CD 7

1648 Kata
"Big," panggil Axel ke sang kakak, seraya berjalan menghampiri mereka. Tadi dia baru saja keluar untuk menyuruh Debbina mencari makan siangnya, di restoran dekat kantor. Namun tak disangka ada pemandangan luar binasa, eh ralat, luar biasa. Dia tahu kok, sang kakak tampan pakai banget, tapi melihat Debbina menatap Axton sampai segitunya, membuat dirinya mendadak kesal. Percaya tidak sih, kalau dia juga tidak kalah tampan dari sang kakak. "Lap dulu ilernya. Segitunya lihat pria tampan." Axel mengusap wajah Debbina secara kasar, membuat gadis itu sedikit terlonjak dan tidak enak. Oh my God, gue sudah seperti pencuri yang tertangkap basah. Batin Debbina dan sedikit mengutuk Axel yang telah membuatnya malu. "Xel, baru juga Big tanya keberadaan kamu," ucap Axton dengan suara berat, malah membuat Debbina kembali terbuai karena mendengar suara Axton yang baginya sangat seksi. Seksi, berwibawa dan berkharisma. Please ... haruskah berdandan seperti Mulan Jameela dan menyanyikan 'Makhluk Tuhan Paling Seksi' sekarang? Astaga ... lama-lama dia bisa gila sendiri. "Oh, aku aja baru keluar mau menyuruh dia buat beli makan," jawab Axel sembari melirik Debbina yang masih saja menatap sang kakak dengan tatapan terpesona. Sial! Sudah kesal karena lapar sekarang. Malah melihat sekretarisnya seperti itu, membuat dia malah semakin ingin memakan orang hidup-hidup. "Kamu belum makan?" "Belum. Pagi tadi di rumah juga belum sempat makan." Sedikit lama Axton menatap Axel, dia bisa melihat wajah adik bungsunya seperti tidak enak. Seperti seseorang yang sedang menahan kesal. Entah apa yang terjadi padanya. "Kalau mau membicarakan sesuatu yang penting, kita bisa obrolin ke ruangan aku aja, Big," ucap Axel, meskipun sedikit malas sekarang, tapi dia harus tetap menghormati sang kakak. Axton tidak langsung menjawab ucapan sang adik bungsu, malah melihat arloji mahal yang ada di pergelangan tangan kirinya. "Em ... karena sebentar lagi jam makan siang akan habis, lebih baik Big kembali saja ke kantor. Lagipula hari ini ada rapat besar dengan Padre dan yang akan dihadiri Pak William." Axel menganggukkan kepalanya. William Soetanto. Papa dari Irish. Dia baru beberapa kali bertemu dengan pria paruh baya itu. Sepintas bisa melihat sifat beliau dengan sang papa hampir sama. Yaitu sama-sama keras. "Big pergi dulu," pamit Axton seraya menepuk pundak Axel. Dia menyempatkan diri menganggukkan kepala sedikit ke arah Debbina. Sementara Debbina memunggukkan badan, dan sedikit canggung. Meskipun tanpa bicara apapun, tapi pipi gadis itu mendadak memanas. Axel menganggukkan kepalanya melihat sang kakak pamit pergi, kemudian berdecak kesal, saat melihat jiwa Debbina entah berada dimana. Gadis itu benar-benar bikin malu saja. Padahal wajah sang kakak dan dirinya hampir sama karena satu ayah dan ibu, alias kandung. Tapi reaksi Debbina saat bertemu dengannya dan sang kakak sangat berbeda. Kalau menatap dirinya, beugh ... sudah seperti musuh bebuyutan. Debbina langsung tersadar saat jidatnya yang berharga disentil Axel sedikit keras. Tidak perlu waktu lama lagi, dia mendelik tajam ke sang atasan yang sedang menatapnya datar. "Apaan sih, Pak?! Jidat saya sangat berharga ini!" pekik Debbina sangat kesal, dan masih terus mengusap jidatnya. 'Tuh kan, kalau sama aku akan berubah menjadi singa betina yang sangat garang. Untung cantik,' batin Axel, kemudian langsung menggelengkan kepalanya. 'Please, Xel, kamu nggak boleh jatuh cinta dengan gadis itu. Bisa kiamat nanti setiap kali menghadapi dia.' "Lagian kamu dari kemarin, kalau melihat kakak saya seperti baru melihat pria tampan," ucap Axel ketus dan pedas. "Tapi nggak ada yang se-perfect kakak Anda, Pak. Eh, tadi bapak bilang apa? Kakak? Wah, saya tidak menyangka kalau Bapak mempunyai kakak setampan dia," kata Debbina sangat memuji Axton, tapi tidak tahu kalau membuat perasaan Axel semakin kesal. Apalagi saat Debbina berbicara matanya ikut berbinar-binar. "Memangnya saya tidak tampan?" tanya Axel sedikit sinis. Debbina mengerjapkan matanya beberapa kali, setelah sang atasan bilang seperti itu. Kalau boleh jujur, tapi dalam hati. Axel Xavier Baldwin juga tampan, tidak kalah dengan sang kakak. Tapi ... tapi ... tapi ... dia tidak boleh memuji Axel terus terang. Bisa-bisa bos sinting-nya akan semakin sombong dan membanggakan diri. Sangat bahaya baginya nanti. "Ah, perutku lapar sekali," keluh Debbina sedikit meringis, seraya memegang perutnya. Kalau mau drama tidak boleh tanggung-tanggung, bukan begitu every body? Jadi dia harus bisa menampilkan mimik wajah yang sesuai dengan apa yang dirasakan sekarang. Biar Axel percaya padanya. Axel mendengus kecil, lalu ekor matanya menatap kotak makan milik Debbina. Dari tampilannya saja, sangat menggiurkan. Dia mendadak memejamkan mata, karena cacing di dalam perutnya sudah meronta-ronta ingin memakan makanan itu. Tahu saja mereka ada makanan enak. Axel bahkan melupakan kalau Debbina sedang mengalihkan pembicaraan, dengan bilang lapar sekali. "Itu ... kotak bekal makan siang kamu?" tanya Axel, satu jari telunjuknya menunjuk kotak bekal Debbina yang berada di atas meja. Tanpa sadar mata Debbina mengikuti apa yang ditunjuk Axel. Kemudian dia mengangguk membenarkan, bahwa memang benar kalau itu kotak makannya. Axel tersenyum, lalu berjalan cepat ke ruangannya. "Jangan makan dulu! Tunggu saya!" perintah Axel, dengan kepala menyembul dari pintu, karena melihat Debbina sudah akan duduk. Lagi-lagi Debbina terkaget karena tadi. Dia mengelus dadanya pelan. Sepertinya dia harus mempersiapkan diri agar tidak terkaget lagi kalau sedang ada Axel di satu tempat dengannya. Sang atasan hobby sekali mengagetkannya. Tidak lama kemudian, Axel datang lagi sembari membawa kursi dari dalam ruangannya. Sementara Debbina langsung ternganga tidak percaya 'Apa-apaan ini, woi!' sisi hitam dalam dirinya tidak terima, tapi sisi putih mendadak tersipu, mungkin bilang mereka mau makan berdua dan itu sangat romantis sekali. "Bapak mau ngapain di sini?" tanya Debbina dengan tatapan melihat Axel yang sedang mengatur kursi berhadapan dengannya, dan sekarang sudah duduk di situ. "Sebentar lagi jam makan siang kantor habis, daripada menyuruh kamu pergi kita makan bareng saja di sini," jawab Axel santai. "Hah??" Mulut Debbina kembali terbuka, 'Kita makan bareng?' apa sang atasan sudah gila? "Kalau makan bareng, makanan Bapak mana?" Debbina mulai mendudukkan diri di kursinya. "Kita makan bareng, berarti itu berbagi makanan," ucap Axel tanpa melihat wajah Debbina yang benar-benar shock. Matanya tidak beralih dari makanan yang Debbina bawa. Tampaknya saja sudah lezat, dan dia yakin ini bukan masakan sekretarisnya. "Makanan siapa yang dibagi, Pak? Di meja ini cuma ada bekal makanan saya." Debbina mulai membuka kotak yang lain, termasuk nasi yang membuat matanya melotot seketika. Sebab nasi yang dikasih sang mama sangat banyak. Memang dia kalau makan banyak, tapi di luar rumah harus jaga image dong. Hiks Axel harus bersabar karena Debbina banyak pertanyaan. Jangan marah Axel ... kamu kan mau numpang makan ke singa betina itu. "Itu yang masak mama kamu?" "Hem." "Sepertinya beliau punya firasat, kalau ada orang satu lagi yang akan makan hari ini. Bawa nasinya banyak banget. Tidak mungkin kan kamu akan habis semua itu." 'What the---,' batin Debbina mengumpat, tapi tidak jadi. Debbina tertawa kaku, lalu mengangguk. "Sepertinya, Pak. Mama tahu akan ada satu orang lagi yang makan." Rasanya dia ingin berteriak kesal. Hufft ... sabar, Bii, sabar pokoknya. Daripada membuatnya semakin kesal, lebih baik dia mulai mempersiapkan makanan mereka. Kekesalan ini membuat yang tadinya ingin makan banyak mendadak hilang seketika, gara-gara pria separuh bule di depannya. Menyebalkan! "Ini, Pak." Debbina menyerahkan kotak makan yang sudah ada nasi dan para lauknya. Yang jelas seperti yang Axel bilang, ber-ba-gi. Jadi dia membagi makanannya. "Wah, saya harus datang sendiri ke sana, maksud saya ke rumah kamu, untuk mengucapkan terima kasih pada beliau," ucap Axel dengan senyum lebar, sambil menerima makanannya. Ah, air liurnya benar-benar ingin menetes setelah mencium aroma smoky. Ini bukan ayam bakar, tapi goreng dimasak saus lada hitam. Kenapa wanginya enak sekali. "Ini ayamnya dibakar dulu apa digoreng?" Axel mengambil ayam lalu menghirupnya dengan mata setengah terpejam. "Goreng mungkin," jawab Debbina sembari menghedikan bahunya. Dia sudah mulai makan sekarang. Meladeni Axel sekarang yang ada tidak akan makan-makan nanti. Lagipula selama bekerja di sini, harus kuat mental dan fisik. Ingat! Axel akan berubah menyebalkan di saat-saat tertentu. Axel mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian mulai memakan bagiannya. Setelah menggigitnya pertama kali, dia memejamkan mata seketika. Asli ini benar-benar enak sekali. Tidak kalah jauh dengan masakan sang mama di rumah. Mereka makan dalam diam, tapi sudah sering kali Axel mendengar Debbina menghela napas terus. Ah, masa bodoh! Dia tidak peduli. Debbina sendiri belum berani bertanya apapun ke sang atasan sekarang. Mereka lagi makan, jangan membuat tersedak orang. Bertanya seperti, kenapa tadi pagi tidak sempat makan atau semacamnya. Tapi dia urungkan. Bukan urusannya juga, kan? Sedikit aneh saat kakak sang atasan tidak mengajak adiknya makan. "Bilang ke mamamu nanti, saya minta dibawakan bekal juga nanti," ucap Axel seenaknya setelah menandaskan semua makanan, bahkan tanpa sisa. Kebetulan bukan ayam bertulang, mungkin saja itu bagian d**a, alias ayam fillet. Debbina mendengus kecil. "Kenapa nggak menyuruh ibu Anda saja, Pak? Seenaknya menyuruh ibu orang lain." Axel menggelengkan kepalanya. "Tidak. Madre lumayan sibuk karena harus jaga Ale-Ale setiap harinya." Alenza? "Oh ya, Alenza itu anak dari kakak Anda ya? Tidak mungkin anak Mbak Aiza. Kan dia baru menikah." Sejujurnya, kalau ingat kejadian itu, rasanya dia ingin mengutuk pria di depannya, yang telah membuat gaunnya kotor, dan harus berganti lagi yang baru pas resepsi pernikahan Libra dan Aiza. Bye the way ... harusnya dia kan yang harus menuntut Axel bukan malah sebaliknya? "Hem, Alenza anak Big Brother saya. Kenapa? Saya lihat kamu seperti naksir sama dia?" tanya Axel sinis. "Kalau pun iya naksir, saya tahu diri sedikit, Pak. Kalau kami bagaikan durian monthong, saya kulitnya dan kakak Anda dagingnya. Sangat berbeda jauh." Axel mendadak tertawa mendengar jawaban Debbina. "Saya tidak pernah mendengar teori seperti itu. Durian monthong? Astaga ... yang ada bagai langit dan bumi, bukan durian monthong. Lucu sekali kamu." Wait ... lucu? Oh tidak, tidak, tidak. Axel langsung menggelengkan kepalanya. Sadar, Axel, sadar! Ingat! Sejak pertama kali bertemu dengan gadis itu, dia sudah seperti preman pasar. Mana galaknya melebihi apapun lagi. "Terserah saya dong, Pak!" balas Debbina ketus. Axel mencoba tidak tertawa lagi karena melihat wajah Debbina yang menyeramkan. Dia harus tahu diri sedikit, karena habis ikut makan di bekal gadis itu. "Apapun itu, terima kasih atas makanannya." Terdengar suara orang berlarian, membuat Debbina dan Axel saling pandang sebentar, lalu sama-sama melihat orang yang berlari menghampiri mereka. Bahkan Debbina ikut berdiri untuk melihat siapa. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN