"Assalamu'alaikum...." Syamsul memasuki rumah dengan menenteng timun suri di tangan kirinya.
"Wa'alaikumussalam..., baru pulang?" jawab Hanum yang menyongsong Syamsul ke dapur.
Syamsul mengangguk. "Iya, baru saja sampai. Ini ada Abang bawa pulang timun suri kesukaan Mak." Syamsul mengangkat timun suri di tangannya memperlihatkan kepada Hanum.
Lantas Hanum mengambil baskom di rak piring lalu meraih timun di tangan anak bujangnya untuk ia bersihkan. "Sini biar Mak yang bersihkan, kamu mandi-mandi dulu sana."
Syamsul mengangguk dan melangkahkan kakinya ke dalam. Begitu di kamar, Syamsul duduk sejenak sebelum ia ke kamar mandi.
Pikirannya melayang ke kejadian siang tadi ketika ia akan ke masjid. Sosok gadis centil menghentikan laju Honda-nya tepat beberapa meter lagi ia sampai di pintu gerbang masjid. Karena tidak enak hati mengusir gadis itu, lantas ia pun meladeninya dengan separuh hati.
"Apa benar kata Ainun kalau dia menyukaiku?" gumam Syamsul pada dirinya sendiri. "Ah, gak mungkin! Kalau iya pun, semoga Allah tidak menjodohkanku dengannya." Syamsul meraup wajahnya, ia berharap Allah tidak lagi mendekatinya dengan perempuan seperti Raina Fitria, mantan tunangannya dulu.
Cukuplah sekali ia merasa tersakiti. Dan ia merasa sangat bersyukur bahwa Allah memberinya hati yang kuat sehingga ia tidak larut dalam kesedihan yang panjang.
Syamsul beranjak dan meraih handuk di belakang pintu lalu keluar dan menuju ke kamar mandi dekat dengan dapur.
*****
Ainun dan Zahara kini sudah berdiri di tempat Zulfikar berjualan. Zulfikar belum menyadari kehadiran Ainun. Ia sibuk mengolah pesanan pembeli yang datang dari berbagai tempat. Karena letaknya tepat di pinggir jalan raya, lapak Zulfikar mudah untuk ditemukan.
Rencananya berjualan di pasar urung ia lakukan. Jadi ia memilih berjualan di seputaran yang tidak jauh dari rumahnya dan juga letaknya pun cukup strategis. Di pinggir jalan raya. Jalan lalu lintas antar kota.
Desa tempat mereka tinggal pun tidak jauh dari kota. Banyak kendaraan yang berlalu lalang.
"Wah... segini banyak pembeli, pasti olahan Bang Joel enak!" seru Zahara takjub menatap pembeli dan kesibukan Zulfikar silih berganti.
Zulfikar menoleh dan tersenyum melihat Zahara dan Ainun menyambangi tempat jualannya. Tanpa menghentikan pekerjaannya, Zulfikar menyuruh Ainun dan Zahara duduk di kursi rotan yang ada di balik meja.
Sebenarnya Ainun masih canggung bertemu dengan Zulfikar. Mengingat keteledorannya pagi tadi di depan Zulfikar. Apalagi kalau bukan jatuh terpeleset karena bekas genangan air hujan. Ditambah pula dengan laki-laki itu tadi siang yang mengatakan kalau dia adalah calon istrinya. Rasa malu masih memenuhi hatinya.
"Kalian mau pesan?" Pertanyaan Zulfikar membuyarkan lamunan Ainun. Rupanya para pembeli tadi sudah pada pergi. Gesit juga si calon suami. Eh? Ainun mencubit bibirnya geram. Untung pria manly itu tidak menyadarinya. Ainun mengembuskan napasnya pelan.
"Aku mau pesan kelapa muda-nya dua bungkus, ya, satu pakai s**u tambah sirup dan satu lagi yang original," kata Zahara.
"Baik, kalau Ainun?" Zulfikar beralih ke Ainun. Ainun yang memang tidak ingin memesan menggaruk pelipisnya.
"Aku gak pesan, lagi gak mau es kelapa muda," jawab Ainun akhirnya.
"Sama penjual-nya mau gak?" goda Zulfikar menyeringai.
"Ecieee... alamat otewe makan daging lembu, nih," cerocos Zahara ikut menggoda Ainun.
Ainun mendelik gusar pada Zahara. Ia tidak menjawab apalagi merespon ucapan sahabatnya itu. Ke mana gadis cengeng yang tadi siang menangis tersedu-sedan mencurahkan perasaan terhadap sang pujaan kepadanya? Tidak ada lagi. Kini gadis itu semangat sekali menggodanya, di depan si empunya badan pula. Astahgfirullah! Ainun beristighfar di dalam hati.
Tidak ingin Ainun malu karena dirinya, Zulfikar tidak lagi menggoda. Ia meninggalkan mereka berdua lalu mengambil tiga buah kelapa muda, kemudian ia ambil parang dan memproses es kelapa muda pesanan Zahara.
Zahara meninggalkan Ainun dan ikut mendekati Zulfikar.
"Masih banyak kelapanya?"
"Alhamdulillah, hari pertama ini cepat larisnya. Tadinya tinggal lima, karena kamu ikut beli, ya ini tinggalnya." Zahara mengikuti arah pandang Zulfikar.
"Lantas kenapa untukku kelapanya kamu olah tiga?" tanya Zahara mengernyit melihat tiga kelapa muda yang sudah dibelah dan diambil isinya.
"Owh... satu lagi ini buat calon istriku." Zulfikar terkekeh seraya melirik Ainun dan diikuti Zahara. Zahara melirik Ainun yang tengah sibuk menatap jalanan tanpa peduli dan tahu bahwa kedua orang berlainan jenis itu tengah meliriknya.
"Aku doakan kalian berjodoh. Lagi pula sepertinya si Ainun ada rasa juga tuh sama kamu."
"Benarkah? Alhamdulillah kalau memang benar apa yang kamu bilang itu."
"Tapi aku juga gak yakin, sih." Zahara menyengir sembari mengusap tengkuknya.
"Gak apa-apa, ucapan itu adalah doa. Siapa tau dengan ucapanmu, Allah memakbulkannya, kan?" Zulfikar tersenyum menenangkan Zahara.
Tidak lama kemudian pesanannya sudah siap. Zahara mengambil kantong plastik di tangan Zulfikar.
"Makasih, Bang, ini duitnya." Setelah membayar, Zahara berbalik dan mengajak Ainun pulang.
"Sudah siap?" Ainun mendongak.
"Udah, nih...." Zahara mengangkat kantong plastik yang ada di tangan kanannya.
Ainun akan beranjak, tapi panggilan Zulfikar mengurungkan niatnya. Lantas ia menatap Zulfikar dengan alis terangkat.
"Apa?"
"Ini es kelapa muda buat kamu." Zulfikar menyerahkan kantong plastik ke tangan Ainun.
"Gak usah, kan aku udah bilang lagi gak mau es kelapa muda," jawabnya merengut.
Zulfikar menarik lengan baju Ainun supaya tangan Ainun terangkat ke atas lalu ia kaitkan kantong plastik itu di jari tangan Ainun.
"Kalau kamu gak mau, Mak kamu kan ada, atau kasih aja ke Bang Syamsul. Bilangin ini dari calon suami kamu," ujar Zulfikar serius.
Melihat keseriusan di wajah Zulfikar, mau tidak mau Ainun terpaksa menerima pemberian Zulfikar.
"Terima kasih, aku pulang dulu, ya!" Tanpa sadar, Ainun meminta izin pulang.
Dengan tersenyum semringah, Zulfikar menjawab, "Iya, hati-hati di jalan, ya, salam buat Mak Cik Hanum."
"Ehem... dapat gratisan dari calon suami pasti seneng kamu, kan, Nun?" Seloroh Zahara begitu mereka sudah membelah jalan kembali pulang.
"Calon suami dari mana? Dilamar aja belum," sungut Ainun.
"Gak lama lagi tuh kamu bakal dilamar, kok, aku mencium bau-bau pengantin di sini." Zahara tertawa kencang saat mendapat pukulan ringan di pahanya.
"Kamu jangan ngaco deh, Ra!"
"Aku gak ngaco, ucapanku ini sebagai bentuk doa untuk kalian berdua," elak Zahara.
"Makasih doanya," ketus Ainun.
"Sama-sama, kamu juga do'ain aku juga, dong, siapa tau aku beneran jadi kakak ipar kamu." Suara kekehan Zahara makin menggema di telinga Ainun.
"Eh, tapi serius loh, kalau dia datang ngelamar, kamu terima gak?" Zahara penasaran dengan jawaban Ainun. Diterimakah atau tidak?
"Kamu diem deh, Ra, aku lagi nyetir, nih!"
Akhirnya Zahara diam tidak bersuara lagi. Jalanan semakin ramai dengan lalu lalang orang-orang yang mencari takjil untuk buka puasa. Ainun membawa motornya dengan laju yang sangat santai mengingat rumah mereka tidak jauh dari tempat Zulfikar berjualan.
Pertanyaan Zahara mengganggu pikirannya. Apakah ia akan menerima lamaran Zulfikar ataukah tidak? Ainun gamang. Mungkin nanti malam ia harus melakukan shalat istikharah. Meminta petunjuk pada Yang Esa agar pilihannya tidak tersasar di jalan yang salah.
Sepeninggal Ainun dan Zahara, Zulfikar menutup lapaknya. Kursi rotan ia telengkupkan di atas meja. Sampah-sampah ia masukkan ke dalam keranjang besar yang terbuat dari bahan bambu.
*****
Suara ngaji mulai bergema dari spiker masjid. Syamsul yang sudah selesai mandi dan berpakaian rapi keluar dari kamar menuju ke dapur. Hanum juga baru keluar dari kamar.
Ainun masuk sambil menenteng es kelapa muda pemberian Zulfikar.
"Itu apa?" tanya Hanum.
"Es kelapa muda pemberian Zulfikar." Ainun meletakkan kantong es kelapa muda di atas meja, lalu mengambil dua gelas dan menuangkan es kelapa muda tersebut sebelum menaruh di depan Hanum dan Syamsul.
Ainun tidak pura-pura, ia memang sedang tidak ingin es kelapa muda. Ainun hanya mengambil teh hangat dan juga timun suri yang sudah diolah oleh Hanum.
"Alhamdulillah," ucap Hanum dan kedua anaknya setelah mereka berbuka puasa hari pertama di bulan Ramadhan. Rasa syukur mereka panjatkan karena berhasil melalui hari pertama puasa.
*****
Malamnya, setelah pulang dari shalat Tarawih di masjid, Ainun melakukan aktivitasnya sebelum beranjak tidur. Piring-piring dan gelas bekas berbuka tadi kini telah dicuci dan ditelengkupkan di samping bak cuci piring menunggu kering sebelum dipindahkan ke rak.
Mengambil gelas dan mengisi dengan air timun, Ainun beranjak ke depan dan duduk di lantai yang beralaskan ambal. Menikmati sambil melihat layar TV, Ainun dikejutkan suara Hanum yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya.
"Serius kali nonton TV, Mak panggil-panggil gak didengar!"
Ainun menyengir. "Maaf, aku gak tau kalau Mak manggil aku tadi."
Hanum ikut duduk di samping Ainun. "Tadi kamu bawa pulang es kelapa muda, kan? gak kamu minum?"
"Enggak! Aku lagi gak ingin es kelapa muda."
"Terus kenapa kamu beli kalau kamu gak kepingin?" Hanum mengernyit dengan tingkah laku anak gadisnya. Mana ada orang membeli sesuatu, tetapi tidak diinginkan.
"Itu pemberian Zulfikar, masa aku tolak rezeki yang datang," jawab Ainun sekedarnya. "Mak bilang gak boleh menolak rezeki, jadinya, ya aku terima. Lagian juga kata dia kelapa muda itu bisa untuk Mak ataupun Abang, Mak mau? Biar aku tuangin?" tawar Ainun.
"Bolehlah, Mak juga ingin merasakan minuman racikan calon suami kamu," seloroh Hanum menggoda anak gadisnya yang kini menampakkan raut wajah merona dan juga merengut masam sekaligus.
Apa Mak gak tau kalau aku malu? Bisa-bisanya Mak juga ikut ngegodain aku sama seperti Zahara. Untung sayang! gerutunya di dalam hati.
"Udah sana ambilkan Mak kelapa mudanya, jangan ditambahi es ya," pesan Hanum setelah membuyarkan lamunan sang anak.
Di balik punggung Ainun yang berjalan ke dapur, Hanum tersenyum simpul. Ia berharap jodoh anak-anaknya mendekat sebelum ia dipanggil kembali oleh Allah Jalla wa 'Azza.
Semenit kemudian, Ainun kembali dengan segelas air kelapa muda dan meletakkannya di depan Hanum. Lantas Hanum langsung menyeruput dengan satu tegukan. Ia merasai di dalam mulutnya.
"Hmmm... enak juga bikinan calon mantu Mak," ujar Hanum seraya menyeruput kembali minumannya.
"Mak... jangan bilang gitu, dong, belum tentu, kan, kami berjodoh?" Ainun memonyongkan bibirnya. Sejujurnya ia merasa malu dan juga risih, seakan-akan ia yang sangat berharap untuk segera dinikahkan dengan Zulfikar.
Ainun hanya berharap dan berdoa, agar Allah memberi yang terbaik untuknya. Bila jodoh, semoga didekatkan. Dan bila tak berjodoh, segera Allah hilangkan nama Zulfikar dari ucapan atau obrolan keluarganya.