Petang menjelang. Hujan deras mengguyur sejak tadi siang belum juga menampakkan tanda-tanda akan reda. Ainun yang akan kembali ke rumah Zahara mengurungkan niatnya. Ia hubungi sang abang dan memberitahu bahwa ia tidak bisa kembali ke sana. Dengan terpaksa, Ainun berjalan ke dapur dan mulai memasak untuknya berbuka nanti.
Setelah mencuci beras dan meletakkannya di atas kompor, langkah Ainun beralih ke lemari es. Tidak ada sayur apapun di dalamnya, hanya tersisa beberapa butir telur dan dua bungkus tempe. Ainun mengambil satu telur dan dua sisa tempe. Ia berencana membuat telur dadar yang menurutnya lebih gampang dan tempe goreng tepung sebagai pelengkap.
Ainun memainkan HP-nya setelah menggoreng telur dan tempe tepung, bahkan sambal buat colekan tempe pun sudah ia racik, tinggal menunggu nasi matang saja di atas kompor. Suara air hujan menemani kesendiriannya di rumah ini. Ia tertegun menatap rinai hujan yang masih lebat, pun langit semakin gelap. Padahal jarum jam masih di angka enam kurang lima belas menit.
Suara notifikasi dari aplikasi hijau mengenyahkan lamunannya pada titik air hujan. Sejenak kerutan halus menghiasi keningnya. Satu pesan dari nomor tak dikenal. Foto profilnya pun tidak ada.
+62812xxxxxxx
Assalamualaikum... :)
Ainun Ramadhani
Wa'alaikumussalam..., siapa, ya?
+62812xxxxxxx
Calon suami masa depan, insya Allah... :D
Ainun berpikir sejenak, untuk memastikan dugaannya benar, ia simpan nomor itu terlebih dahulu. Setelahnya, muncullah foto profil Zulfikar yang berpose di sebuah masjid. Senyumnya menguar. Wajah di dalam gambar tersebut tampak teduh.
Layar tiba-tiba berubah penuh dengan gambar Zulfikar yang sedang memanggil.
Ainun berdeham sebelum mengangkat panggilan itu. "Assalamualaikum," ucapnya pelan.
"Wa'alaikumussalam, calon istri Abang...."
Ainun bersemu mendengar secara langsung panggilan itu. Biasanya hanya sekedar tulisan yang ia baca.
"Masih di rumah?"
"Iya, belum bisa balik ke rumah Zahra hujan-hujan begini."
"Kalau masih hujan diam aja di rumah, tapi berani, kan, tinggal sendiri?" tanya Zulfikar was-was.
"Berani, insya Allah," jawab Ainun yakin.
"Maaf, ya, tadi Abang gak jadi ke rumah," sesal Zulfikar karena mengingkari janjinya buat menemui Ainun. "Setelah mengantar Kak Leha ke rumah Zahra, Abang ditelepon sama pelanggan yang biasa memborong es kelapa muda. Abang dimintai menyediakan 50 bungkus kelapa muda buat acara buka puasa bersama di perusahaan mereka. Jadinya Abang sibuk mencari kelapa muda tadi sampai lupa menghubungimu," jelasnya panjang lebar.
"Gak apa-apa, Bang! Dapat dari mana kelapa mudanya?"
"Dari Bang Mu'in!"
"Padahal di kebun Mamak masih banyak kelapa loh, Bang, kenapa gak minta aku tadi?"
Zulfikar tersenyum simpul. Secara tidak langsung Ainun memberinya perhatian.
"Abang, tunggu bentar, ya, aku liat nasi dulu di dapur." Ainun segera beranjak dari duduknya dan melangkah cepat ke belakang. Ainun bersyukur nasinya tidak hangus. Segera ia matikan api kompor setelah melihat kematangan nasi sudah sempurna.
"Udah masak nasinya?" Mendengar suara kompor dimatikan, Zulfikar kembali bersuara. Menanyakan hal yang tentu saja sudah tahu jawabannya apa.
"Udah," jawab Ainun singkat.
Beberapa menit kemudian mereka memutuskan obrolan. Tidak terasa azan magrib mulai bergema. Sendiri tanpa mak dan abangnya, Ainun berbuka puasa hanya ditemani oleh suara rintikan hujan disertai angin kencang. Dan tiba-tiba ruangan berubah gelap.
*****
"Gimana ini, Bang? Ainun sendiri di rumah," ujar Hanum diselimuti rasa cemas yang sejak tadi bercokol di hatinya. Memikirkan anak gadisnya seorang diri di rumah membuatnya tak berselera menyentuh makanan saat berbuka puasa tadi. Hanya seteguk air yang berhasil masuk demi membatalkan puasanya. "Mati lampu lagi, Mak khawatir, Bang!"
"Mak yang tenang, tadi Ainun udah kabarin Abang kalau dia baik-baik aja, nanti kalau hujannya mulai reda, Abang pulang jemput dia balik ke sini." Syamsul menenangkan Hanum dengan sabar. Ia tidak bisa melihat wanita yang sangat ia cintai itu diliputi kecemasan yang berlebihan.
"Iya, Mak, benar kata Abang, Ainun baik-baik aja, Ara yakin itu. Percaya sama Abang dan Ara, ya, Mak?" Zahara ikut menenangkan ibu mertuanya. Ia usap lengan tua itu dengan sayang.
"Benar dia ada hubungi Abang?" selidik Hanum kurang yakin.
"Benar, Mak, apa Abang telepon dia lagi biar Mak percaya?" Syamsul bersiap-siap menghubungi Ainun, tetapi langsung dicegah oleh Hanum.
"Jangan, gak usah, mungkin sekarang dia lagi shalat."
Syamsul memasukkan kembali gawainya ke dalam kantong baju. "Sekarang kita shalat dulu."
Masih diliputi kebimbangan, Hanum beranjak meninggalkan meja makan. Ruangan yang tadinya ramai kini mulai lengang. Zahara yang masih duduk di meja makan menatap Syamsul dengan sorot mata cemas. Bagaimanapun, Ainun tidak pernah tinggal sendiri, Zahara tahu itu.
"Tenang aja, Abang udah utus seseorang ke sana." Syamsul mengusap lembut kepala Zahara.
*****
Ainun terkejut mendapati dua kakak beradik berdiri di depan pintu dengan baju yang sedikit basah. Gegas ia menyuruh keduanya masuk. Cahaya lilin sebagai penerang tidak mengurangi penglihatan Ainun pada sosok yang masih berdiri di depannya.
"Abang... Akak... masuk dulu nanti masuk angin," katanya cepat seraya menarik lengan baju yang bisa ia gapai. "Akak sama Abang udah buka puasa?" tanyanya lagi setelah menutup pintu kembali. Sesaat tadi ia sempat menggigil ketika terpaan angin menembus pori-porinya.
"Belum, dari rumah Zahra, Akak langsung ke sini," ucap sang wanita.
Ainun mengambil dua gelas lalu menyeduh teh panas yang masih sisa setengah. Kebiasaannya membuat teh satu stenlees penuh, meskipun hanya untuknya seorang ada gunanya juga saat ini.
"Kak Leha sama Abang buka puasa dulu!" Ainun meletakkan dua teh tadi di depan masing-masing kakak beradik tersebut. "Ainun ceplok telor dulu, cuma itu yang ada, maaf, ya," ucap Ainun tak enak hati.
"Eh... gak usah, ini Akak ada bawa teman nasi buat kita buka puasa, Ainun udah buka puasa?" Wanita yang dipanggil Kak Leha tadi memerhati hidangan di atas meja. Ia mendesah lirih saat melihat hanya telur dadar sebagai pelengkap nasi di sana.
"Belum, baru aja selesai shalat. Akak dan Abang udah shalat?" Manik mata Ainun kini beralih pada laki-laki yang menatapnya dengan sorotan sendu. Ada rasa yang tidak bisa dijelaskan saat melihat menu buka puasa calon istrinya itu.
"Belum, Abang shalat dulu, nanti kita makan bersama," sahut sang lelaki lirih. "Mana kamar mandinya?" tanya Zulfikar setelah membatalkan puasanya dengan seteguk teh yang sudah menghangat.
"Itu!" Ainun menunjuk pintu kamar mandi yang tidak jauh dari tempat mereka saat ini. Tanpa banyak kata, si laki-laki yang ternyata Zulfikar langsung beranjak meninggalkan dua wanita yang ia sayang.
"Ainun ke depan dulu, ya, Kak, mau gelarin sajadah buat Abang." Ainun juga beranjak ke depan dengan senter HP sebagai penerang.
Sambil menunggu gilirannya ke kamar mandi, Zulaikha mengambil dua mangkok dan piring kecil di rak lalu memindahkan beberapa lauk yang ia bawa tadi.
"Ainun mana, Kak?" Suara Zulfikar yang baru keluar dari kamar mandi menghentikan Zulaikha dari kesibukannya.
"Di depan," jawabnya singkat.
Zulfikar pun meninggalkan Zulaikha. Memasuki ruang tengah, ia melihat Ainun sedang menggelar dua sajadah di atas ambal. Cahaya lilin kini memenuhi ruangan tengah menggantikan senter HP.
Zulfikar gegas berdiri di sajadah yang tidak ada mukena di atasnya. Ia bersiap-siap memulai takbiratul ihram. Kesibukan Ainun di sekitarnya tidak mengenyahkan kekhusyukannya.
Tidak lama kemudian disusul Zulaikha. Tanpa bertanya lagi karena atribut shalat sudah terpampang di depannya, Zulaikha ikut berdiri menunaikan ibadah shalat Magrib.
Suara gemuruh air hujan di atas genteng dan angin yang berembus kencang mengisi keheningan di ruangan itu. Dua manusia yang sedang menyembah Yang Esa, masih terpekur di atas sajadah berdoa pada Yang Maha Kuasa.
Zulfikar yang duluan selesai shalat dan berdoa, lantas berjalan ke belakang setelah melipat sajadah yang telah ia gunakan.
"Abang udah selesai?" Ainun bertanya soalan yang tidak butuh jawaban. Ia mengutuki dirinya sendiri dalam hati.
"Hmmm...."
Di atas meja kini telah tersedia piring tambahan. Zulfikar mengambil tempat duduk di depan Ainun.
"Abang sama Kak Leha kenapa bisa ke sini?" Ainun yang sejak tadi penasaran akan kedatangan calon suami dan calon kakak iparnya langsung bertanya.
"Diajak Kak Leha. Udah, jangan bertanya dulu, habiskan makananmu terlebih dahulu, nanti baru kita bicara," perintah Zulfikar mutlak didengar. Zulaikha juga ikut bergabung beberapa menit kemudian setelah menunaikan kewajibannya.
*****
"Abangmu, Syamsul, meminta Akak ke sini tadi," ucap Zulaikha saat Ainun kembali bertanya. "Begini, tadi Kak Leha pulang dari rumah Zahra hampir masuk waktu berbuka, biar sekalian jadi Akak mampir dulu ke sini, Akak ajak sekalian Ijoel, apalagi hujannya gak berhenti-berhenti dari tadi, kan?" lanjutnya ketika manik Ainun menampakkan gurat kebingungan.
Ainun mengangguk paham. Ia memilin-milin ujung jilbab instannya seraya menunduk menutupi rasa gugup karena sejak tadi tatapan Zulfikar tidak berpindah darinya.
"Joel, tatapannya itu tolong dijaga, belum halal, loh!" Menyadari kegugupan calon adik iparnya, Zulaikha mengingatkan sang adik.
Tidak menjawab, Zulfikar beralih fokus ke gawai di tangannya. Jari jemarinya menari-nari mengetikkan sesuatu. Tak lama kemudian suara ponsel Ainun berbunyi. Tidak adanya pergerakan dari Ainun, Zulfikar kembali mengetikkan sesuatu.
"Dek, HP-nya berbunyi, coba liat dulu siapa tau penting." Zulfikar menginterupsi Ainun yang melanjutkan obrolannya dengan Zulaikha.
"Bentar, ya, Kak," pamit Ainun. Ia beranjak mendekati tempat di mana ponselnya berada. Tak lama setelah membuka layar HP, matanya melirik Zulfikar dengan alis menukik ke atas.
Apa-apan ini? Pikirnya.
Calon Suami
Dek...! Adek!
Rasanya Abang gak sabar menghalalkanmu segera. Meskipun kita satu ruangan, rindu itu masih juga meletup-letup. Apa daya, Kak Leha melarang Abang menatap sang pujaan.
Apanya yang penting? Kesal Ainun. Lagi ia melirik Zulfikar. Namun tak menutupi ada segaris tipis senyuman yang ia hadirkan.
"Siapa, Nun? Mak Cik, ya?" tanya Zulaikha ketika Ainun kembali duduk bersama mereka.
"Hehehe... bukan, Kak, cuma orang iseng aja, kok," jawab Ainun sambil tertawa kikuk.
Maafkan Ainun, Akak!
Sementara Zulfikar mendengus sebal, Ainun tak membalas pesannya. Malahan dirinya disebut sebagai orang iseng. Ada, ya, calon istri yang mengatai calon suaminya sendiri di depan orangnya langsung? Mungkin Ainun salah satunya.