6 tahun yang lalu..
Gadis berpakaian santai ala anak kuliahan yang menginjak umur 20 tahun tengah berjalan keluar ruangan setelah menyelesaikan kelasnya. Kepalanya serasa ingin pecah karena tugas yang diberikan para dosen tidak tanggung-tanggung. Gadis bernama lengkap Lee Jaena ini yakin, jika otaknya bisa berubah suhu mungkin rambutnya sudah habis terbakar karena otaknya yang memanas.
Jae selalu memanfaatkan setiap waktu luangnya untuk belajar sebelum jam bekerjanya dimulai. Seperti sekarang, setelah menyelesaikan kelas, ia sudah bergegas ke perpustakaan kampus mencari bahan tugas yang baru saja dibahas oleh dosennya.
Sesungguhnya jurusan perbisnisan bukan cita-citanya. Jae ingin menjadi seorang designer yang menjurus pada kesenian. Tapi karena keuangan yang tidak memungkinkan, Jae harus memilih perkuliahan ekonomi menggunakan beasiswa yang ia dapat karena kepintaran dan kegigihannya. Demi sarjana dengan cepat, Jae harus mempertahankan beasiswanya dengan belajar sungguh-sungguh agar bisa sukses menghidupi dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Jae tidak masalah cita-cita menjadi designer hanya sebatas mimpi, justru ia sangat bersyukur bisa melanjutkan pendidikannya tanpa mengeluarkan uang sepeserpun dan bisa mengurangi list bayaran yang harus Jae sisihkan setiap bulannya.
Ditengah kesibukannya berkuliah, Jae juga bekerja paruh waktu untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari dan membayar sewa kamar yang ia tempati. Jae bekerja di salah satu mini market yang tak jauh dari tempat tinggalnya, hanya berjarak 50 meter.
Jae hidup sebatangkara semenjak sang Ayah meninggal dunia 2 tahun yang lalu, karena kecelakaan tepat dihari kelulusannya saat di perjalanan menuju sekolah Jae. Semenjak kejadian itu membuat Jae menjadi pendiam dan suka menyendiri, dimana ia belum menerima kenyataan bahwa tidak ada satupun anggota keluarga di sampingnya untuk berbagi suka dukanya.
Sedangkan kerabat kedua orangtuanya tidak pernah menganggap Jae bagian dari keluarga. Tidak ada yang mau mengakui keberadaannya apa lagi mengadopsi dirinya? Jadi Jae memutuskan juga tidak akan mengakui keberadaan mereka, sebagaimana keluarganya tak pernah menganggap dirinya ada. Sebab, Jae bukan tipe orang yang akan bergantung pada orang lain. Jae termasuk orang anti memakan jasa orang, termasuk keluarganya Ayah-Ibunya.
Bugh
Seseorang menepuk punggung Jae cukup keras hingga menyadarkannya dari lamunan. Tidak terkejut lagi, ia bisa menebak siapa yang menepuk punggungnya. Itu adalah salah satu sapaan jika mereka bertemu. Kim Anggie, sahabat Jae yang selalu ada untuknya bagaimanapun keadaannya, disaat terpuruk sekalipun. Sahabatnnya yang biasa dipanggil Gigie, juga selalu memberi nasehat pada Jae. Gigie satu-satunya orang lain yang paling dekat dengannya, menganggap layaknya saudara namun tidak sedarah.
Jae melirik Gigie yang sudah duduk manis di samping, lalu kembali fokus pada bukunya. "Jangan membuat keributan disini, kau mengganggu konsentrasiku." Ia tahu apa maksud Gigie kemari menemuinya, ia malas jika melihat sahabatnya yang berpakaian minim saat di kampus.
Gigie cukup liar akhir-akhir ini, membuat Jae sedikit kesal karenanya. Bahkan setiap sabtu malam selalu mengajaknya kesalah satu kelab ternama, sudah pasti selalu Jae tolak mentah-mentah. Jae yakin Gigie akan mengajaknya lagi karena ini adalah hari sabtu.
"Aku belum mengatakan sepatah kata pun, Jae! Kenapa kau terlalu sensi akhir-akhir ini, apa kau sedang kedatangan bulan?" Gigie mempoutkan bibirnya dengan nada merajuk.
"Karena aku tahu tujuanmu. Jika tidak ada keperluan lain, jangan mengangguku, Gie. Gunakan waktu berhargamu dengan hal yang bermanfaat. Apa kau tidak ada tugas sama sekali?" Peringat Jae yang masih memandang buku di depannya.
"Tugas itu masih bisa dikerjakan nanti! Ayolah temani aku. Aku tidak ada teman untuk kesana, apa kau tega membiarkan aku sendirian? Lagi pula hitung-hitung kau refreshing. Aku yakin otakmu sudah panas karena kau tidak mengizinkannya beristirahat!" Alasan Anggie yang selalu sama membuat Jae menutup matanya jengah.
***
Deguman bass musik dan lampu yang remang tak mengganggu kedua pria yang sedang duduk di depan bartender memegang gelas masing-masing.
Suho, sengaja mengajak David—sahabatnya ke sebuah kelab malam ternama mencoba untuk menghibur dan menghilangkan penat sejenak. Sebenarnya David tidak meceritakan apapun permasalahnya, tapi Suho tahu ini pasti menyangkut dengan Yasmine. Karena jika ada sesuatu pada wanita itu, David pasti tak akan bersemangat seperti sekarang. Bagaikan ikan tanpa air untuk bernafas, David terlihat begitu menyedihkan.
"Irene dan yang lain akan datang kemari," Ucap Suho memecah keheningan sambil menuang sebotol vodca ke gelas di depan David.
"Jadi kau akan bertunangan dengan Irene?" Tanya sendu David tak mengalihkan pandangannya dari gelas yang baru Suho tuangkan.
"Ya, lusa kami akan bertunangan. Setelahnya kami akan merencanakan pernikahan," Jawab Suho dengan antusias. Lalu ponsel pintarnya berbunyi tanda seseorang menelpon. Ia pun beranjak meninggalkan David untuk mengangkatnya.
Mendengar itu David terkekeh pelan, bukan kepada Suho melainkan pada dirinya sendiri. Keberuntungan berpihak pada Suho, bisa memilih pasangan hidup sesuai dengan keinginannya sendiri. Lihatlah dirinya, betapa menyedihkan kisah cinta yang selama ini ia bangun bertahun-tahun harus kandas karena keputusan kedua orangtuannya.
Setelah menerima telpon dari seseorang, sekarang Suho tahu alasan David seperti ini. Ia bersyukur membawa David kemari untuk mengontrol agar tidak bertindak bodoh, walaupun Suho tahu David bukan pria nekat, tapi bisa saja ‘kan sahabatnya ini berniat menghamili Yasmine agar bisa tetap bersama.
Siapa yang tahu jika seseorang sedang dikaluti dengan rasa emosi dan buta akan cinta bisa menutupi akal sehat?
***
Setelah perdebatan kedua sahabat tadi siang, akhirnya Jae menyerah untuk ikut bersama Gigie. Tentu ada beberapa syarat di tengah kesepakatan mereka. Salah satunya Jae tidak ingin meminum-minuman beralkohol dan ini adalah ajakan pertama&terakhir untuk Jae.
Sekarang mereka baru saja memasuki ruangan yang asing bagi Jae. Ia kebingungan dan merasa risih. Tentu saja baju kurang bahan yang ia kenakan ini bukan miliknya, melainkan milik sahabatnya yang pemaksa itu. Tidak terlalu sexy bagi Gigie, tapi bagi Jae ini sangatlah minim untuknya. Karena baju tidak memiliki kerah hingga mengekspos bahu mulusnya walau mempunyai lengan baju yang panjang menutupi tangannya. Jangan lupa bagian bawah terlalu pendek hampir memperlihatkan seluruh batang pahanya yang mulus.
Ini benar-benar bukan gaya seorang Jae yang lebih suka mengenakan mantel tebal dicuaca dingin untuk menghangatkan diri dan sepatu sneakers disetiap harinya. Ia tidak mengerti Gigie bisa memakai pakaian tipis dan kurang bahan seperti ini berjam-jam. Demi menampilkan lekuk tubuh, yang jujur saja Jae tidak begitu percaya diri dengan tubuhnya tidak tinggi seperti tubuh Gigie yang profesional.
Dan untuk alasan Gigie tentu saja sudah terbiasa dengan pakaian minim semenjak ia masuki dunia malam seperti sekarang. Gigie langsung menghampiri teman-temannya dan menggiring Jae untuk masuk ke dalam.
"Hey! Kalian tidak memulainya tanpa aku ‘kan?" Sapa Gigie pada temen-temannya, beberapa orang sudah berkumpul mengelilingi salah satu meja bundar yang cukup besar.
"Kau terlambat, Gigie." Ucap seseorang pria yang suaranya cukup melengking.
"Aku harus membujuk sahabatku dulu untuk bisa bergabung dengan kita, Baekhyun."
"Aaa~ jadi dia teman yang kau ceritakan itu?" Tebak pria yang bernama Baekhyun tadi.
"Baby, kau tidak menyapaku. Malah berdebat dengan Baek! Apa aku tidak menarik perhatianmu sama sekali?" Suara dengan nada merajuk membuat Gigie dan Jae menoleh padanya.
"Sehun, bisakah kau tidak bermanja dengan Gigie sebentar? Kau selalu menyusahkannya. Aku jadi kasihan dengan dia karena sudah mau menjadikanmu kekasihnya yang super cerewet!" Cibir pria yang tidak kalah putih dengan pria yang merajuk dengan Gigie tadi.
"Suho hyung! Jika Gigie sudah menerimaku menjadi kekasihnya berarti dia sudah menerima kekurangan dan kelebihanku! Iya kan, baby?" Lembutnya diakhir kata menatap Gigie yang masih berdiri di samping Jae.
Jae terkejut, ternyata Gigie sudah mempunyai kekasih selama ini, tapi tidak pernah bercerita? Jae menghela nafas lalu berbisik mendekati telinga sahabatnya.
"Kau berhutang cerita denganku!"
"Hey hey girls, tidak sopan jika berbisik didepan orang banyak." Tegur wanita yang terlihat sedikit diatas lebih tua dari Jae dan Gigie.
"Maaf Irene eonnie, temanku hanya ingin memesan minuman denganku." Gigie menampilkan senyum lebarnya dan Jae hanya tersenyum canggung kearahnya.
"Oh ya, perkenalkan namanya Lee Jaena, sahabatku yang pernah aku ceritakan pada kalian." Ucap Gigie menunjukkan sosok Jae pada teman-temannya.
"Hey, honey! Duduklah di sampingku." Ajak pria yang Jae ingat bernama Baekhyun.
"Dia terlalu polos untuk kau dekati, Baek." Tegur pria yang tertua disini, Suho.
Jae hanya tersenyum canggung mendengar perdebatan random ulah teman-teman Gigie ini. Hhhh~ sahabat apa namanya yang meminta sahabatnya memasuki dunia malam seperti ini? Karena tidak tahu harus melakukan apa, matanya berjalan melesuri pria-pria tampan dan satu wanita yang dipanggil Irene itu di depannya. Lalu terhenti pada pria di samping wanita itu yang hanya duduk diam sejak Jae datang tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Dia terlihat mabuk. Pria itu hanya diam sibuk menuang minuman kegelasnya yang Jae yakin adalah minuman beralkohol, tanpa memperdulikan teman-temannya yang berdebat atau dirinya yang menjadi sorotan sesaat ketika ia baru datang menghampiri mereka, pikir Jae.
Gigie menyuruh Jae untuk duduk di bagian yang kosong bersebelahan dengan Irene. Sedangkan Gigie duduk di sofa tunggal berpangkuan dengan kekasihnya, Sehun. Tangan Sehun pun langsung memeluk perut ramping Gigie dengan posesif.
Melihat itu Jae cukup kaget, apa memang seperti ini gaya berpacaran Gigie? Atau karena pergaulannya yang merubah sahabatnya itu seperti wanita bebas? Separuh kepribadian Gigie berubah sejak wanita itu menasuki dunia malam.
Disisi lain, Gigie menelusuri yang lain lalu bertanya pada kekasihnya. "By the way, siapa pria jangkung itu? Aku seperti baru pertama kali melihatnya," suaranya cukup kencang hingga yang lain mendengar dan ikut mengarah pada pandangan Gigie.
"Dia temanku sejak kecil sejak orang tua kami memutuskan untuk bekerja sama. Namanya Park Chanyeol, dan dia sedang patah hati, jadi aku mengajaknya kemari." Jelas Suho.
"Dia juga temanku satu sekolah dimasa SMA dulu." Sahut Baekhyun.
"Apa dia mengakuimu sebagai teman, Baek?" Yang lain hanya tertawa mendengar celetukan dari Sehun, dan mereka melanjutkan percakapan mereka dengan tawa. Sedangkan Jae hanya diam tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.
Beberapa saat kemudian pesanan minum mereka datang. Jae langsung meminumnya karena haus, karena kegegabahannya pun membuatnya tersedak “Uhuk uhuk! Kenapa pesananku rasanya pahit seperti ini?" Tanya Jae. Mereka yang ada di sana langsung mengalih pandangan tertuju pada suara Jae yang terdengar nyaring.
"Ini minumanmu, honey. Itu minuman sahabat mu," Irene menodorkan gelas lainnya pada Jae.
***
"Apa temanmu benar-benar sepolos itu, Gie?" Tanya Suho sambil menatap punggung Jae yang menjauh menuju toilet.
Gigie hanya menampilkan senyum bodohnya "Dia hanya tidak tahu cara minum," Ucapnya hati-hati.
"Sahabat apa kau mengajarkan temannya ke tempat yang tak biasa kemari?" Suho memang tertua sekaligus penasehat diantara mereka.
"Berhenti mengintimidasi kekasihku, hyung! Aku yakin dia punya alasannya. Iyakan, baby?" Sehun menegakan badan dari duduknya dengan pergerakan melindungi.
"Tujuanku membawanya kemari untuk memberikannya sedikit kebebasan. Setiap hari dia selalu melakukan kesibukan yang membosankan, hanya kerja-belajar-kerja-belajar. Jika aku jadi dia, mungkin akan lelah dan mati kebosanan. Tapi dia tidak mengeluh sama sekali, dia tetap melakukannya setiap hari jika bukan aku mengajaknya untuk refreshing seperti ini.” Andai Jae mau berkeluh kesah padanya, Gigie rela memberikan separuh uang jajannya pada Jae. Dan ia pernah menawarkan itu, namun selalu ditolak Jae.
“Bayangkan, dia tidur hanya beberapa jam dalam sehari. Aku sudah memperhatikannya beberapa bulan terakhir, semenjak dia bekerja didua tempat sekaligus membuat kami jarang bertemu. Kalau bukan aku yang menemuinya duluan, mungkin dia akan tetap sibuk mengurus rutinitasnya. Aku tidak akan pernah tega melihat sahabatku seperti itu. Oh tidak, dia sudah aku menganggapnya saudara kembarku." Jelas panjang lebar Gigie terdengar kesal dan sedih secara bersamaan terhadap sahabatnya yang berjuang menempuh hidupnya seorang diri.
Gigie tahu betul, Jae tidak akan bergantung pada siapapun, apapun itu. Dalam pikiran Jae, bergantung pada seseorang atau menerima tawaran jasa seseorang sama saja akan menambah masalah secara tak langsung, yang membuatnya risih dan Jae akan merasa terbebani. Jae akan berusaha melakukan semua sendirian, selama ia masih mampu melakukannya.
***
Setelah Jae merapikan dress kurang bahan milik sahabatnya yang ia kenakan ini, ia melangkah keluar. Jae langsung tersentak kaget melihat seorang pria yang cukup ia kenali sedang berjalan sempoyongan, sepertinya dia sama seperti Jae, baru keluar dari toilet.
Ternyata benar, dia pria jangkung yang tadi, batin Jae.
Terlihat akan jatuh, dengan cepat Jae menghampiri pria itu untuk menuntunnya kekursi terdekat karena meja mereka cukup jauh dari sini. Jae ingin memanggil yang lain untuk membantu pria mabuk ini mengantar pulang.
Jae tidak begitu mengerti kenapa beberapa orang memilih untuk mabuk. Mendiang Ayahnya pernah mengatakan, bahwa alkohol bisa menjadi pendamping merayakan sesuatu yang menyenangkan atau teman saat sedih sekalipun.
Jika dilihat wajah pria ini, tidak terlihat senang sama sekali, melainkan sebaliknya bahkan sangat suram. Rambut yang cukup berantakan, kemeja yang dua kancingnya terbuka dibagian atas hingga Jae bisa melihat d**a bidang itu dari sini.
Apa dia sedang bersedih? Memangnya apa yang dia pikirkan sampai seperti ini? Rasa penasaran Jae mulai memasuki kepalanya. Tanpa sadar Jae memperhatikan wajah pria ini beberapa detik setelah mereka duduk berdampingan.
Karena merasa diperhatikan, pria itu menatap Jae dengan sendu. "Yasmine?" Ucapnya serak meraih pipi Jae dengan lembut.
Kening Jae berkerut heran. Yasmine? Nama kekasihnya? Apa mereka sedang bertengkar? Lagi-lagi batin Jae bertanya pada batinnya, karena percuma saja bicara pada seseorang yang sedang hilang kesadaran.
Jae langsung berdiri ingin memberitahu Gigie bahwa temannya yang satu ini sudah mabuk berat, mulai berhalusinasi. Sayangnya pergerakan Jae tercekat karena lengannya ditarik dengan cepat. Alhasil membuat badan Jae yang lebih kecil membuatnya jatuh diatas pangkuan pria itu.
Mata mereka pun bertemu dan kembali beradu beberapa saat. Mata besar nan hitam itu masih menatapnya seolah Jae adalah kekasih yang amat dicintai namun penuh luka di dalamnya. Dekat, sangat dekat jarak diantara keduanya. Membuat jantung Jae mulai berdetak tidak wajar. Tak heran mengingat ini kali pertama Jae sedekat ini dengan pria selain Ayahnya sendiri.
"Yasmine, maafkan aku." Pria ini memeluknya lalu membenamkan wajah di tekuk leher Jae.
Jae hanya bisa mematung lalu berkedik geli karena nafas itu menerpa lehernya. Ia ingin mendorong tapi tidak bisa, pria ini memeluknya begitu erat bersama isak tangis yang membasahi bahunya. Jae bingung ingin melakukan apa, dan malu. Malu pada orang-orang yang lewat menatap mereka penasaran kenapa pria ini menangis, itu cukup membuat Jae risih.
Tak berapa lama kemudian, pria itu melonggarkan pelukannya utnuk mengamati wajah Jae lamat-lamat dengan mata sembabnya. Tanpa aba-aba ia melahap bibir Jae, tak mengizinkan Jae untuk bernafas sedetikpun.
Dengan sekuat tenanga Jae memberontak. Sudah jelas tidak akan membuahkan hasil, ia tetap mencoba sebisanya seolah mukjizat akan menghampirinya memperbesar tenaganya, atau paling tidak ada seseorang menolongnya. Sayangnya itu hanya sebuah harapan yang berakhir nihil.
Jae kehabisan tenaga dan tubuhnya pun melemah, ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan selain mengumpulkan tenaga lagi untuk pemberontakan selanjutnya.
Air mata Jae mulai mengalir melalui pipi mulusnya diantara ciuman mereka yang panas. Ia merasakan firasat buruk bahwa pria yang tidak Jae ketahui namanya ini akan menuntut lebih dari sekedar ciuman. Rasa ketakutannya pun meningkat, Jae berharap ada seseorang menolongnya dari pelecehan ini.
Apa yang sedang pria ini pikirkan tentang dirinya hingga melakukan yang tidak seharusnya mereka lakukan. Mereka hanyalah orang asing secara tak sengaja bertemu di tempat yang sama.
Menganggap Jae adalah Yasmine yang pria ini sebutkan tadi? Membiarkan dia melanjutkannya lalu menganggap semuanya hanya kecelakaan ketika bangun dipagi hari?
No! Jae bukan w************n atau takluk hanya karena pria kaya. Walaupun pria ini setampan Pangeran atau sekaya seorang Raja sekalipun, Jae tidak akan pernah mau membiarkan pria lain menjamah tubuhnya sekalin suaminya kelak.
Tapi... Apa prinsip itu masih berlaku untuk sekarang?
Lihatlah Jae saat ini, diperlakukan seperti jalang yang sudah siap ditiduri kapan pun pelanggannya ingin membawa dirinya kesalah satu kamar hotel. Air mata Jae menderas. Sungguh, tubuhnya melemah tak bisa melakukan apapun selain memangis dan terus berdoa dalam hati ada keajaiban datang menolongnya.