21 | Hati Yang Gundah

2700 Kata
Hari ini Ainun merasa bahagia. Mendengar kabar bahwa abang sepupunya akan datang, membuatnya sibuk-sibuk membereskan rumah. Ainun senang karena sudah lama ia tidak bertemu dengan abang sepupunya itu. Semenjak abang sepupunya yang bernama Azzam kuliah di Negeri tetangga, mereka tidak pernah lagi bertemu. Pertemuan terakhir mereka ketika Azzam akan berangkat ke Malaysia, itu terjadi sekitar tujuh tahun silam. Dan setelah lulus kuliah, Azzam langsung direkrut menjadi dosen di Universitas Malaysia. Sehingga Azzam tidak langsung kembali pulang ke Aceh. Dan menjelang Idul Fitri tahun ini, Azzam berkesempatan pulang. Apalagi ia akan dijodohkan oleh orang tuanya. Dan menurut kabar, calonnya itu adalah Nadia Azima. Gadis Desa tetangga yang dikenal dengan keshalihannya. Ainun bersenandung kecil. Tiga hari berselang sejak kejadian di mana Zulfikar dan Zulaikha menemaninya ketika ia terjebak hujan di rumahnya sendiri. Dan setelah kejadian itu, Hanum tidak mengizinkan Ainun seorang diri lagi apabila ia pulang ke rumah. Namun hari ini berbeda. Ainun terlihat sangat antusias ketika abangnya memberi kabar bahwa Azzam akan bertandang. Dengan berbagai macam alasan akhirnya ia diizinkan pulang oleh Hanum. Sementara Hanum, setelah tujuh hari kemarin merubah niatnya untuk pulang demi menemani anak menantunya. Hanum tidak tega meninggalkan Zahara seorang diri meskipun ada Syamsul yang menemani. Menurutnya, hidup gadis itu sekarang sudah di bawah tanggungannya juga. Suara deringan ponsel menghentikan senandungan Ainun. Segera ia raih benda pipih itu. Seketika senyum yang sejak tadi mengembang semakin lebar menghiasi wajahnya "Assalamualaikum...." Bahkan suaranya terdengar riang. "Waalaikumussalam," sahut suara di seberang sana. "Amboi... calon istri Abang nampak semangat sekali, ada apa?" "Enggak ada apa-apa, cuma lagi senang aja, sebentar lagi 'kan mau lebaran," jawab Ainun masih dengan nada riangnya. "Dan setelahnya kita akan menikah," timpal Zulfikar di seberang sana. Seketika Ainun berubah diam. Nyaris lupa dengan rencana pernikahannya sendiri yang telah disepakati setelah lebaran nanti. Hari ini pikirannya memang penuh dengan abang sepupunya, hingga ia lupa pada sang calon suami masa depan. Begitulah Zulfikar menyebut dirinya sendiri kemarin itu. "Kenapa malah diam? Kamu gak berencana membatalkan pernikahan kita 'kan, Dek?" Ada getaran ke khawatiran dalam nada suaranya. "Ngg... gak, mana mungkin aku membatalkan pernikahan kita!" Gugup. Itu yang dirasakan Ainun saat ini. "Abang udah terlanjur sayang sama kamu. Jadi, Abang berharap kamu jaga hubungan kita, ya," pinta Zulfikar halus. Sejatinya, rasa sayang dan cinta itu sudah tumbuh kala ia mengutarakan hajat untuk meminang Ainun. Ia serius ingin mempersunting Ainun menjadi istrinya. Tidak ada niat dalam hati sedikitpun untuk bermain-main dengan perasaannya. "Iya, Abang..., Ainun janji," tutur Ainun tegas menjanjikan keseriusannya. Terdengar helaan napas lega di ujung sana. Rasa khawatir yang sempat singgah sesaat tadi pun sirna tak berbekas. Andai bisa, saat ini juga gadis itu ia ikat dalam ikatan yang sah, tetapi kesepakatan telah dibuat, tidak mungkin ia sendiri yang melanggarnya. "Besok Abang ke rumah, ada sesuatu yang mau Abang kasih ke kamu. Besok kamu gak ke mana-mana, kan?" "Enggak." "Ya sudah, Abang tutup dulu, ya, assalamualaikum...." Zulfikar mengakhiri panggilannya. Ainun terduduk lemas di kursi. Menyandarkan punggungnya seraya mengingat lagi apa saja yang dikatakan Zulfikar tadi. Ada sesuatu yang tiba-tiba menyesakkan d**a, tetapi ia tidak tahu penyebabnya apa. Perkataan Zulfikar tadi seolah-olah mereka tak akan bertemu lagi. Ya Allah! Enyahkanlah rasa was-was dalam hatiku. ***** Manik mata hitam pekat milik laki-laki berkulit sawo matang itu menatap nanar layar gawai yang telah berubah gelap. Perasaan aneh merasuk jiwanya secara tiba-tiba. Firasatnya mengatakan akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Berkali-kali pula ia beristighfar tanpa henti, berharap hal buruk yang ia pikirkan tidak terjadi. "Joel...! Ijoel...!" seruan Zulaikha dari dapur menghentak kegalauan hatinya. Zulfikar beranjak dan bergegas menuju di mana sang kakak berada. "Ada apa?" Zulfikar berdiri di belakang Zulaikha yang sedang menopang tangan di pinggangnya dan satu tangan lagi memegang parang menatap dua kelapa yang belum terkupas kulitnya. "Tolongin Akak kupas kelapa sekalian kamu kukur, ini parangnya." Zulaikha menyerahkan parang yang ia pegang. "Udah dari tadi Akak coba, tapi gagal selalu." Wanita pengganti ibunya itu tampak menghela napas lelah sembari mengusap peluh di pelipisnya dengan ujung jilbab. Mengambil parang yang disodorkan padanya, Zulfikar mulai mengupas kelapa satu per satu. "Ini mau dibuat apa?" tanya Zulfikar masih dengan kesibukannya mengupas kelapa. "Mau Akak bikin bubur ketan campur jagung. Udah lama 'kan kita gak bikin itu, padahal udah di penghujung Ramadhan. Gak terasa Ramadhan udah mau meninggalkan kita, ya, Dek." Suara kupasan kelapa masih terdengar. Zulaikha menyadari tak ada respon dari adiknya. "Kok diam? Akak udah kayak lagi bicara sendiri aja, padahal ada kamu di sini." Zulaikha merasa kesal diabaikan oleh sang adik. Untung sayang. Setelah selesai mengupas kelapa, Zulfikar melanjutkan mengukur kelapa di mesin kukur. Tak ada yang tahu bahwa pikiran laki-laki yang sedang sibuk mengukur kelapa itu tengah bercabang entah ke mana. "Kalau udah selesai bawa masuk aja ke dapur, Akak mau lanjut bersihin ikan." Meninggalkan Zulfikar dengan kesibukannya, Zulaikha pun melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda tadi. Tak lama kemudian masuk Zulfikar. Kukuran kelapa ia letakkan di atas meja dan tanpa kata meninggalkannya begitu saja masuk ke kamar mandi. Ia basuh muka dan seluruh anggota tubuh dengan air wudhu. Berharap kenyamanan menyapa hati yang diselimuti kegundahan sejak tadi. ***** "Apa udah selesai?" Ainun dikejutkan oleh Abangnya yang baru masuk. "Udah dari tadi, kalau belum mana mungkin aku bisa rebahan kayak gini. Abang bisa liat aja sendiri, kan?" jawabnya acuh tak acuh. Mata yang sejak tadi terasa berat belum jua terpejamkan. Ia lirik jam di ponselnya, ternyata sudah pukul dua siang. Pantesan matanya serasa berat, minta diistirahatkan. Syamsul masuk ke kamarnya, sejurus kemudian kembali keluar dengan pakaian rumahan. Baju kaos putih, sedangkan bawahannya masih memakai sarung yang tadi. Ainun yakin, dari masjid abangnya langsung pulang ke sini. "Besok Azzam ke sini," kata sang abang tiba-tiba. Mengambil tempat di samping Ainun dan ikut rebahan di sana. Dia atas kasur palembang. Azzam, saudara sepupu yang usianya hampir sama dengan Syamsul. Anak dari adik Abi mereka, tinggalnya jauh di kota. Meskipun tempat tinggalnya jauh dari mereka, tetapi kedekatan antara satu sama lain tak ada yang bisa menandingi. "Sendiri atau gimana?" "Katanya, sendiri, sekalian mau liat calon yang dijodohkan untuknya. Kamu kenal sama Nadia, calonnya Azzam?" Syamsul menoleh menatap wajah adiknya. Sejak tadi gadis itu menguap tak henti-henti sampai-sampai matanya berair. "Kenal-kenal gitu aja. Hoaammmm...!" Sekali lagi Ainun menguap, dan kali ini kuapannya sangat panjang. "Kalau ngantuk, tidur sana," perintah sang abang. "Abang lama di sini?" "Sampe nanti sore," jawab Syamsul seraya memainkan hape-nya. "Kalau gitu aku tinggal tidur, ya, Abang kalau mau masuk kamar nanti pintunya jangan lupa dikunci dulu." Setelah berpesan pada abangnya, Ainun pun menyeret kaki yang terasa berat ke dalam kamar. Baru menyentuh kasur, matanya langsung terpejam, lelap. ***** Tak terasa hari kedatangan Azzam pun tiba. Hanum ikut pulang menanti kedatangan keponakannya yang sudah lama tak bertemu. Sementara Syamsul, ia tidak bisa pulang karena menemani sang istri di rumah. Padahal Zahara sudah merayu agar Syamsul ikut pulang saja ke rumah bersama Hanum. Ia tak masalah ditinggal sendiri di rumah, karena ia pernah ditinggal sendiri oleh mendiang ibunya, apabila sang ibu bermalam di tempat saudaranya yang jauh. Namun Syamsul tidak puas hati kalau meninggalkan Zahara seorang diri. Sebenarnya Zahara sangat ingin ikut ke rumah suaminya, tetapi apa daya ia belum bisa meninggalkan rumahnya dalam keadaan kosong begitu saja. Bagaimana jika ada tamu datang, sedangkan ia tidak ada di rumah. "Abang pulang aja, Ara gak apa-apa ditinggal sendiri," katanya lagi masih merayu sang suami. Tidak ada respon dari suami, Zahara mencebikkan bibirnya. "Ara benaran gak apa-apa ditinggal sendiri, Abang...! Percaya sama Ara." Zahara mencolek-colek lengan Syamsul yang tengah tidur di atas ranjang Zahara yang tidak terlalu besar. "Abang...," panggilnya lagi. Kali ini dengan suara yang dibuat manja. Asli! Zahara malu, tapi mau bagaimana lagi? Kalau ia tidak begitu, maka Syamsul tidak akan merespon ucapannya. Mode diam suaminya kini dalam keadaan nyala. Mendesah pelan, Zahara berbalik membelakangi suaminya yang masih kukuh menutup rapat matanya. Rasa hangat menjalar di perutnya saat lengan kokoh memeluknya dari belakang. "Tapi Abang yang kenapa-kenapa kalau meninggalkanmu sendiri di sini. Ara istri Abang, Ara tanggung jawab Abang. Jadi, sekarang temani Abang tidur di sini dulu sebentar, ya." Syamsul menarik istrinya hingga Zahara terlentang. Hati Ara selalu dalam kondisi yang tak baik-baik saja, apabila Syamsul melakukan hak demikian. "A-abang... ini masih pagi," cicitnya pelan tanpa menoleh ke arah suaminya yang masih memejamkan matanya. Lengannya masih memeluk erat sang istri. Ada segaris senyum yang tak disadari Zahara di wajah suaminya yang sejak tadi mendusel-dusel di bahunya. "Biarkan Abang tidur sebentar, jam sebelas nanti tolong bangunin Abang." Tak berapa lama terdengar helaan napas teratur di sisi telinga kanannya. Ada sensasi aneh yang tiba-tiba menyusup kala embusan itu menerpa pipi kanan Zahara. Hati-hati ia angkat lengan berat itu dan memindahkannya ke atas bantal guling. Lenguhan terdengar sesaat lalu seiring lengan kokoh Syamsul memeluk guling dalam dekapannya. "Huft...!" Zahara bernapas lega ketika mata itu masih terpejam. Lama ia amati wajah damai itu. Wajah yang ditumbuhi rambut di sekitar rahangnya yang kokoh. Kumis tipis juga tak ketinggalan ikut meramaikan wajah tampan itu. Zahara mengulurkan tangannya dan mengusap lembut pipi itu. Masih tak menyangka kalau laki-laki yang terlelap ini adalah suaminya. Suami yang telah mencuri hatinya dari semasa ia sekolah dulu. Zahara tersenyum tipis mengingat itu semua. Puas mengamati sang suami, Zahara beranjak. Mengambil baju-baju kotor Syamsul dan dirinya lalu ia bawa ke belakang, ke tempat cucian. Ia pisahkan baju yang patut dicuci dengan tangan dengan baju yang akan ia masukkan ke mesin cuci. Selagi mesin cuci menggiling baju, Zahara merendam baju yang akan ia cuci dengan tangan. ***** "Assalamualaikum...!" Suara salam menyapa penghuni rumah dengan suara khas-nya. Laki-laki berperawakan tinggi itu mengetuk pintu sembari mengucap salam beberapa kali. "Wa'alaikumussalam...!" teriak penghuni rumah dari dalam. Tak lama kemudian pintu terbuka. "Abang... masuk, Bang!" seru gadis yang membuka pintu tadi dengan riang. "Mak! Mak! Bang Azzam udah datang, nih!" Segera setelah menyuruh tamunya duduk, sang gadis berlari kecil memanggil sang ibu di belakang. Sementara laki-laki yang dipanggil Azzam tadi tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tingkah adik kecilnya masih sama dari semenjak ia tinggalkan, tidak berubah sama sekali. "Udah kamu suruh masuk Abang kamu itu, Nun?" tanya Hanum mengikuti langkah anak gadisnya. "Udah." "Assalamualaikum, Miwa." Azzam beranjak bangun menyonsong Hanum dan menyalaminya dengan takzim. "Wa'alaikumussalam... baru sampe kamu, Zam?" "Iya," jawab Azzam singkat. "Ini ada sedikit oleh-oleh buat Miwa, Ainun sama Bang Syamsul." Azzam menyerahkan bingkisan yang ia bawa tadi. Ainun menerimanya dan meletakkan di atas lemari buffet. "Abang Syamsul mana?" Azzam celingak celinguk mencari keberadaan Syamsul yang sejak ia datang tadi tak ada penampakannya sama sekali. "Di rumah istrinya, udah nikah dia," jawab Hanum memberitahu keberadaan Syamsul. "Alhamdulillah...! Orang mana istrinya?" "Teman aku, dong!" sahut Ainun bangga. "Oh, ya? Siapa?" tanya Azzam takjub. "Zahra, hahaha...." Tawa Ainun menggema. Pasalnya Azzam pernah menyukai Zahra dulu. "Nun...," tegur Hanum pada anak gadisnya. "Oppss...! Astaghfirullahal'adhim...." Ainun menutup mulutnya karena kelepasan ketawa. Dari kecil mereka diajarkan untuk tidak tertawa terbahak-bahak karena itu tawanya Syaithanirrajim. Tapi adakalanya ia tetap kelepasan ketika ketawa. Dan di saat ia sadar, maka ucapan istighfar keluar dari mulutnya. "Udah lama nikahnya, Miwa? Mak gak bilang apa-apa pun." Kening Azzam berkerut halus. "Baru seminggu lebih, Miwa belum bilang saudara yang lain karena nikahnya mendadak, apalagi bulan puasa, kan? Insya Allah, nanti waktu resepsi Miwa beri kabar semuanya,'" jelas Hanum. Azzam mengangguk paham. Ada sekitar setengah jam Hanum duduk mengobrol banyak dengan Azzam. Setelahnya ia meninggalkan mereka berdua karena rasa pusing tiba-tiba menderanya. Ia pamit istirahat sebentar pada Azzam. Dan kini tinggallah mereka berdua melanjutkan obrolan yang merambat ke mana-mana. Mulai dari kegiatan Azzam di Malaysia hingga Ainun yang telah dipinang orang. Azzam tahu itu karena tanda yang terpasang di jari manis Ainun. "Ainun dengar, Abang dijodohkan sama Nadia, ya, Bang?" Ainun yang tidak menutupi rasa penasarannya sejak kabar itu diberitahukan Syamsul padanya pun langsung bertanya. Sejenak Azzam tampak terkejut dengan pertanyaan Ainun. Sedetik kemudian ia berdeham. "Insya Allah, kamu kenal dia?" "Gak terlalu kenal, sih, tapi pernah kerjasama jadi panitia perlombaan MTQ antar desa." "Mmmm...." Azzam bergumam tak jelas. Suara ponsel Ainun menginterupsi pembicaraan mereka. "Bentar, ya, Bang." Ainun beranjak meninggalkan Azzam ke belakang. Ponselnya tertinggal di sana. Memang tadi sebelum Azzam datang, ia tidur-tiduran di sana bersama Hanum menikmati angin sepoi-sepoi. Sepeninggal Ainun, Azzam bangkit dari duduknya dan melangkah keluar rumah. Menatap langit yang tiba-tiba mendung menghadirkan hawa sejuk. Ia duduk di bangku depan. Menikmati semilir angin dan kelabunya awan. "Kirain Abang ke mana tadi," ucap Ainun ikut duduk di samping abang sepupunya. "Bang Syamsul yang telepon?" Azzam menoleh menatap adiknya. "Bukan, calon suami Ainun." Senyum yang terpatri di wajah ayu itu menular ke Azzam. Ia usap kepala sang adik yang terbungkus hijab kurung itu dengan sayang. "Abang doakan kalian berjodoh dan Allah lindungi selalu dimanapun kalian berada." Senyum tulus ia berikan. Ainun mengaminkan doa abang sepupunya itu di dalam hati. Ia juga berharap demikian. Sangat-sangat berharap. ***** Zulfikar bersiap-siap akan ke rumah Ainun sesuai janjinya kemarin. Ada sesuatu yang ingin ia berikan kepada Ainun si pujaan hatinya. Di atas meja ada dua Al-Qur'an, masing-masing sudah tertera namanya dan Ainun dengan tinta emas. Ia berniat untuk memberikannya satu untuk Ainun sebagai pengikat hubungan mereka secara ruhani. Sebagaimana ayat-ayat itu sebagai penghubung antara manusia dan Rabb-nya. Surat cinta yang diturunkan kepada Rasulullah melalui Malaikat Jibril. Al-Qur'an berwarna soft pink itu kini telah berpindah ke dalam totebag. Mematut dirinya sekali lagi di depan cermin, lalu ia keluar dari kamar sambil mendekap bawaannya di depan d**a. Bersiap-siap menstarter kendaraan beroda dua, ia mulai menjalankannya dengan pelan dan santai. Senyum tak lekang, meskipun langit berubah dari terang ke warna kelam. Baru setengah perjalanan, rintik hujan mulai menerpa wajahnya satu per satu. Tak berniat berteduh, ia lanjut membawa laju motornya. Yang tadinya pelan dan santai berubah menjadi cepat dan tak sabaran. Ia takut hadiah yang ingin ia berikan itu basah terkena hujan. Beberapa menit kemudian, ia hampir sampai ke tujuan. Senyumnya makin mengembang saat manik mata hitam pekatnya menangkap sosok gadis impiannya sedang duduk di serambi depan. Gadis itu menunggunya. Begitu kata batinnya. Namun senyum yang mengembang tadi tiba-tiba menipis. Sorot mata yang tadinya berpendar kini terlihat gelap. Laju motor pun menjadi lambat. Ada rasa sesak di dadanya kala ia tatap sang pujaan duduk berdua dengan laki-laki yang tak ia kenal. Ditambah usapan laki-laki itu di kepala gadisnya semakin membuatnya nyaris lepas kendali. Rasa kecewa kini memenuhi hatinya. Lantas ia berbalik arah membatalkan niatnya menemui Ainun. Sebelum pulang, ia titip hadiahnya pada anak kecil yang tengah asyik bermain hujan. Anak kecil yang pernah membantunya mengirim salam kepada Ainun di masjid dulu. Dengan rasa kecewa yang terlalu dalam, Zulfikar membawa motornya dengan laju cepat. Saat ini untuk pulang saja ia merasa enggan. Hujan deras tidak menyurut laju motornya sedikitpun. Ia bahkan melupakan jalanan akan berubah licin kalau hujan lebat seperti ini. Entah ke mana ia arahkan laju motornya, ia tak tahu. Hingga ia tiba pada jalan yang dipenuhi air yang sudah meluap naik dari sungai yang ada di sana. Tanpa menurunkan kecepatannya, ia terobos air genangan itu. Namun naas baginya, ia terperosok ke dalam sungai itu yang memiliki arus cukup deras. Tubuhnya ditelan air sungai bersama dengan perasaan kecewa terhadap gadis kesayangannya. Sementara sang gadis, masih menunggu kedatangan sang kekasih ditemani abang sepupu tanpa tahu kemalangan yang menimpa sang calon suaminya. Ia dikejutkan oleh gadis kecil yang basah kuyup. Ia mengingat gadis kecil itu yang menyampaikan salam dari Zulfikar kepadanya pada malam tarawih pertama, atau yang kedua? Ainun lupa tepatnya kapan. Tapi ia mengingat pasti anak itu, tidak salah lagi. Gadis kecil itu memberikan sebuah kantong plastik padanya. Mengerutkan kening tanda tak mengerti, ia lantas bertanya itu apa. "Gak tau, Kak, tadi Bang Joel titip ini, katanya untuk Kak Ainun," jawab anak itu polos. "Terus Bang Joel-nya ke mana?" Ainun mengedarkan pandangannya, tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. "Entah." Anak itu mengangkat bahunya tanda tak tahu. Lalu kemudian berlari menerobos hujan sambil berjingkrak-jingkrak senang karena bisa kembali bermain hujan. Ia berlarian bersama anak-anak yang lain tanpa menoleh lagi ke belakang di mana Ainun dan Azzam berada. Ainun tiba-tiba diserang rasa gelisah, sekelebat ingatan percakapan mereka kemarin bermain-main di pikirannya. Azzam yang menyadari kegelisahan Ainun pun berujar. "Mungkin dia ada keperluan mendadak, atau karena hujan, jadi dia gak bisa datang." Ainun menggigit bibir bawahnya. Tidak mungkin Zulfikar tak memberi kabar kalau ia tak bisa datang. Tidak biasanya Zulfikar seperti itu. Menghela napas pelan demi mengurai rasa gelisah, Ainun mensugestikan diri bahwa semua baik-baik saja. Iya, pasti semua baik-baik saja.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN