Chapter 16 | Tangan Hangat Zeina

1491 Kata
Chapter 16 | Tangan Hangat Zeina POV Ethan Kal Vardhan “Hidangan yang lezat seperti biasanya” komentar nenekku saat melihat aneka hidangan yang sudah dimasak oleh Zeina dan Arfan. Semua orang duduk di kursi yang sudah tersedia. Aku duduk di depan Zeina, lantaran Arfan lebih dulu mengambil kursi di sampingnya. “Dia terlambat lagi” komentar Arin sambil menatap Zeina. “Itu ciri khasnya” jawab Zeina. Suara langkah kaki yang tergesah terdengar, begitu melihatnya aku langsung bangkit dari posisiku. Rupanya mertuaku, Wakil Presiden yang datang pada acara makan malam ini. Aku tidak tahu bahwa di juga mengikuti pertemuan ini. Ucapan Zeina pada Raihan waktu itu, bukan sebuah omong kosong belaka. Selama ini, hanya aku yang tidak pernah mengikutinya? “Waw, siapa ini? Aku tidak tahu menantuku datang” dia menghampiriku. Aku menjabat tanggannya sebelum memberikan kursiku untuk diduduki olehnya. Kini aku duduk di samping Arkana, kursi paling tidak terlihat. “Dia masih di osaka?” tanya nenekku, mungkin aku bisa menebak siapa yang ditanyakannya. Nenek Zeina dari pihak ibunya, aku dengar mereka berteman sejak masih muda. Mertuaku mengangguk kecil sebagai jawaban. Akhirnya acara makan malam ini pun berjalan. Mereka mengobrol dengan santai seolah sudah terbiasa satu sama lain. Aku merasa asing berada di sekitar mereka. Terasa begitu aneh. “Baiklah, kalian bisa menebak apa yang kubawa? Ini edisi khusus yang sangat menarik” Ayah mertuaku memanggil ajudan yang masuk membawa sebuah kotak. “Singkirkan itu” Zeina langsung mencegah saat kotak itu hendak diserahkan kepada ayahnya. “Benar, kami sudah bosan bermain ular tangga. Lagipula, bukankah anda terlalu tua untuk menyukai permainan ini?” Ayah mertuaku mengernyit mendengar perkataan dari Arin. “Zeina sangat menyukai permainan ini” jawabnya dengan percaya diri. “Itu saat usiaku masih sembilan tahun ayah” jawab Zeina sambil tersenyum kaku. Arin bangkit dan mengambil koper itu sambil menyerahkannya kepada ajudan Adhan, ayah mertuaku. “Tidak ada ular tangga malam ini, kalian tidak lupa bahwa pemimpin malam ini adalah aku kan?” Arin berjalan menuju piringan hitam dan memutar sebuah musik di sana. “Tunggu apa lagi? Dance time” ujar Arin. Semua orang akhirnya bangkit dan berjalan ke ruang tengah dan mulai tertawa kecil sambil menari. Zeina meraih tangan ayahnya dan pria itu akhirnya mengalah untuk memainkan permainan membosankan yang tampaknya sudah terlalu sering mereka lakukan. Ayah dan anak itu mulai berdansa ditemani alunan musik. Hubungan hangat yang sesuai dengan ingatanku saat Zeina masih sangat muda. Aku tahu bahwa hubungan mereka memburuk sejak kematian ibunya. Tapi, mengingat Adhan yang sampai membayar Reynand untuk mengawasi Zeina selama berjauhan, jelas pria itu masih begitu mencintai putrinya meski Zeina sempat meninggalkannya sendirian di negara ini. Aku kira, pria yang sebelumnya hangat itu akhirnya mulai larut dalam kesedihan dan larut dalam keinginan akan kekuasaan sampai-sampai menjual putrinya sendiri untuk mendapatkan dana kampanye dari nenekku. Tapi hubungan mereka tidak terlihat seperti itu… Suasana rumah yang hangat dan nyaman. Aku tidak pernah menduga bahwa keluargaku bisa memiliki suasana yang seperti ini. Terasa begitu aneh karena baru kali pertama melihatnya. Zeina terlihat senang, dengan nyaman bersandar sambil berdansa bersama ayahnya. Aku juga melihat nenek dan Arfan berdansa, begitu pula Arin dan Arkana. Hanya aku yang menjadi asing saat keluargaku kian akrab. Aku kembali memperhatikan bagaimana Adhan terlihat begitu menyayangi putrinya. Seseorang dengan mata yang begitu penuh cinta seperti itu, apakah bisa memaksa putrinya menjalani kehidupan yang begitu tidak diinginkan dan dibencinya seperti ini? Apa orang seperti itu mampu menjual putri yang begitu dicintainya hanya demi uang kampanye? Jika tidak. Apa alasan Zeina mau menikahiku? Aku benar-benar tidak bisa mengerti. Semakin aku memperhatikan dan mencoba melihat jalan pikirannya, semakin aku merasa kebingungan dan hilang arah. Apa isi kepala kecilnya, aku benar-benar tidak bisa menebaknya. “Tamu tidak diundang biasanya memang merasa asing di pesta” Zeina berdiri di hadapanku dan mengulurkan tangannya. “Tapi jangan membuat dirimu terlihat menyedihkan seperti itu” Aku menerima uluran tangan Zeina dan mulai berdansa kecil mengikuti alunan musik. Mungkin karena Zeina dulu merupakan seorang penari, dia bisa menuntunku dengan baik dan membuatku menikmati dansa kecil ini. “Kalian punya ruang obrolan pesan?” tanyaku di sela-sela dansa kami. “Kau keluar dari ruang obrolan itu dua kali, dan sekarang merasa sedih karena tidak masuk ruang obrolan?” Aku tertawa kecil mendengar ucapannya. “Karena rasanya aneh, lagipula apa yang bisa dibicarakan di ruang obrolan keluarga” Zeina menatap wajahku. “Tentu saja orang yang tidak ada di dalam ruang obrolan” jawabnya dengan enteng. Aku memutar tubuhnya dan menangkap tubuh kecilnya itu dalam pelukanku. “Kau membicarakanku?” tanyaku yang membuatnya menatapku malas. “Kau tidak sepenting itu” jawabnya dengan sinis. Lagu berakhir… Padahal aku baru berdansa sebentar. “Ayo lakukan bantu, gunting, kertas” Arin berbicara, membuat semua orang berkumpul membentuk lingkaran. Mereka melakukan hal konyol di usia begini? Aku benar-benar tidak lagi terkejut. “Apa yang dilakukan yang kalah?” tanya Arfan. “Kau akan tahu nanti” jawab Arin sambil mengulurkan tangan. Tanganku ditarik oleh Arkana untuk ikut serta. Kami benar-benar melakukan batu, gunting, kertas seperti anak-anak di usia ini. Zeinalah yang kalah. Zeina mendesah pasrah sedangkan yang lain tertawa dengan mudah. “Waktunya perawatan” teriak Arin yang membuat sorak kecil terdengar dari semua orang. Buru-buru mereka mengambil posisi sambil berbaring di sofa dan kursi yang ada di ruang tengah. Aku menatap Zeina yang masih diam di tempat. “Apa maksudnya perawatan?” Zeina membalas tatapanku. “Kau pergi cari tempat saja sana” jawabnya sambil berbalik menuju dapur. Aku duduk di sebuah kursi sambil terus melihat orang-orang di villa ini yang tampak bersantai. “Bagaimana dengan urutannya?” tanya Arkana pada ibunya. “Tentu saja sesuai usia” jawab Arin membuat Arkana mendesah kesal. Zeina datang dengan kotak berisi pembersih wajah, kapas, masker dan benda-benda lainnya. Gadis itu mendatangi neneknya yang duduk di kursi santai. Zeina membersihkan wajah ayahnya, memakaikan sheet mask, masker bibir dan mata. Kemudian dia melakukan hal yang sama pada Nenek, Arin, Arfan dan saat tiba giliranku, Arkana menarik tangan Zeina sambil merengek. Akhirnya Zeina melakukan perawatan kepada Arkana terlebih dulu sebelum mendatangiku. Zeina meletakan keranjang kecil itu di pangkuanku sebelum membersihkan wajahku. Aku merasakan jemarinya yang terasa begitu lembut, tidak heran dia memiliki begitu banyak krim tangan, karena tangannya juga begitu harum. Zeina menyentuh bibirku, menatap mataku selama beberapa saat. “Mau kupakaikan scrub terlebih dahulu?” Aku mengangguk tanpa berpikir. Dia mulai menyentuh bibirku dan mengusapnya dengan scrub yang di oleskannya. Semua orang di ruangan ini memakai masker mata yang mengharuskan mereka menutup mata mereka. Entah mengapa, aku merasa seolah di tempat ini hanya ada kami berdua. Kakinya yang berada di sela kakiku membuatku terusik. Aku menyentuh kakinya dan dia tampak sedikit tersentak. Zeina melihat arah tanganku yang menyentuh pahanya namun tidak menolak atau menghentikanku. Aku tidak tahu mengapa aku menjadi seperti ini. Mungkin sejak dia melepaskan pakaiannya di hadapanku saat itu? Ah pasti karena ketertarikan seksual. Sebagai pria normal, wajar aku merasa tertarik secara seksual kepadanya. Hanya itu, tidak lebih. Zeina menghapus scrub di bibirku dan mulai memakaikan masker bibir, mata dan wajah. Suasana menjadi hening seketika. Langkah kakinya terdengar menjauh, mungkin menaruh keranjang tadi sebelum kembali ke sisiku, duduk tepat di sampingku, aku bisa merasakan bahunya yang bersentuhan dengan bahuku. Selang beberapa waktu kemudian. Aku merasakan bahuku yang terasa berat, aku memiringkan kepalaku dan merasakan kepalanya yang bersandar. Bahkan dengan mata tertutup, aku berani bertaruh bahwa dia pasti tengah terlelap saat ini. Aku meraih tangannya, menggenggam tangan lembut itu hingga tanpa sadar senyuman di bibirku terukir. Tangannya sangat hangat dan lembut… Aku mendengar suara kamera dan blitz beberapa kali sebelum akhirnya aku menyingkirkan masker di wajahku dan melihat bagaimana ayah mertuaku dan nenekku yang mengarahkan kamera mereka ke arahku. “Aku tidak tahu mereka bisa terlihat menggemaskan saat bersama” komentar Adhan sambil tertawa kecil dan menepuk pundakku. Sedangkan nenekku terlihat tertawa sambil melirik ayah mertuaku. “Sepertinya tidak lama lagi akan ada cucu baru” ujarnya sambil terus tertawa. Aku melihat ke samping dimana Zeina benar-benar terlelap di pundakku. “Antar dia ke kamar dengan baik” Perintah Adhan yang kuangguki. Aku melihat Arfan yang menatapku dengan tatapan aneh, terlebih saat aku meraih Zeina dalam pelukanku dan mengangkatnya. Membawanya pergi ditemani Arin yang menjadi penunjuk jalan. “Sepertinya aku salah menduga situasi” Arin membuka sebuah pintu kamar di lantai dua dan membiarkanku membaringkan Zeina di atas tempat tidur. “Kau memiliki ketertarikan padanya. Memang, mustahil untuk tidak tertarik jika tinggal bersama dan berbagi tempat tidur dengan gadis sepertinya. Orang seperti kita, secara insting akan tertarik pada sosok sepertinya” Aku bangkit setelah menyelimuti Zeina dengan selimut tebal. Aku bertatapan dengan Arin. “Jaga baik-baik, jika tidak kau akan tenggelam dalam penyesalan” peringatnya sebelum keluar dari kamar. Aku membalik tubuhku dan memandangi Zeina. “Ini hanya ketertarikan seksual, tidak lebih. Jika sudah didapatkan juga, pasti akan kembali seperti semula. Aku hanya penasaran, dan menginginkannya secara seksual. Tidak lebih” ujarku sebelum beranjak pergi menuju kamar mandi. Bersiap untuk tidur…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN