CD 8

1306 Kata
Saat ini Debbina sedang berhati-hati mengobati wajah Edward yang hampir saja bonyok alias lebam-lebam karena dipukul kliennya tadi. Sang klien tidak terima kalah di persidangan, jadi melampiaskannya pada Edward. Ia memukuli Edward menggunakan tas mahal miliknya. Entah apa isi dari tas itu, karena saat mengenai wajah Edward terasa sakit. Mungkin sengaja diisi batu yang gede-gede. Karena kalah dalam persidangan, Edward lah yang jadi sasaran. Kalau dia lari masuk ke kantor sang atasan, atau kantor Axel, mungkin sekarang tubuhnya terbaring lemah di brankar rumah sakit. Padahal Edward sedang menahan sakit sekarang, tapi Axel sempat-sempatnya bilang ngapain larinya ke sini? Nanti kalau wanita psychopath itu datang ke tempatnya, lalu mengobrak-abrik di situ bagaimana? Dia mau tanggung jawab? Kalau saja Debbina tidak melototi sang atasan, pasti Axel sampai saat ini masih mengomel tidak jelas ke Edward. Please ... ini bukan waktu yang tempat membahas itu. Lebih baik mengobati luka Edward dulu, kasihan dia wajahnya sudah seperti disengat lebah sekarang. Sang atasan memang tidak lihat situasi dan kondisi. Setidaknya nanti dulu kalau mau marah-marah. Takutnya kan ada pegawai yang lihat kalau sang atasan lebih kejam daripada wanita yang memukuli Edward tadi. "Terima kasih, ya Mbak Debbina," ucap Edward seraya sedikit meringis. Asli ini bakalan lama masa penyembuhannya nanti. "Hem, it's okay," jawab Debbina santai, lalu mulai membereskan sampah yang ada di meja sang atasan. Sementara Axel hanya menatap datar Edward, sembari mengelus dagunya pelan. Edward berdehem canggung. Dia lebih baik sang atasan marah-marah, daripada diam seperti itu, karena lebih menakutkan dan mencurigakan. "Maafkan saya, Pak," kata Edward sembari menunduk tapi ekor matanya tetap melirik sang atasan. Debbina yang duduk di tengah-tengah mereka, mendadak bingung. Kemudian menatap kedua pria itu secara bergantian. "Bapak kenapa sih? Itu loh, Pak Edward meminta maaf." "Kamu diam dulu! Saya sedang berpikir, kapan waktu yang tepat untuk memecat Edward, atau kalau kamu mau memundurkan diri sekarang, akan saya setu-- ah!" pekik Axel kesakitan, seraya mengangkat satu kakinya yang tadi diinjak Debbina. Tidak perlu waktu lama lagi, Axel langsung mendelik tajam ke arah gadis itu. Parah sekali dia, padahal dirinya bos di sini. "Bapak itu keterlaluan tahu nggak!! Orang lagi kena musibah, bukannya dibantu atau ditolong, malah mau menambah penderitaannya!" tukas Debbina, berkacak pinggang, dan matanya melototi Axel. Dia lupa kalau status dengan Axel, tinggian pria itu. 'Tahan, Edward, jangan ketawa sekarang,' batin Edward melihat Debbina benar-benar berani membantah perkataan sang atasan. Semenjak ada Debbina kerja, Axel Xavier Baldwin yang dulunya suka sekali marah-marah dan memerintah seenak jidat tidak berkutik lagi. Debbina adalah satu-satunya sekretaris yang berani membantah Axel, dari yang sebelum-sebelumnya. Tapi jangan heran kalau Axel tidak mau memecat Debbina, karena mereka sudah terikat kontrak kerja selama enam bulan ke depan. Selain itu, Debbina kerja di Baldwin Entertainment adalah keinginan sang atasan. Jadi harus terima apapun itu, padahal dulu sudah suruh sang atasan berpikir ulang. Yakin, mau mengerjakan Debbina? Yang ada Axel sendiri yang ciut. Atau bisa dibilang sekarang, setelah ada Debbina, gadis itu menjadi pawangnya sang atasan. "Ya kan dia nggak berbakat jadi pengacara, sok-sokan mau profesi itu," balas Axel, melirik tajam Edward yang berada di belakang Debbina. Sayangnya Edward tidak menatapnya. Dia malah menatap ke depan sana. "Bukan begitu, Pak. Di pihak lawan, pengacaranya sudah senior dan hebat. Sudah biasa menangani kasus besar, jadi saya kalah," elak Edward memberi pembelaan untuk dirinya. "Berarti secara tidak langsung, kamu mengakui kalau kamu tidak hebat dong? Apa kan saya bilang," tukas Axel bangga. "Bukan be---" "Sudahlah akui saja, Ward," ucap Axel dengan raut wajah mengejek. "Sa---" "Stop!! Kalian berdua terlalu kekanak-kanakan, tahu nggak!" pekik Debbina kesal. Bahkan dia berdiri sambil berkacak pinggang menatap keduanya. "Sabar, Bii, sabar." Debbina menarik napas sebanyak-banyaknya. Mencoba menahan diri agar tidak melakban dua pria yang sama-sama keras kepala di hadapannya. Tapi ide melakban mulut nyinyir sang atasan adalah hal yang bagus. Meskipun taruhannya adalah pekerjaannya sekarang. Ani way ... setelah dipikir-pikir, boleh juga. Daripada dia cepat mati kerja di sini karena darah tinggi, 'kan? "Dia yang mulai menyulut emosi, malah saya yang ikut dimarahi," gumam Axel pelan, dan melengos ke arah lain. "Pak, please jangan mulai lagi," pinta Debbina dengan raut wajah setengah frustasi. "Benar, kan dia yang mulai." Debbina tepok jidat seketika. Astaga ... kalau seperti ini terus, yang ada dia malah terjebak sendiri di antara dua pria yang sifatnya persis kaya anak kecil itu. "Awas, Pak! Saya mau pergi keluar saja." Debbina menyuruh Axel untuk menyingkirkan kaki yang menghalanginya pergi. Tanpa banyak bertanya atau menjawab, Axel berdiri dari duduknya untuk mempersilahkan Debbina pergi. Anehnya dia hanya menurut saja, kenapa tidak menyuruh Edward saja yang berdiri, malah dirinya. "Kamu pergi keluar mau kemana?" tanya Axel saat Debbina hampir membuka pintu ruangannya. "Kerja lah! Daripada di sini. Bisa-bisa saya darah tinggi dan mati muda, karena menghadapi kalian berdua, terutama Bapak." Debbina keluar dari ruangan Axel, setelah mengatakan itu. Edward mau tertawa, tapi langsung ditahan karena melihat tatapan tajam sang atasan. Jangan sampai marahnya sang atasan dilampiaskan padanya. Bisa bahaya nanti. "Tertawa saja, Tuan Edward si'Alan. Senang banget kayanya lihat saya dimarahi oleh gadis tomboi itu," sinis Axel, dalam hati benar-benar kesal. Padahal dia yang jadi atasan kenapa malah dirinya tidak bisa melawan Debbina. "Kalau begitu saja, permisi saja, Pak." "Ya udah sana pergi! Jangan nongol wajah kamu di hadapan saya hari ini. Kesal sekali saya." Axel menghempaskan tubuh kasar ke sofa tempat duduknya tadi. Kedua kakinya diangkat dan ditaruh di meja layaknya bos besar. "Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi." Edward sedikit memunggukkan badan sedikit, lalu pergi dari ruangan sang atasan sembari membawa kotak obat. "Hem," jawab Axel. Tidak melihat Edward karena sedang memejamkan matanya. Tidak lama kemudian, Axel membuka matanya seraya menyeringai licik. Wah, bertambah lagi siksaan untuk Debbina karena telah berani melawannya. Sementara Debbina yang tadi meninggalkan bekas makan siang tadi, mulai membereskan sembari misuh-misuh tidak jelas. Kenapa sih, hidupnya tidak pernah ada ketenangan setelah bekerja di tempat Axel. Apa dia salah memilih keputusan waktu itu. Ya, seperti yang kalian tahu, dia terpaksa kerja di tempat Axel karena pria itu sedikit mengancamnya. Setelah merapikan dan membereskan semua, akhirnya Debbina mulai duduk di kursi kerjanya, lalu menarik napas dalam-dalam. Resiko bekerja di tempat ini. Emosi bukan karena banyaknya pekerjaan, tapi karena sang atasan yang sudah seperti kurang kerjaan. Suka sekali membuatnya kesal. Debbina berdecak kesal, karena ada panggilan masuk dari Axel. Memang untuk telepon, ada dua. Satu untuk umum, satu lagi khusus buat sang atasan. Warnanya pun dibedakan. Kebetulan yang masuk dari sang atasan. "Hallo, Pak," ucap Debbina setelah mengangkat telepon. Meski sedang kesal, dia sebisa mungkin berbicara ramah sekarang, atau Axel akan semakin menyebalkan. "Baik, Pak, saya masuk sekarang." Dengan gerakan kasar, Debbina meletakkan gagang telepon itu di tempatnya. Kemudian menarik napas dalam-dalam, sebelum berjalan ke ruangan sang atasan. Setelah mengetuk pintu, Debbina masuk saja ke dalam. Jangan tanya raut wajahnya sekarang seperti apa. Karena dia sedang menahan kesal. Sangat kesal. "Ada perlu apa, Pak?" "Tolong kamu belikan kopi di seberang kantor sana, kebetulan saya ingin sekali meminum kopi kesukaan saya." "Terus apa lagi, Pak?" "Atau kamu bilang saja sama pegawainya, kopi biasa yang seperti Pak Axel pesan. Mereka pasti paham. Oh ya, jangan lama-lama. Saya suka kopi yang masih panas." "Terus apa lagi, Pak?" tanya Debbina lagi. "Itu saja. Ini kartunya." Axel menyerahkan kartu debit ke arah Debbina. "Kalau begitu saya pergi dulu, Pak." Setelah Axel mengibaskan satu tangannya, Debbina pergi keluar. Selama perjalanan, bibirnya tidak berhenti menggerutu. Padahal kan dia sekretaris, kenapa malah disuruh beli kopi coba. Apa yang dulu juga seperti itu? Begitulah dalam benaknya. Debbina menatap bangunan dengan gaya Eropa, yang klasik. Mungkin ini yang dimaksud sang atasan kali ya? Soalnya dia melihat sekitar tidak ada lagi kedai kopi selain ini. Daripada membuang waktu lebih lama lagi, lebih baik dia masuk ke dalam. Semakin cepat semakin baik, bukan? Apalagi sang atasan minta cepat-cepat. "Mbak, tolong satu paket yang biasa dipesan Pak Axel ya?" ucap Debbina dengan seulas senyum kecil. "Baik, Mbak." "Loh, kamu di sini?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN