Bab 11

1284 Kata
Kaniya tiba menjelang malam dengan membawa tas belanjaan berisi bahan makanan. Kalio yang melihat Kaniya datang dengan tas belanjaan di kedua tangan segera membantu gadis itu untuk membawakannya. “Kenapa Kakak tidak menghubungiku lebih dulu? Kita bisa belanja bersama tadi,” protes Kalio yang kemudian menata semua belanjaan itu. Kaniya tersenyum kecil mendengar protesan pria itu. Dia memilih membuka lemari pendingin untuk mengambil minuman. “Tidak apa. Aku hanya berpikir itu akan lebih cepat jika aku belanja di jalan pulang,” jawab Kaniya sembari meneguk sedikit demi sedikit air dalam gelasnya dan membiarkan Kalio menata semua belanjaan itu. “Oh, ice cream-nya!” imbuh Kaniya dengan semangat menunjuk ice cream miliknya yang tengah ditata Kalio ke dalam freezer. Kalio mengambilkan ice cream itu untuk Kaniya dan gadis itu langsung menikmati makanan itu dengan nikmat. Tidak lama Kalio bergabung bersama Kaniya untuk menikmati ice cream bagiannya. “Bagaimana pekerjaannya? Kau terlihat senang, apa semuanya berjalan lancar?” tanya Kalio sembari menikmati ice creamnya. Kaniya terlihat tersenyum kembali. “Semua baik-baik saja, Kalio. Teman kerjaku baik, semua lancar,” lapor Kaniya dengan mantap. Walau sejujurnya ada beberapa pria yang mulai mendekatinya, tapi Kaniya pikir dirinya bisa mengatasi semua itu. Ditambah lagi sejak hari itu Kaniya belum bertemu sama sekali dengan Tuan Daniel karena pria itu tengah melakukan perjalanan bisnis. Sepertinya dirinya akan baik-baik saja. Kalio merasa lega mendengar kabar itu. “Syukurlah kalau begitu, Kak. Pastikan untuk tendang saja kemaluan para pria itu jika mereka berani mengganggumu, dan segera katakan padaku jika mereka masih mengganggumu. Kau mengerti kan?” tegas Kalio dengan tatapan lembutnya pada Kaniya. Membuat gadis itu tersenyum lebar. “Hahaha, baiklah. Aku mengerti. Kau tumbuh dengan manis, Kalio. Aku bangga padamu.” Kalio menyadari bahwa Kaniya mengatakan hal itu dengan sungguh-sungguh, membuatnya merasa hangat karena telah membuat Kaniya merasa bangga akan pertumbuhannya. Hari-hari itu Kalio dan Kaniya menjalani hari dengan damai. Kaniya tidak perlu berkeliling mencari pekerjaan di luar sana, dan hal itu membuat Kalio merasa lebih tenang. Tiap hari mereka akan berangkat bersama meski tujuan mereka berbeda tempat. Di tempat perhentian, mereka akan berpisah jalan seperti biasa. “Aku ingat kau akan melakukan pelatihan ujian hari ini bukan? Apa kau sudah menyiapkan semuanya Kalio?” tanya Kaniya di sela langkah mereka berangkat kerja dan sekolah, suatu hari. “Aku sudah menyiapkan semuanya, Kak.” “Baguslah. Semoga berhasil, Kalio,” doa Kaniya sembari melempar tanda perpisahan mereka pagi ini. Kalio menganggukkan kepala dan melangkah ke sisi lain setelah melempar lambaian tangan pada Kaniya. Seperti biasa, Kaniya akan memperhatikan punggung Kalio sejenak hingga pria itu berjarak cukup jauh sebelum akhirnya dirinya berbalik ke sisi lain menuju arah tempat kerjanya sendiri. Kaniya memulai pekerjaannya sejak beberapa waktu yang lalu dengan melakukan beberapa hal. Hingga tiba saatnya gadis itu ditugaskan untuk membuat dua cangkir kopi. Ruangannya cukup sepi pagi ini dan Kaniya seorang diri. Gadis itu tidak menyadari bahwa sejak beberapa detik yang lalu seseorang telah memperhatikan dirinya dalam diam. Kaniya begitu fokus membuat pesanan kopi itu hingga dirinya kemudian merasakan hembusan napas berat pada area tengkuknya yang terbuka karena gadis itu mengikat tinggi rambut panjangnya. Seketika Kaniya terkejut dan secara reflek berbalik ke belakang. “Oh hai Kaniya. Apa aku mengejutkanmu? Maafkan aku, aku hanya mencium aroma manis dari tubuhmu dan hanya ingin mengetahui parfum apa yang kau gunakan,” ucap seorang pria yang cukup Kaniya kenal. Pria itu adalah salah satu karyawan di perusahaan ini. Beberapa kali Kaniya melihat pria itu sedang memerhatikan dirinya dan itu membuat Kaniya merasa tidak nyaman. Kaniya langsung merapat ke meja pantri untuk menjaga jarak darinya. “Tolong jangan lakukan hal itu lagi. Saya tidak nyaman,” tegas Kaniya dengan terang-terangan membangun dinding batasan di antara mereka, walau tetap dirinya perlu bersikap lebih sopan pada pria itu. Kaniya tidak ingin membuat masalah di tempat kerja yang baru beberapa hari ini dimasukinya, karena pekerjaan ini sangat berarti untuk Kaniya. Namun bukannya beralih mundur, pria itu justru melangkah maju dan menyudutkan Kaniya yang sudah tidak bisa bergerak mundur lagi darinya. Membuat Kaniya mulai merasa panik. “Ha? Tidak nyaman? Memang apa yang telah kulakukan ha? Kau berbicara seolah aku telah melakukan sesuatu yang buruk padamu. Hei Kaniya, jaga ucapanmu itu. Kau hanya karyawan baru di tempat ini. Apa kau mengerti?!” ucap pria itu bersikap seolah dirinya tidak tahu apa-apa dengan ulahnya sendiri. Kesempatan itu justru dipakainya untuk semakin merapatkan diri pada tubuh Kaniya seolah dia tengah mengintimidasi gadis itu. Kaniya berusaha menjaga jarak di antara mereka dengan meletakkan kedua tangan di antara mereka dan menahan laju pria itu untuk tidak semakin bergerak mendekat. “Ah Tuan, tolong jangan mendekat! Hentikan ini!” Seru Kaniya. Gadis itu berada di antara takut dan penuh harap. Takut jika seseorang akan masuk ke ruangan itu dan melihat mereka berdua lalu menjadi salah paham, sekaligus penuh harap untuk seseorang datang dan membantunya keluar dari situasi sialan ini. Kini Kaniya bahkan bisa merasakan sesuatu yang keras telah menusuk perutnya. Pria itu sengaja semakin menggesekkan tubuhnya terutama bagian intim pada tubuh Kaniya yang berusaha menolaknya, membuat Kaniya merasa takut dan jijik. “Apa? Kenapa? Kau tidak suka denganku huh? Memang kenapa denganku ha? Jangan sombong kau, dasar karyawan baru!” balas pria itu yang semakin terlihat senang mempermainkan Kaniya. Tanpa pria itu sadari bahwa Kaniya sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi. “Aku bilang henti—“ “Apa yang kalian lakukan?!” Seketika suara Kaniya terpotong karena suara yang tiba-tiba muncul dari arah belakang pria itu. Tangan Kaniya yang sudah meraih gagang cangkir berisi air panas, siap untuk menyiramkannya pada wajah pria m***m itu seketika terhenti di tempat. Kini perasaan amarah yang melanda dirinya, seketika berganti takut dengan raut wajah horor menatap siapa pemilik suara dalam tersebut. “Tu—tuan Daniel ...” bisik Kaniya dengan suara tercekat. Gadis itu tidak menyangka dari semua orang yang ada di sekitar tempat itu, kenapa harus pria menyeramkan itu yang muncul dan melihat kejadian tidak pantas ini? Kaniya langsung menundukkan pandangan matanya menghindari tatapan Daniel yang tajam seolah siap akan membunuh siapa pun yang ada di depannya. Kaniya ingat bahwa pria itu harusnya masih melakukan perjalanan bisnis hingga esok. Siapa yang menyangka bahwa ternyata dia akan datang ke kantor pagi ini. Kaniya menelan air ludah dengan susah payah. Merasa takut dengan apa yang akan terjadi. Sejak awal pria itu sudah membencinya, lalu apa yang akan terjadi jika dia semakin salah paham padanya karena kejadian ini? Kaniya tidak ingin dipecat. Apa lagi dipecat dengan memalukan untuk kesalahan yang bukan diperbuatnya. Ini benar-benar membuat Kaniya ingin menangis saja. Tanpa sengaja gadis itu melihat tangan pria m***m yang masih berdiri di depannya nampak gemetar di satu sisi. Barulah Kaniya menyadari bahwa pria itu nampaknya juga sama takutnya seperti Kaniya. “Tu—tuan Daniel, selamat pagi. Saya tidak tahu bahwa anda akan datang pagi ini dari perjalanan bisnis ha ha,” ucap pria itu mencoba menyembunyikan kegugupannya setengah mati. Namun semuanya terlihat sia-sia mengingat respon dingin dan mematikan yang telah Daniel tunjukkan saat ini. Mata tajam dengan netra biru bak sedalam lautan itu menatap pria m***m itu dengan pandangan begitu dingin, lalu beralih ke arah Kaniya yang juga tengah menatap ke arahnya. Seketika Daniel semakin merasa muak dengan gadis itu. Amarah yang bekobar dalam dadanya langsung memuncak dengan kepalan tangan di kedua sisi yang terbuka dan jemari yang sesekali bergerak kaku. Mereka berdua tidak pernah tahu apa yang dipikirkan Daniel saat ini. Tidak pernah tahu bagaimana Daniel ingin mencekik dan meremukkan tiap tulang dalam tubuh pria m***m itu hingga hancur tidak berbentuk, dan berteriak sekencang mungkin pada Kaniya, mengumpatinya dengan ucapan kasar yang menjelaskan betapa rendahnya gadis itu di hadapannya lalu membanting tubuh kecil gadis itu dan menghantamkan kepalanya pada dinding dengan keras untuk menunjukkan betapa marahnya dirinya saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN