14 | Perkara Mayam

1804 Kata
Esoknya, pagi-pagi sekali Ainun dikejutkan oleh kedatangan Minah saat ia tengah menyapu halaman rumah. "Dek Ainun, Kak Minah denger Bang Syam lagi sakit, ya? Katakan padanya kalau Kak Minah datang menjenguk, Kak Minah sampai gak bisa tidur semalaman mikirin si Abang, loh! Nih, liat kantung mata Kak Minah, jadi hitam, kan?" Minah menunjukkan kantung matanya yang tidak terlihat hitam sama sekali. Ainun bergidik ngeri mendengar nada suara Minah yang dibuat-buat manja dan juga terdengar genit. Rasanya ia ingin muntah saja. "Abang lagi gak bisa diganggu, Kak! Maaf, ya," kata Ainun. "Lagian Kak Minah ngapain coba pagi-pagi udah datang aja ke sini? Ini masih pagi, loh, Kak, matahari aja belum terbit sempurna." "Iihh... Dek Ainun, masa gitu sama calon Kakak Iparnya." Minah menampakkan wajah cemberutnya. Ainun memutar bola matanya ke atas, bosan mendengar celetukan wanita genit itu. "Ya sudahlah kalau Dek Ainun bilang begitu, salam sayang, ya, buat Bang Syam," imbuhnya lagi sebelum pamit pergi. Ainun menatap wanita yang jalannya berlenggak lenggok itu hingga hilang dari pandangan. Helaan napas lega terembus dari hidungnya. Berhadapan dengan Minah terkadang membuatnya gemas tak terkira. Apalagi kalau bukan karena gaya genitnya yang terlihat dibuat-buat. Untung saja suaranya tidak ikutan mendesah ketika berbicara. Setelah selesai menyapu halaman dan mengumpulkan sampah ke dalam tong, Ainun segera membersihkan kaki dan tangan di keran sebelum memasuki rumah. "Nun, kalau Abang belum sembuh, apa kita tunda aja pertunangan kamu besok?" ucap Hanum saat Ainun menjejakkan kakinya di ruang tengah. Hati Ainun tiba-tiba diselimuti gelisah. "Apa gak apa-apa kalau kita tunda, Mak?" "Mak juga bingung, tapi Bang Syamsul lagi sakit, bagaimana kita bisa bikin acaranya kalau Abangmu kurang sehat begitu?" Ainun tahu kegelisahan Mak, karena ia pun sama merasakannya juga. Helaan napas terembus berat dari keduanya. Bagaimana cara mengatakannya pada pihak keluarga Zulfikar? Sementara persiapan mereka sepertinya sudah siap sedia. "Lanjutkan saja sebagaimana mestinya, jangan ditunda, Abang baik-baik saja," sela Syamsul yang mendengar pembicaraan Mak dan Ainun. "Yakin Abang udah baikan?" tanya Ainun ragu. Syamsul mengangguk meyakinkan kedua wanita beda usia yang sangat ia sayangi ini. "Terus, lamaran Abang kapan? Bukannya kemarin Mak kata sebelum aku tunangan, kita lamar Zahra?" bisik Ainun di telinga Hanum agar tak terdengar abangnya. "Lamaran Abang kita tunda dulu, Mak juga gak sanggup buru-buru begini. Kita lakukan satu-satu dulu, setelah itu baru kita pikirkan Abangmu," balas Hanum. "Kenapa denganku?" Syamsul mengernyit saat namanya disebut-sebut. "Gak apa-apa," ucap Ainun cepat. Hanum tersenyum, lantas beranjak mengambil kotak perhiasan di dalam laci lemari pakaian. "Perhiasan ini Mak beli buat mahar kamu nanti." Hanum mengeluarkan cincin dan seuntai kalung emas berbandul pintu Aceh. "Masya Allah, cantik banget!" seru Ainun dengan manik mata berbinar terang. Ia mengambil kalung itu sambil mengelus-elus bandul pintu Aceh. "Aku dimaharin berapa mayam, Mak?" tanyanya tiba-tiba penasaran berapa jumlah mahar yang ditentukan untuknya. "15 mayam." "Yang ini semuanya berapa mayam?" Ainun menunjuk kalung dan cincin di tangannya. "20 mayam," jawab Hanum. "Punyaku kenapa dikit?" Ainun tak terima maharnya cuma 15 mayam. "Sebaik-baik wanita yang memurahkan maharnya, 15 itu aja udah lumayan banyak, Dek," sela Syamsul. "Terus punya Abang kenapa banyak? lebih 5 mayam dari maharku?" "Dan sebaik-baik pria yang melebihkan maharnya!" Syamsul terkekeh melihat raut wajah sang adik yang berubah cemberut. "Itu lanjutan haditsnya, bukan Abang yang bilang." "Iya, iya...." "Niatkan ibadah, jangan hanya perkara jumlah mayam yang berbeda membuatmu jadi gak ikhlas, Adek Loen Sayang!" Syamsul merangkul Ainun dengan sayang. "Benar kata Abang, Nun, mahar ini memang sudah disiapkan oleh Allahuyarham Abi untuk Abangmu. Abang sebagai pemimpin dalam rumah tangga, sedangkan kamu sebagai perempuan menjadi makmum untuk suamimu nanti. Jadi, dalam jumlah mahar itu tergantung pihak laki-laki mau menambahkan atau tidak sama sekali, yang penting kita perempuan sudah memudahkannya," jelas Hanum panjang lebar. "Dengar itu, Dek, yang penting kita gak memberatkan pihak calon kita," tambahnya lagi. "Iya, aku denger." "Nah, sekarang udah jelas, ya, kenapa mahar kita beda. Lagipula orang tuanya malah meminta mahar 10 mayam, lebih banyak mana coba mahar kamu sama dia?" Syamsul tersenyum simpul melirik adiknya. "Dia siapa?" tanya Ainun cepat dengan mata menyipit. "Ya calon Kakak Ipar kamulah, Dek!" Syamsul menyeringai samar. "Siapa calon Kakak Iparku?" "Masa kamu gak tau?" Syamsul memutar bola matanya malas. Adiknya ini pakai acara pura-pura tak tahu segala. "Eheemm...!" Ainun berdeham keras sambil melirik nakal abangnya. Hanum yang sejak tadi diam mendengarkan ocehan kedua anak kesayangan, lantas bersuara. "Berarti besok tetap kita lanjutkan acaranya, ya?" Mendapatkan anggukan dari Syamsul, Hanum melanjutkan. "Karena pertunangan Ainun dilaksanakan bulan puasa, Mak gak banyak mengundang orang, saudara kita juga hanya satu dua orang saja yang Mak kasih tau, termasuk tetua kampung, total semuanya ada 30 orang, kurang lebihnya segitu. Beginilah untungnya berjodoh dengan orang yang tinggalnya satu kampung dengan kita." Mak tersenyum senang. Rasa bahagia kini tergurat di wajahnya yang tidak muda lagi. "Kalau dari pihak Zulfikar, ada berapa orang?" tanya Syamsul memastikan. "Kemungkinan ada 15 orang," jawab Ainun. "Zulfikar-nya datang gak, Mak?" tanya Ainun antusias. "Mana ada calon laki datang, jangan ngada-ngada kamu." "Tapi kata Abang kemarin," Ainun tidak melanjutkan ucapannya saat menyadari ia telah dipermainkan oleh abangnya. "Bang Syamsul...," teriaknya, lalu memukul-mukul lengan abangnya dengan gemas. Bisa-bisanya ia terpengaruh ucapan abangnya tempo hari sebelum ia jatuh sakit. Syamsul tertawa senang karena telah mengerjai adiknya. Berkumpul bersama keluarga seperti ini membuat Syamsul sembuh dari sakitnya. Terselip rasa bahagia melihat senyum terukir dari dua wanita yang sangat ia sayangi setelah kepergian sang abi untuk selama-lamanya. ***** Zulfikar baru saja pulang dari masjid ketika Zulaikha menanyakan tentang isi hantaran, apakah perlu tambahan lagi atau sudah cukup. Zulfikar memerhati setiap isi di dalam kotak yang terletak di ruang tengah. Kotak khusus tempat isi hantaran yang ia sewa di toko rias pengantin. Di sana ada tiga box lengkap dengan isinya. Satu setelan bakal baju dan juga jilbab terbungkus rapi di dalamnya. Berbagai macam alat kosmetik tersusun indah di dalam box yang lainnya. Dan di dalam box terakhir, tampak sepasang sepatu, sandal dan satu tas LV berwarna navy. Merasa ada yang kurang, Zulfikar kembali meneliti setiap isi kotak-kotak hantaran. "Kak!" panggilnya. "Ini ada yang kurang, telekung belum ada." "Astaghfirullah... Akak lupa!" Zulaikha memukul jidatnya pelan. "Syukur kamu ingatkan, coba kalau besok Akak baru sadar, mau tarok di mana muka Akak ini." "Atau gak usah aja, Kak? Biar sekalian waktu nikah aja nanti?" "Jangan, kayak kurang lengkap gitu kalau gak ada mukena." "Terserah Akak, aku ikut aja." Zulfikar kembali mengamati satu per satu isi di dalam kotak hantaran. Senyum tersungging di bibirnya memikirkan sebentar lagi ia akan menandai Ainun dengan tanda di jari manisnya sebagai pengikat hubungan mereka. "Ranup kapan dihias?" Zulaikha menunjuk daun sirih segar di dalam kantong plastik. Hasil dari petikan salah satu saudaranya. "Nanti malam setelah shalat Tarawih." Zulaikha mengangguk paham. Lalu ia meninggalkan adiknya seorang diri di ruang tengah. Zulfikar tidak bertanya ke mana kakaknya itu hendak pergi. Setelah bermenit-menit menatap barang hantaran, ia beranjak ke kamar. Mengambil tiga kotak berwarna merah dengan ukuran berbeda di atas meja, lantas ia bawa bersamanya ke atas tempat tidur berukuran single, tetapi terlihat agak sedang dari ukuran biasanya. Ia buka kotak itu satu per satu. Satu cincin dengan ukiran nama mereka di dalamnya, tersimpan di dalam kotak kecil. Satu gelang rantai berbandul, berada di kotak sedang, sementara di dalam kotak yang lebih besar dari dua kotak tadi terdapat seuntai kalung bertuliskan 'Ainun'. Khusus ia pesan sebelum mengajukan lamaran pada sang pujaan. Zulfikar terlalu percaya diri, sehingga ia sangat berani memesan kalung bernama ini terlebih dahulu daripada ia lempar proposal pada si pemilik nama kalung yang berada di tangannya. Merasa cukup puas memandang bakal mahar sang bidadari, Zulfikar kembali meletakkan benda-benda ini ke dalam kotak, lalu menutupnya. Rasa lelah dan ngantuk mulai menyerang. Baru merebahkan diri, matanya langsung terpejam. Tidak lama kemudian napasnya mulai teratur. ***** Ashshalaatu khairumminannaum....! Seruan shalat Subuh mulai bergema. Dengan langkah berat karena masih mengantuk, Ainun berjalan ke kamar mandi. Setelah bersahur tadi ia kembali tidur, sehingga sekarang matanya terasa berat. Tidak biasanya ia seperti ini. Mungkin ini efek dari rasa cemas memikirkan pagi nanti ia akan bertunangan. Namun, itu tidak berlangsung lama. Ketika basuhan wudhu menyentuh kulitnya, mata Ainun tampak segar berikut dengan wajahnya sekalian. Tak lupa pula ia membaca doa setelah berwudhu, setelahnya ia kembali dan bersiap-siap menunaikan panggilan Ilahi. "Ainun!" panggil Hanum seraya mengetuk pintu kamar anak gadisnya. Lama tak terdengar suara, Hanum mencoba menekan gagang pintu. Yang ia pikirkan tadi masih tertidur berselimutkan mimpi, rupanya sedang menghadap Sang Ilahi. Senyum terukir di wajah Hanum melihat anak-anaknya tidah susah dalam melakukan kewajiban sebagai seorang hamba. Menutup pintu kembali, Hanum berlalu dari sana. Saudara-saudaranya mulai berdatangan tepat pukul delapan pagi. Rumah Ainun sudah dihias kemarin sore. Hanya hiasan alakadar karena mengingat bulan Ramadhan. Tidak ada makanan dan minuman. Acaranya benar-benar sangat sederhana. "Bagaimana, sudah siap?" Syamsul menyibak tirai kamar adiknya. Manik mata coklat tua Syamsul melirik sekilas ke arah Zahara yang tengah membantu Ainun menghias diri. "Riasannya jangan tebal-tebal, natural aja," tegur Syamsul pada keduanya. "Iya, Abang," ucap Ainun dengan irama menggoda, lalu ia terkikik pelan. Tanpa menjawab, Syamsul menutup kembali tirai kamar. "Abang pendiam banget, ya, Nun." Ini bukan pertanyaan, melainkan pernyataan dari Zahara. "Memang! Gimana, masih suka sama Abang yang pendiam itu?" Ainun memainkan kedua alisnya. Sontak saja ia mengaduh karena Zahara memukul lengannya. "Sakit tau!" "Calon Dara Baro gak boleh marah-marah, nanti riasannya rusak." Ainun merengut. Sementara Zahara tertawa lepas menatap sang sahabat yang masih dipolesin sentuhan make up terakhir. ***** Ainun tersenyum manis menatap cincin yang tersemat di jarinya. Setelah Zulaikha sebagai pengganti ibu bagi Zulfikar menyematkan cincin di jarinya, senyum tak lepas dari wajah Ainun. Prosesi pertunangan tadi dilakukan secara singkat saja. Meskipun pertunangannya dilakukan secara sederhana dan acaranya juga lumayan singkat, tak membuat Ainun berkecil hati. Baginya yang penting itu adalah keberkahan. Berkah karena dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Bulan mulia bagi umat Islam sedunia. "Siapa yang kemarin merajuk karena merasa maharnya sedikit?" goda Syamsul yang sejak tadi mengamati tingkah laku sang adik. Mereka duduk lesehan di atas ambal di dalam kamar Ainun. Hanya sebagian saudaranya yang tinggal, selebihnya langsung pamit pulang. Dan sekarang mereka tengah memasak di dapur untuk berbuka puasa nanti. "Abang, iiihhh... jangan diungkit kenapa, sih?" Ainun mendelik sebal. Pasalnya, bila ia mengingat masalah jumlah mayam kemarin, sungguh ia sangat menyesal. "Liat aja sekarang, cincinnya ada ukiran nama kalian di dalamnya, trus kalung juga ada nama kamu tercetak besar, ini lagi gelang tangannya, besar!" Syamsul menunjuk satu per satu emas di dalam kotak dan di jari tangan Ainun. Hanya cincin yang disematkan, sementara yang lain akan disematkan oleh Zulfikar saat mereka nikah nanti. Begitu yang ia dengar tadi. "Abang minta 15 mayam, tapi liat, dia malah memberi lebih daripada yang abang minta, senang gak kamu?" Ainun hanya mesem-mesem, satu sisi ia merasa malu, di sisi yang lain ia merasa sangat senang karena mayam-nya sama seperti Zahara. 20 mayam. Sementara Zahara yang tidak tahu apa-apa, tengah sibuk membantu para orang tua memasak di dapur. Ibunya pun turut serta. Mereka akan berbuka puasa bersama di rumah Ainun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN