07 | Rencana Zulfikar

1523 Kata
Malam ketiga setelah shalat tarawih, Zulfikar bergegas keluar dari masjid guna untuk bertemu dengan Ainun. "Nun! Ainun...!" panggil Zulfikar begitu sosok Ainun terlihat di matanya. Ainun yang baru saja keluar dari masjid menoleh mencari suara yang memanggil namanya. Merasa gadis yang dipanggil tak menemukan dirinya, Zulfikar pun mendekat saat Ainun sudah berjalan ke sisi lapang yang tidak ada orang. "Nun, di sini," panggilnya lagi. Dan helaan napas lega Zulfikar terembus saat manik mata Ainun tepat menembus manik matanya. "Kamu manggil aku?" "Iya, ada hal yang mau aku tanyakan." "Apa?" tanya Ainun penasaran. "Sebelum aku datang melamar, aku bertanya untuk terakhir kalinya, maukah kamu menikah denganku?" Ainun mengerjap, lantas ia pun mengangguk tanpa sadar. Tak dipungkiri saat ini hati dan jantungnya bekerja sama berdendang berirama di dalam sana. Zulfikar menghela napas lega. Senyum ikut terpatri di wajahnya. Sesaat tadi ia akui bahwa hatinya berdetak kencang khawatir proposalnya tak diterima. Dan sekarang beban hati yang seakan menggunung hilang sudah entah ke mana. "Terimakasih, hanya itu yang ingin aku tanyakan." Zulfikar melirik sekitar. "Kamu pulang sama siapa?" "Zahara," jawab Ainun. "Mana dia? Kenapa gak ada di sini?" Zulfikar masih mengedarkan pandangannya mencari Zahara, sahabat dari sang calon istri. "Masih di dalam, mungkin sebentar lagi dia keluar." "Baiklah kalau begitu aku pamit dulu." Zulfikar berjalan kembali ke dalam masjid. Senyum tipis masih menghiasi wajahnya. Sementara sosok yang dibicarakan tengah duduk menatap Syamsul dari balik tirai yang tersingkap ke atas. Netra Zahara berbinar. Gadis itu tersenyum senang bisa melihat senyuman dan tawa Syamsul, meskipun senyum dan tawa itu bukanlah untuknya. Zahara tidak menyadari kalau Ainun kembali dan sudah duduk di sampingnya, ikut melihat ke mana arah matanya memandang. "Heh! Awas zina mata!" "Awww!" pekik Zahara pelan mendapat tepukan di pundaknya. "Astahgfirullah! Ainun, kamu ngagetin aja!" "Lihat siapa sih di sana, sampe matamu mau keluar gitu?" Ainun bukan tidak tahu, tetapi berpura-pura tidak tahu. Zahara memutar bola matanya gugup. Apa ia ketahuan Ainun? "Gak ada sih, aku cuma lagi pengin duduk-duduk aja sebentar sebelum kita pulang. Lagian di sini masih rame, tuh, Ibu-Ibu yang belum pulang." Zahara memutar haluan, jangan sampai Ainun kembali bertanya dan curiga ke mana arah matanya menatap sejak tirai disingkapkan. "Ya udah, aku mau pulang sekarang. Kamu ikut atau masih mau di sini?" "Ikut!" Ainun dan Zahara pun beranjak. Mereka berjalan keluar melalui pintu samping yang bersebelahan dengan pintu masuk bagian laki-laki. Mereka keluar bersamaan dengan Syamsul dan Rais yang juga keluar dari masjid. "Eh, Abang mau pulang sekarang?" tanya Ainun pada Syamsul. Syamsul menoleh menatap sang adik dan Zahara yang ia kenali sebagai sahabat adiknya. "Enggak, kita mau ke kantor," sahut Rais. "Owh..., kalau gitu kami pulang dulu, ya, Bang," pamit Ainun seraya berjalan beriringan bersama Zahara. "Oh, ya, Nun," panggilan Rais menghentikan langkah kaki Ainun dan Zahara. Ainun berbalik menunggu apa yang akan dikatakan oleh anggota Takmir masjid itu. Rais dan Syamsul berjalan mendekat. "Besok sudah mulai aktif di Masjid, ya, jangan sampai lupa!" Ainun mengangguk. "Insya Allah, Bang," "Zahara sejak tadi diam aja, gak lupa juga kan besok mulai aktif Pesantren Kilat-nya?" Rais beralih pada Zahara yang sejak tadi merasa panas dingin karena berdiri berdekatan dengan sang pujaan hati. "Eh..., e-eng ... e-enggak," jawabnya gagap. "Kamu kenapa tiba-tiba jadi gagap gini? Mau ngalahin Aziz Gagap kamu, Ra?" Ainun semakin menambah kegugupan Zahara. "Bener kamu mau ngikutin jejak Aziz Gagap?" Ya Allah! Kenapa Bang Syamsul juga ikut-ikutan si Ainun? "I ... i-iya, Bang! Eh, enggak, Bang!" sontak Zahara mengayun-ayunkan kedua tangannya di depan wajahnya yang tiba-tiba memerah. Syamsul dan Rais pun tertawa menanggapi kegagapan Zahara yang sangat kentara. Ainun yang tahu salah tingkah Zahara karena abangnya tidak sanggup menahan tawanya. Ia yang paling antusias menertawakan Zahara. Sementara Zahara, ia terpukau melihat tawa Syamsul disebabkan olehnya. Kalau tawa itu untuknya, ia rela bergagap ria demi sang idola. Idola hati yang tersembunyi. Syamsul Bahri Ar-Rasyid. ***** Zulfikar merebahkan diri sejenak di atas ranjang sebelum bertadarus. Matanya menatap langit-langit kamar. Pikirannya berkelana. Kemarin ia kembali mengutarakan maksud hati untuk meminang Ainun. Namun jawaban Ainun membuatnya tercengang. "Kalau kamu serius, datanglah pada Mak dan Abangku. Mereka yang berhak menerima atau menolak atas pinanganmu." "Tapi kamu juga berhak, Ainun. Dan aku sudah bertanya pada Abang dan Mak Cik Hanum, dan mereka telah menerima lamaranku, hanya kamu yang belum menjawab sejak aku bertanya dua hari yang lalu." "Aku gak tau, kamu serius atau hanya sekedar bergurau, jadi aku gak mengambil serius ucapanmu itu." "Karena sekarang aku benar-benar serius, bagaimana? Apakah kamu menerima atau menolak?" Ainun berpikir sejenak, lantas ia berkata, "Kalau aku shalat Istikharah dulu, bagaimana? Aku gak mau tergesa-gesa menjawabnya." Zulfikar mendesah lega, ia beringsut turun dari kasur dan menjejakkan kakinya di lantai, bangun untuk bertadarus. Sebelum bertadarus, ia mengambil air minum di dapur dan membawanya ke kamar. Setelah meletakkan gelas di atas meja, ia baru ingat bahwa Zulaikha, kakaknya belum tahu perihal lamarannya kepada Ainun. Zulfikar keluar lagi dari kamar dan mendekati Zulaikha yang sedang duduk santai di ruang tengah sambil menyantap bubur kacang hijau, di atas tikar yang terbuat dari rotan. "Kak Leha, belum tidur?" Zulfikar mengambil tempat di samping Zulaikha. Duduk lesehan seperti ini memang yang terbaik dan nyaman. Bisa selonjoran dan berbaring bila punggung mulai terasa penat. "Belum," jawab Zulaikha seraya meletakkan mangkuk buburnya di lantai. "Tumben kamu cepat pulang, gak tadarus di Masjid?" "Enggak, malam ini aku mau tadarus di rumah aja dan mau tidur cepat." "Kenapa? Kamu sakit?" Zulaikha mulai terlihat cemas. Bagaimana tidak cemas, Zulfikar adalah adik satu-satunya. Mereka hanya berdua setelah ditinggal kedua orang tua mereka. Sehingga mereka saling menjaga satu sama lain. "Alhamdulillah, aku sehat-sehat aja, Akak!" "Syukurlah, Akak pikir kamu lagi sakit." Zulaikha menghela napas lega. "Ada yang mau aku katakan, tapi Kak Leha jangan terkejut, ya?" Zulaikha mengangguk. "Aku berniat mau melamar Ainun, anak Allahuyarham Teungku Imum Syik Rasyid, bagaimana menurut Akak?" Meskipun tadi Zulaikha telah menyetujui ia tidak akan terkejut, tetepi nyatanya Zulaikha benar-benar terkejut dengan pemberitaan itu. "Apa kamu yakin, Dek? Siapalah kita bisa bersanding dengan keluarga mereka." Zulaikha merasa tidak percaya diri. "Kita dari keluarga biasa saja, sedangkan mereka? Lihat, kebun kelapa ada di mana-mana, keturunannya juga luar biasa. Allahuyarham Teungku Rasyid itu bukan orang biasa-biasa aja, Dek! Apa kamu lupa? Beliau Ulama besar di kampung kita." Panjang lebar Zulaikha berkata-kata hingga Zulfikar nyaris kehilangan kepercayaan dirinya. Apa ia akan melanjutkan ataukah melepaskan? Seketika Zulfikar diambang kebimbangan yang dalam. Tetapi, mengingat jawaban Ainun selepas tarawih tadi, rasa percaya dirinya mulai kembali. "Meskipun begitu aku tetap akan mencobanya, Kak. Lagipula Mak Cik Hanum dan Bang Syamsul sudah merestui. Dan Ainun juga menerima setelah aku tanyakan tadi. Sekarang hanya restu Allah yang kuharapkan. Semoga kami memang benar-benar berjodoh." Ucapan Zulfikar sejenak mengurangi kecemasan Zulaikha. Tadinya ia berpikir jika adiknya itu belum mengatakan maksud hatinya pada yang bersangkutan. Ternyata mereka sudah sama-sama merestui. "Syukur Alhamdulillah kalau begitu, Akak hanya khawatir saja tadi. Semoga mereka menerimamu sebagaimana keadaanmu." Zulaikha menghela napas lega. "Aamiin!" Zulfikar mengaminkan harapan sang kakak. "Kapan Kak Leha dan Bang Murdani ada waktu? Biar kita segerakan mengkhitbah Ainun secara resmi." "Nanti Akak tanyakan sama Abangmu." "Memangnya Bang Murdani belum pulang?" "Belum, mungkin masih di Masjid." "Aku tunggu kabar dari Akak kapan ada waktu yang tepat buat kita melamar Ainun. Aku harap besok ataupun lusa kita sudah meminang Ainun." Setelah berbincang dengan Zulaikha, Zulfikar kembali ke kamar dan melanjutkan rencananya yang tertunda tadi. Untuk saat ini rasanya hati Zulfikar terasa plong dan ringan karena permasalahan lamaran sudah ia utarakan kepada sang kakak, selaku yang tertua di rumah mereka. Dan kepada abang iparnya itu, biar sang kakak yang mengatakannya. Semoga saja semuanya berjalan dengan lancar. Lain halnya dengan Zulfikar, lain pula dengan Ainun. Setelah dari Masjid, ia langsung menemui Hanum. Dengan sedikit tergesa-gesa ia masuk ke kamar Hanum. Karena kondisinya kurang sehat, Hanum tidak ikut shalat tarawih bersama Ainun di masjid. "Mak ... Mak ...," panggilnya seraya membuka pintu kamar Hanum dan duduk di sisi ranjang. Hanum yang sedang membaca Al-Qur'an, mengangkat wajahnya yang sejak tadi serius menatap lembaran Mushaf. Ia sudahi bacaannya lalu bertanya ada apa pada sang anak dara. "Ada apa ribut-ribut macam dikejar Hantu, Nun? Ucap salam dulu baru masuk rumah," nasehat Hanum pada anak daranya. "Udah tadi, Mak aja yang gak dengar, mungkin lagi asyik-asyiknya baca Al-Qur'an sampe-sampe ucapan salamku gak Mak jawab." Ainun menarik napas sejenak lalu melanjutkan lagi, "Mak, tadi Zulfikar memastikan lagi sama aku tentang lamarannya. Memangnya Mak sama Abang udah setuju? Kalau Mak sama Abang udah setuju, aku juga ikut setuju." "Benar, dia selalu bertanya sama Mak. Melihat kesungguhannya Mak gak tega menolak, apalagi dia laki-laki dewasa yang baik dan bertanggung jawab. Selama ini pula Mak melihat dia itu anaknya jujur. Tapi semuanya berpulang ke kamu sendiri, apa kamu benar-benar setuju? Setujunya bukan karena ikut-ikutan Mak dan Abang kamu, ini dari hati kamu sendiri. Udah shalat Istikharah, kan?" Ainun mengangguk. "Nah, kalau udah, tunggu apa lagi? Lebih baik, ya ... disegerakan saja. Ada kamu tanya kapan dia datang meminang kamu secara resmi?" "Belum, Mak aja yang tanya kalau dia datang ambil kelapa muda besok pagi," ucap Ainun. Sesudah berbincang dengan Hanum, Ainun juga merasa lega. Tetapi tidak dipungkiri bahwa saat ini hatinya berdegup kencang menunggu hari kepastian akan hubungannya dengan Zulfikar. Semoga saja Allah melancarkan segala urusan mereka nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN