13 | Sakit Yang Tak Diundang

1596 Kata
Suasana masjid mulai terlihat ramai dengan adanya anak-anak yang mengikuti pesantren kilat. Semangat mereka tidak surut meskipun hari ini adalah hari terakhir mereka mengikuti pesantren kilat. Dan esok harinya penyerahan sertifikat pada masing-masing anak. "Assslamu'alaikum, anak-anak," sapa Zahara begitu ia memasuki masjid. "Kaifa halukum?" tanyanya lagi mencoba memakai bahasa Arab. Ia ingin melihat sejauh mana anak didiknya ini mengingat pelajaran yang ia berikan tempo hari lalu. Serentak anak-anak menjawab dengan semangat membumbung tinggi. "Inna bikhairi alhamdulillah!" "Masya Allah, pinternya, anak siapa dulu?" "Anak Abi dan Ummi," sahut mereka lagi. Suara cekikikan anak-anak pun menguasai seantero masjid. "Sudah, sudah, sekarang kita belajar doa. Siapa yang bisa baca doa untuk kedua orang tua?" Anak-anak lantas diam. Tak ada lagi suara tawa, yang ada mereka kini kembali fokus ke pertanyaan sang ustadzah. "Saya, Ustadzah!" Seorang anak mengangkat tangannya. "Saya bahasa Arabnya apa?" tanya Zahara. "Ana, Ustadzah," ralat anak itu. "Bagus, nah, coba baca doa untuk kedua orang tua, bagaimana?" "Bismillaahirrahmaanirrahiim, Allahummaghfirli waliwalidayya, warhamhuma kamaa rabbayani shaghira." "Masya Allah! Siapa yang bisa baca doa sebelum makan?" Kini ia beralih pada anak-anak yang lain. Mereka antusias berebutan menjawab pertanyaan Zahara. Senyum mengembang di wajahnya saat melihat anak-anak sangat antusias jika ia mengajar. Syukur tak terhingga ia ucapkan lantaran banyak dari mereka mengingat setiap ajaran yang ia berikan. Tak terasa waktu kian merambat. Masjid telah sepi sejak setengah jam yang lalu. Anak-anak kembali ke rumah setelah gerimis mulai reda. Hanya para Asatidz yang tinggal karena mereka sedang menyiapkan sertifikat buat anak-anak besok. "Selain sertifikat, hadiah juga dipersiapkan, ya." Rais sebagai Ketua Pelaksana mengingatkan mereka supaya tidak lupa. ***** Hatchiiii! Syamsul menyapu hidungnya. Suara bersinnya yang sejak tadi tidak berhenti menarik perhatian Hanum. "Kamu sakit, Bang?" "Enggak tau, nih, Mak, rasanya badan Abang meriang, kepala juga terasa pusing." Hatchiiii! Syamsul kembali bersin. Hidungnya sudah memerah sebab tak lepas dari sapuan tangannya. "Mungkin karena pulang tadi Abang gak pakai mantel," imbuhnya lagi. "Ya sudah, sekarang istirahat dulu sana," perintah Hanum. Syamsul langsung menarik selimut hingga sampai leher. Ia meringkuk seperti janin. Meskipun Sweater turtleneck membaluti tubuhnya, namun rasa menggigil tidak jua berkurang. Berzikir dalam hati, akhirnya mata sayu Syamsul tertutup rapat. "Abang terlalu lelah itu, malam juga terlambat tidur, jadi rentan terkena demam. Biasanya gerimis sedikit Abang tidak terpengaruh," ujar Ainun setelah Hanum memberitahunya. Semenjak pulang dari pekan, Ainun belum menghubungi Zahara. Mengingat bagaimana roman muka Zahara waktu itu, membuat Ainun tak berani untuk bertegur sapa dulu, takutnya malah membuat Zahara semakin bersedih dan ujung-ujungnya ia yang bingung bagaimana cara menghiburnya. Dan Zahara juga pasti sibuk dengan pesantren kilatnya. Ainun memainkan ponsel di tangannya. Bingung antara menghubungi Zahara atau tidak. Ia mengusap-usap pelipisnya, matanya fokus menatap layar HP. Tidak lama ada sebuah pesan masuk, cepat ia menekan tombol memanggil. "Assalamu'alaikum!" "Ra, wa'alaikumsalam... ke mana aja kamu? Baru menghubungiku?" Ainun spontan memanggil namanya sebelum membalas salam. "Aku di rumah, kenapa?" "Kenapa suaramu sengau gitu?" Ainun mengernyit saat sadar kalau suara Zahara di seberang sana tampak tak baik-baik saja. "Lagi pilek sama meriang aja, nih, tadi pagi kena hujan." "Gak bawa payung emangnya?" "Ada, tapi ya tetap kena juga 'kan dikit-dikit, jadinya masuk angin." Ainun menghela napas, tidak abangnya, sahabatnya pun ikut demam. Berjodoh memang mereka berdua, sampai sakit pun bisa bersamaan. "Ya sudah, sekarang kamu istirahat sana, jangan sampai kamu gak ada waktu tunanganku nanti," perintahnya. "Abang mana, Nun?" "Ya Allah, nih anak... malah nanyain si Abang, kenapa? Kangen?" "E-enggak, kok!" "Ngaku aja kenapa, sih? Ayo, ngaku... ayo, ngaku...." Ainun semakin gencar mengusili Zahara. "Iya, deh, aku ngaku." Akhirnya pengakuan itu keluar dari bibir Zahara. Ainun tersenyum senang. Tiba-tiba ia mengingat hubungannya dengan Zulfikar, apa ia juga dirindukan olehnya? Ah, Ainun! Ia menggeleng kepalanya kuat-kuat, lalu memukulnya pelan. Dasar! Setelah mengakhiri obrolannya, Ainun melangkah mendekati kamar abangnya dan membuka pintu. Sepertinya sang abang masih pulas, dari caranya meringkuk di balik selimut. "Abang, bangun, udah masuk Dzuhur ini." Ainun menyentuh lengan Syamsul dan membangunkannya secara lembut dan pelan. Tubuh yang meringkuk kini menggeliat pelan. Kelopak matanya membuka pelan. "Jam berapa, Dek?" tanyanya dengan suara parau. "Setengah dua." Syamsul berdeham sejenak menstabilkan tenggorokannya. Rasa pusing masih menggayut manja. "Masih pusing?" tanya Ainun saat melihat Syamsul memijit pelipisnya. "Ekheemmm!" Syamsul kembali berdeham. "Kalau Bang gak cukup kuat, lebih baik batalin aja puasanya," saran Ainun. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh leher serta dahi sang abang. "Badan Abang udah mulai panas ini, Abang batalin aja, ya, puasanya, terus minum obat." "Enggak, Abang masih kuat." "Yakin?" Syamsul mengangguk. Setelah duduk sejenak, pelan-pelan ia beranjak dari tempat tidur. Saat pusing melanda, ia memejamkan mata. Melangkah pelan sambil berpegangan pada pundak Ainun yang membantunya berjalan ke kamar mandi. "Bisa?" Syamsul mengangguk lemah. Setelah Syamsul menutup pintu kamar mandi, Ainun duduk menunggu. Tidak lama kemudian ia kembali membantu Syamsul kembali ke kamar. Hanum keluar dari kamar saat Ainun menutup pintu kamar Syamsul. "Bagaimana Abangmu?" "Suhu badannya mulai panas, tapi Abang ngeyel tetap melanjutkan puasanya, kalau gak minum obat gimana mau sembuh," ucap Ainun tanpa jeda. "Kalau Abang masih kuat jangan dipaksa," bela Hanum. Ainun tidak berkata-kata lagi. ***** Menjelang sore, Ainun mulai mendekati dapur setelah bertadarus sebentar. Tadi Hanum berpesan agar Ainun memasak sayur rebus sama ikan goreng saja. Alasannya karena hanya itu menu yang bisa abangnya makan saat berbuka nanti. Sekali lagi Ainun meminta izin pada Rais tidak ikut membantu mengurus konsumsi para jamaah di masjid. Dan Rais mengizinkannya. "Nanti malam setelah shalat tarawih, kami datang menjenguk, kabarkan pada abangmu, ya, Nun," katanya sebelum menutup panggilan. Di dalam kamar, Hanum menatap sendu anak laki-lakinya. Sejak tadi hanya igauan yang terdengar di mulutnya. Entah apa yang ada di dunia mimpinya. Sejak kecil Syamsul jarang sakit. Jadi, begitu si anak sulung jatuh sakit, hati mak mana yang tidak ikut sakit. Meski anaknya sudah pada dewasa, tapi baginya mereka masihlah anak kecil yang butuh perhatian. Mengelus pelan rambut si sulung, Hanum berdoa, semoga anaknya lekas sembuh, apalagi besok adalah acara tunangan adiknya. Meskipun acaranya tidak besar dan meriah seperti hati biasanya, tetapi bagi Hanum ini adalah hari bersejarah untuk anak gadisnya. Sengaja ia meminta acara pertunangan Ainun dilakukan pada bulan Ramadhan, salah satu bulan yang sangat ia sukai. Pun begitu dengan anaknya sendiri. "Mak...," panggil Syamsul lirih. "Iya, ini Mak," balas Hanum. Dengan manja Syamsul beringsut ke pangkuan Hanum. Rasa aman dan nyaman melingkupi hati Syamsul. "Masih lama buka puasanya, Mak?" Hanum terkekeh. "Masih dua jam lagi." Mata Syamsul kembali terpejam. Elusan tangan Mak semakin membuatnya mengantuk. Entah kenapa sakit kali ini rasa ngantuk menguasai matanya. Dua jam kemudian Ainun membawa nampan yang berisi nasi, sayur rebus, ikan goreng, dan teh hangat. "Bawa air putih hangat sekalian," pintanya saat Ainun hendak keluar. Semenit kemudian, air hangat sudah mengaliri tenggorokan Syamsul. Setelah berbuka puasa dan meminum obat, ia pun beranjak shalat. ***** "Assalamu'alaikum!" Ucapan salam terdengar dari pintu depan. Gegas Ainun membuka pintu seraya menjawab salam. Ainun mendadak diam terpaku menatap beberapa orang di depan pintu. "Siapa, Nun?" Suara Hanum di belakangnya mengalihkan tatapannya. "Masuk," perintahnya. Ia bergeser dan membuka pintu lebar-lebar. Rais, Zulfikar, Zahara, dan beberapa teman lainnya melangkah masuk. Zahara yang terakhir masuk dicegat Ainun di depan pintu. "Kamu kenapa bisa bersama mereka?" bisiknya. "Tadi gak sengaja aku dengar Bang Syamsul sakit, jadi aku ikut bareng mereka." "Lah, kamu sendiri juga lagi sakit, kan?" "Masih kuat," kekeh Zahara pelan. Tetapi suara sengaunya masih terdengar meskipun sudah berkurang daripada tadi siang. "Ini dari Mesjid langsung ke sini?" Ainun menoleh saat Hanum bertanya pada teman-teman yang sudah duduk lesehan di atas ambal. "Iya, Mak Cik," jawab Rais. Uhuk! Uhuk! "Abang sakitnya parah, ya?" Mendengar suara batuk Syamsul, rasa cemas dan khawatir menyelimuti hati Zahara. Suara pintu yang terbuka memutuskan obrolan mereka. Zulfikar berinisiatif bangun dan membantu Syamsul membaur bersama mereka. Sementara Ainun ditemani Zahara berjalan ke belakang. "Maaf, sudah merepotkan teman-teman pengurus Masjid semua," ucap Syamsul setelah menyalami mereka satu per satu. "Tidak apa-apa, bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Rais mewakilkan yang lain. "Alhamdulillah, masih diberi rasa sakit sama Allah," kekehnya pelan. Banyak yang mendoakan Syamsul cepat sembuh, dan berlanjut dengan obrolan-obrolan ringan. Mereka lebih banyak berbincang dengan Hanum daripada Syamsul. Mereka juga maklum kalau Syamsul tidak kuat bicara. Hari-hari saja ia sedikit bicara, apatah lagi tengah sakit begini. Di dapur Ainun dana Zahara sibuk menyeduh teh hangat beserta kue bolu yang dibawa mereka tadi ke atas piring kecil. Zahara memotong-motong bolu menjadi beberapa bagian, lalu mengaturnya di atas piring. Tak lupa pula ia mengambil mangkok cuci tangan dan mengisinya dengan air keran. "Eciee... udah cocok nih jadi istrinya Bang Syamsul," goda Ainun mengerling nakal. "Aamiin... doa yang baik-baik mesti diaminkan, kan?" Zahara tidak kalah dari Ainun. "Tuh, Bang Ijoel, gak kangen? Berapa lama gak jumpa?" Sejak pertemuan dua keluarga tempo hari, ia memang tidak pernah lagi bertemu dengan Zulfikar. Hanya sekali berbalas pesan melalui inbox malam itu dan setelahnya seperti tak ada kejadian apa-apa di antara mereka. Kata Hanum, tidak baik sering-sering berhubungan sebelum ikatan halal terjalin. "Gak tau, gak hitung," balas Ainun cuek, tetapi di dalam hati tidak demikian. "Oh, ya, ada obat Abang di dalam, mau minum?" tawar Ainun. "Emang bisa?" "Kenapa enggak? Ciri-ciri sakitnya, kan, sama kayak Abang." Lantas Ainun mengambil obat Syamsul dan memberikannya pada Zahara. "Diminum aja sekarang!" "Nanti aja di rumah." Ainun tak berdebat lagi. Kini mereka siap-siap membawa masing-masing nampan. Nampan berisi kue-kue serta mangkok cuci tangan, dan nampan berisi cangkir-cangkir. Zulfikar lagi-lagi bergerak bangun menyambut nampan yang dibawa Ainun. "Perhatian banget...." Zahara menyikut lengan Ainun pelan setelah meletakkan pering kue di depan Rais dan yang lainnya. Tingkah dua gadis yang tertawa pelan ini tidak luput dari perhatian dua pria yang menatap mereka dengan pendar mata yang sulit diartikan. Ada rasa hangat yang mengaliri jantung keduanya dalam versi yang berbeda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN