku tertawa mendengar apa yang Alga katakan,ada benarnya juga.
Jika mau dibandingkan dan dipandang dalam bentuk pemikiran Logika maka otak manusia tidak akan bisa menampung banyaknya drama yang harus mereka pikirkan diwaktu yang sama. Seperti ibu rumah tangga yang harus memikirkan biaya sekolah,biaya kontrakan,listrik ataupun air. Bagaimana mereka mendapatkan solusinya?
“Lia menemanimu kan?” dengan cepat aku mengangguk.
“Dia periang,” komentarku,sejak tadi pandanganku belum beralih sama sekali. Masih menatap Alga dari samping.
Kenapa jantungku tidak berdetak? Berdebar? Atau merasakan kupu-kupu berterbangan seperti perempuan pada umumnya?
“Jangan memaksakan diri,Anindira. Aku ingin balasan rasa yang datang dengan sukarela bukan dimulai dari kasihan karena nasibku yang tak kunjung kau suka,” Alga menoleh,mata kami bertemu.
“Hadiah paling indah dari cinta sepihak bukan balasan rasa,Anindira. Tapi kebahagiaan karena orang dicintainya perlahan mengarahkan hatinya kepadanya secara perlahan tanpa paksaan. Semisal,aku harus mencintainya,aku harus membalas perasaannya. Jadi,jangan terbebani dengan perasaan hampir 5 tahunku ini.”
Pandangan kami terputus,mataku memandang kedepan dimana perempuan tadi sudah pergi.
“Aku hanya sedang memikirkan bagaimana aku tak kunjung mencintai pria sepertimu,Alga? Tidak bisakah kamu tidak mencintaiku saja? aku sama sekali tidak pernah meminta dicintai oleh siapapun.” Tawa Alga terdengar,aku memandangnya. Apa yang salah denganku?
“Mencintaimu itu hakku,hatiku yang menginginkannya. Aku membayar makanan yang lainnya dulu,Mba Jena sudah pulang jadinya kamu bisa pulang melanjutkan apa yang tertunda tadi.” Alga mengedipkan matanya sekali padaku dan beranjak dari tempatnya.
Kuperhatikan segala interaksi Alga dengan orang yang ada,dia begitu ramah dan sangat suka bercerita kesana kemari. Dia adalah pria yang tidak pernah sekalipun menyerah mau berapa kalipun aku menolaknya.
Alga adalah keindahan yang tidak bisa ku kagumi sama sekali,keindahan yang hatiku tolak sejak awal. Yang hatiku inginkan hanyalah kehampaan bukan seorang pelangi seperti Alga itu.
“Anindira,” lamunanku tersentak,Alga sudah berdiri didepanku kembali.
“Terkadang,kita seperti sepasang kekasih yang begitu saling mencintai,” otakku dengan cepat menolak gagasan itu,pemikiran macam apa itu?
“Apalagi sikapmu yang tadi seakan menunjukkan kamu mencintaiku,sangat. Mereka tidak tau saja,selama hampir lima tahun lamanya. Kamu tetap dingin,api yang kubawa masih terus berada di tanganku dan belum mencairkan tembok esmu yang sangat kokoh itu.” Kupandang Alga dengan aneh,darimana dia belajar menjadi anak sastra?
“Hahah,aku suka apapun yang kamu perlihatkan Anindira. Yuk balik,takutnya hujan.” Dengan cepat aku mendongak. Sejak kapan langit berubah menjadi mendung padahal sejak tadi sangat cerah?
Sembari berjalan beriringan,disampingku Alga terus bercerita tentang pekerjaannya yang katanya aneh dan banyak.
“Tadi aku bertemu perempuan buta,dia mengatakan tak mau melihat dunia sama sekali. Dia ingin semasa hidupnya melihat kegelapan saja. karena takutnya saat dia melihat cahaya maka dia akan terus terobsesi mengejarnya hingga ujung dunia.” Aku berhenti dan Alga ikut berhenti.
“Kamu paham kemana pembahasannya kan?” lanjutnya dengan sedikit menunduk menatapku.
Lama berpikir,”Ya,aku tau kemana arah perempuan buta itu maksud. Kamu suka berbincang dengan pasien rumah sakit? Kamu tertarik dengan mereka?” tanyaku,lanjut berjalan.
“Aku akan sangat bahagia andaikan perasaanku terbalas,Nin. Karena arti pertanyaan itu untuk sepasang kekasih adalah kecemburuan. Nyatanya engga,kamu tidak merasakan apapun.” Helaan napasku terasa cepat sekali.
“Bukan tertarik Nin,aku suka dengan jalan pikiran mereka yang sangat mengagumkan. Fisik mereka memang cacat tetapi tidak dengan jiwa mereka. Mereka tidak butuh dunia untuk bahagia,tapi dunia yang butuh mereka untuk menciptakan kebahagiaan.” Tanpa sadar aku tertawa lagi,ku miringkan pandangan menatap Alga dengan tawa kecilku.
Aku suka dengan pemikiran Alga yang sangat luar biasa,mengagumkan. Itulah mengapa aku membiarkannya tetap di sekelilingku.
“Happy banget kalau pembahasannya begini,kamu sudah tertawa dua kali Nin.” Senyumku belum memudar sama sekali.
Alga,dia adalah orang yang punya sudut pandang unik dan hampir sama dengan pemikiranku yang terbilang aneh untuk orang-orang. Tapi Alga? Dia suka dengan apa yang aku katakan,selalu membelaku,melakukan apapun demi aku bahkan menentang ibu kandungnya.
Setiap perempuan selalu suka ada yang memahaminya sedalam ini,mencintainya dengan sederhana tanpa melibatkan ciptaan Tuhan. Hanya mengandalkan Jiwa dimana akan hadir saat kandungan berjalan beberapa bulan.
Bukan fisik tapi jiwanya,itulah yang harus kamu lakukan dalam memilih pasangan hidup. Sayangnya,aku belum sejuah itu dengan Alga. Mesikpun mungkin Alga telah sampai didepan pintu hatiku tapi aku lupa.
Dimana aku menyimpan kuncinya? Dimana dulu aku membuang kuncinya hingga Alga harus menunggu selama ini,4 tahun lebih bukan waktu yang singkat dalam menunggu seseorang.
“Kamu ingin terus disana?” lamunanku tersentak lagi,didepan sana Alga telah menungguku disamping mobil kesayangannya.
Dia mendatangiku,”Apa yang sedang Anindira pikirkana? Apakah ada namaku didalamnya? Kejujuran?” aku mengangguk,dan refleks tangan Alga mendarat di kepalaku mengusapnya pelan.
“Nin,jangan buru-buru. Mau berapa lamapun aku tetap menunggu. Kamu memikirkanku bahkan mendapatkan kesempatan alasanmu berperang dengan pikiranmu saja aku sudah bahagia Nin.” Tangannya kutepis pelan,dia tertawa dan mempersilahkanku jalan lebih dulu.
“Hahah,Anindira dan hanya seorang Anindira.” Dan aku? Berusaha tidak mendengar apa yang Alga katakana di belakang sana. Masuk kedalam dan duduk dengan nyaman.
Aku masih memandang Alga dengan tawanya diluar sana layaknya orang gila,sekitar 3 menit ia baru masuk kedalam duduk dibalik kemudi dan membawa mobilnya meninggalkan Kawasan pantai yang kadang tak ingin ku tinggalkan saking indahnya.
“Aku akan menunggu,Nin. Jangan buru-buru,” katanya setelah mobil melaju dengan tenang di jalan raya.
Perkataannya tidak kubalas,”Sudah berapa persen,Nin?” dahiku berkerut bingung mendengar pertanyaannya.
“Apanya?” bingungku,
“Perasaanmu.” Aku tertegun,”Perasaamu padaku sudah berapa persen?”
“0%” tawanya terdengar lagi,aku menoleh menatapnya dan sekilas Alga memandangku,mengedipkan matanya sekali.
“Aku tau.” Dan itu adalah respon yang sangat ambigu. Apa yang Alga tau? Kalau perasaanku padanya memang tidak ada dan tidak akan pernah ada,begitu? Lalu kenapa dia bertanya kalau sudah tau jawaban yang akan ku utarakan? Alga memang sudah gila sejak lama.
Jalanan Jakarta memang selalu macet,tapi mau aku tinggal berapa lamapun aku tetap tidak menghapal setiap daerahnya palingan hanya mengingat jalanannya saja. aku hanya tau ini Jakarta masalah provinsi mana aku tak mau tau,dan itu bukan hal penting sama sekali.
Sekitar 40 menit satu mobil dengannya,akhirnya aku kembali menatap rumahku yang pagi tadi kutinggal karena Mba jena yang sangat menyebalkan. Dia kadang lupa posisinya dan suka sekali bertindak seolah kami sangatlah dekat.
Menurutku,Mau orangtuaku sekalipun. Mereka tetaplah orang asing yang tak bisa dipercayai keberadaannya juga sikapnya. Manusia mempunyai segala sisi kebaikan juga kejahatan. Kadang bertopeng jahat padahal aslinya sangatlah baik begitupun dengan sebaliknya.
Sudah hampir lima menit mobil ini terparkir tapi aku belum turun sama sekali.
“Mau jalan-jalan lagi?” dari pertanyaan Alga,aku tau dia paham perang pikiranku sekarang.
“Anindira,” panggilnya setelah tak kuberi respon.
“Ya?” jawabku sedikit linglung,bingung.
“Nin,mungkin aku sedikit sakit hati setiap kali Mba Jena melakukan janji temumu dengan lelaki lain,tapi siapa yang tidak kasihan dengan seorang Alga,Nin?” mataku mengerjap beberapa kali,apa-apaan Alga ini?
Kuhela napasku,”Yaudah,kamu pergi aja,” ujarku tegas,”aku pernah minta kamu suka ataupun cinta sama aku.” Lanjutku dengan pandangan kedepan.
Kaca mobil yang terbuka tidak akan membuat siapapun curiga,bahkan tetangga saja bisa melihat kami berdua hanya duduk disini tanpa niat turun. Membahas perasaan memang tidak memilki ending,tidak akan ending terbaik untuk sebuah perasaan. Hanya akan ada kesengsaraan saat semuanya makin tidak jelas.
“Engga bakal,Nin. Aku akan selalu cinta sama kamu.” Aku memandangnya tak percaya,apa yang telah ku lakukan sebenarnya?
Sepanjang kenal,aku tak pernah perhatian padanya,menjauhinya,menentang perasaannya. Lelaki sebaik Alga,kenapa harus terjebak dengan perempuan tak suka cinta sepertiku? Ada banyak pilihan didepan matanya. Kenapa harus seorang Anindira?
“Alga,” ujarku,mataku masih memandangnya,Alga memandang lurus kedepan dengan kedua tangan bertumpu pada stir mobil.
“Aku tau dan sangat tau perasaan kamu sama aku,Nin. Terima kenyataan.” Aku tertawa,lucu rasanya. Apa yang harus aku terima?
“Tidak,” balasku,aku tidak tau ap aarti dari apa yang aku jawabkan.
Kupandang Alga dengan lekat,dia sempurna. Dia adalah berlian yang sangat keluarganya jaga tetapi kilauannya malah semakin menghilang karena terus dekat denganku.
Tak ada yang bersuara,sesekali akan pengendarq motor yang lewat,atau sesekali aku memergoki anak-anak tetangga yang memandang kami didepan sana. Atau beberapa kumpulam ibu-ibu akan memandang mobil kami kepo.
Sejarah Alga yang mencintai Anindira tetapi perasaanya tidak terbalas sudah diketahui semua orang. Mereka semua tau betapa dinginnya hatiku hingga berani tidak jatuh cinta pada seorang Alga.
Tapi aku tau mereka,kumpulan ibu-ibu itu. Mereka memang memandang kepo tapi tak pernah ikut campur. Mereka sangat tau diri dan memilih sibuk dengan pembicaraan mereka. Tak pernah sekalipun aku mendengar sepintas mereka menjadikanku topik hangat.
Mereka tau mau berurusan ataupun ikut campur dengan Anindira,yang jarang bergaul dengan dunia tetangga padahal sudah sangat lama tinggal. Aku saja tidak begitu hapal dengan wajah-wajah mereka. Sesekali setiap jalan pagi,mereka yang duluan menyapa dan kubalas dengan ramah sekali.
“Kamu egois,Nin. Kamu lupain hati kamu.” Alga kembali bersuara setelah menit lama berlalu.
Hatiku ya? Kapan terakhir kali aku mementingkannya dan malah berakhir tragis? Kapan terakhir kali aku menggunakannya dan malah berbalik menyerangnya sendiri? Tertembak hingga berkeping-keping.
“Sejak dulu aku memang sangat membencinya,sangat.” Jujurku,aku yakin mataku sedang memancarkan kebencian sekarang.
Aku sangat membenci hatiku,atau mungkin semua perempuan di dunia ini sangat membenci hatinya.
“Kenapa?” pertanyaan Alga kembali memecahkan keheningan diantara kami.
“Karena sangat rapuh dan sangat lemah.” Kupejamkan mataku sesaat,kepalaku rasanya mau meledak memikirkan betapa besarnya kebencian ini. Perasaan benci yang muncul dari hati. Didalam sana mereka semua sama-sama terluka oleh egoisnya dulu.
Kami sama-sama terdiam,hingga akhirnya tanganku bersiap membuka pintu mobil. Kurasa pembahasanku dengan Alga semakin jauh. Pembahasan kami sudah sangat bahaya untuk dilanjutkan.
“Harus banget ya?” aku mematung,niatku terhenti.
Kupejamkan mataku dan kembali memandangnya,
“Ini aku Alga,Anindira. Alga! Harusnya kamu paham dan mengerti.” Tanganku terkepal erat.
“Memangnya ada kupu-kupu hitam?”
“Kamu kemana saja selama ini,Dira cantic? Masa kupu-kupu saja tidak tau.”
Napasku tercekat selama beberapa saat,saat berusaha membaik. Kupandang Alga dan dia balik memandangku. Kami sama-sama terdiam selama semenit lamanya hingga aku memilih keluar dari mobilnya.
Suara mobil yang tertutup pertanda Alga juga ikut turun,kubalikkan badanku memandangnya. Dia dengan senyumnya memandangku hangat,membuat segala ketakutan menyergap hatiku dengan cepat. Kurasakan tanganku mendingin.
“Dira! Kamu suka dunia apa?”
“Hmm apa ya?”
Kurasakan tanganku gemetar dan aku tau Alga menyadari semua itu,semuanya.
“Hahaha,Ya Nin. Aku sangat mengerti. Aku pulang dan I love you more,” dia membalikkan badannya.
“Not love you more,Alga.” Badan Alga kembali berbalik,senyumnya tercipta dengan memandangku hangat. Tatapan hangatnya terasa sekali,membuat beberapa es di tembok kokohnya mencair,ketakutanku makin menjadi-jadi.
Kubalikkan badanku,”Pembohong. Kamu pembohong,Nin. Mendustai hati sendiri.” Tanpa memperdulikan apa yang Alga katakan di belakang sana.
Segera kubuka pintu dengan tangan gemetar,awalnya kuncinya susah masuk tapi setelah mencoba akhirnya bisa juga.
“Aku bahagia dengan pridiksiku yang tidak meleset,Nin.” Hanya itu yang kudengar sebelum pintu kututup dengan cepat.
Di belakang pintu,kurasakan tanganku masih dingin. Tak lama suara mobil yang menjauh membuat semua ketakutanku lenyap. Pembahasan seperti ini memang sesekali ada,dan Alga sesekali akan menjadi orang menakutkan diwaktu seperti tadi.
Dia mendadak seperti lakilaki pada umumnya yang menuntut balasan sedemikian,tapi cukup di waktu itu. Esoknya akan menjadi seperti biasa,hanya menemaniku,berbincang hangat atau mengantarkan makanan.
Beberapa kali menghembuskan napas,kini aku kembali menjadi Anin sebelumnya yang terkesan biasa saja. tembok kokohku sudah mendingin kembali sekuat biasanya,dan akan selalu seperti itu.
Walaupun aku tidak tau kuncinya dimana,tapi setidaknya itu memberiku keburuntungan yang sangat besar. Saat melewati pintu dapur kupandang wastafel yang kini rapi dan bersih tanpa tumpukan piring yang banyak ataupun bau kopi yang menyengat.
Kulanjutkan langkah kekamar dan masuk kedalam,segera kulepaskan jaket dan membuka semua catatan tentang kelanjutan kisah Aydira yang tertunda karena kepentingan tadi. Dengan mencoba berpikir jernih ku hidupkan computer.
Keluar kamar untuk membuat kopi sebagai teman menulisku,juga tak lupa mengisi botol air agar tidak menganggu dunia khayalanku nantinya. Saat kamu mengalami sesuatu yang membuatmu serasa tercekik maka jangan panik. Tetaplah biasa saja,walaupun mereka paham situasi.
Cukup tinggalkan tempat itu,anggap itu adalah pementasan drama yang kebetulan melenceng dari naskah awal. Karena jika kamu menanggapinya maka kamu akan gila seiring waktu, segala hal yang kamu bangun akan gagal total.
Kamu akan kembali menjadi seseorang yang sangat memprihatikan diantara semua orang gila yang ada di dunia ini,kamu akan dikasihani,diberikan perhatian palsu oleh orang-orang haus akan percitraan juga pujian masyarakat.
“Mendustai ya?” gumamku disela-sela menunggu air mendidih lalu mengidikkan bahu tak peduli. Dusta? Apa itu? Sebuah perasaan milik hati bukan? Hati memang gemar membuat kaum wanita menjadi rapuh.
Maka kuingatkan,jangan pernah menjadi b***k hatimu atau kamu akan merasakan hatimu berbalik menyerangmu dengan sangat hebat,tanpa ampun.
Karena dunia,penuh dusta.