Dengan langkah tegap, Ferdi kembali hadir di tengah-tengah kami. Aku segera menyimpan ponselku ke dalam tas. Begitu pun dengan Nia yang tampak sangat antusias menantikan apa yang selanjutnya akan diberitahu oleh Ferdi.
"Ini, chip kecil ini sangat banyak manfaatnya. Apa suamimu memakai pelindung ponsel?" tanya Ferdi padaku.
"Iya, dia selalu memakainya. Karena dia sangat ceroboh, jadi aku memintanya memakai pelindung ponsel agar saat ponsel itu jatuh, tidak langsung retak atau pecah," jelasku pada Ferdi.
"Bagus, kamu sisipkan ini di belakang ponselnya. Tinggal tempel aja, lalu pasang kembali pelindung ponselnya. Aku akan menambahkan fitur pengaturannya di ponselmu setelah itu!" ucap Ferdi sambil menyerahkan sebuah chip yang sangat kecil dan tipis itu padaku.
"Hati-hati, Beb. Jangan sampai hilang, dan jangan sampai ketauan saat kamu memasangnya. Sebaiknya kamu pasang itu nanti saat dia pulang kerja. Jadi besok kita ke sini lagi, untuk mengatur programnya dari ponselmu. Bukan begitu, Mister?" canda Nia menanyai Ferdi.
"Yap, benar sekali. Selamat menjalankan tugas pertamamu," ucapnya seraya tersenyum manis padaku.
Aku merasa bahwa senyum Ferdi bukan senyum yang sama seperti yang dia berikan pada Nia. Apa mungkin pria ini benar-benar masih menyimpan perasaan untukku? Apa benar dia masih sendiri karena menungguku selama ini? Bermacam pertanyaan konyol itu muncul di kepalaku, tapi berhasil kutepis dengan cepat.
"Baiklah, Fer. Aku akan membayar jasamu setelah semua ini selesai. Atau, kamu ingin menerima uang muka terlebih dahulu? Aku takut, kamu berpikir aku tidak serius dan mungkin saja kabur nanti saat misi ini sudah berhasil," ucapku sengaja berseloroh dengannya.
"Haha... Aku akan mengejarmu hingga ke ujung dunia jika kau lari lagi kali ini!" bisiknya, tapi masih bisa kudengar dengan kedua indera pendegaranku.
Hanya Nia yang tampak tak begitu peduli, karena tiba-tiba ponselnya berdering. Nia izin keluar untuk mengangkat panggilannya padaku, dan aku mengangguk setuju. Setelah Nia pergi, Ferdi tampak menatapku dengan lekat. Aku merasa sangat canggung saat diperhatikan oleh pria yang bukan suamiku dengan begitu dekat seperti ini.
"Kenapa kamu menatapki terus sejak tadi? Jangan bilang kamu suka sama istri orang!" ucapku lagi dengan maksud hanya bercanda.
"Kalau benar gimana?" tanya Ferdi balik, membuatku salah tingkah.
"Eh, apa-apaan sih? Aku-aku cuma bercanda, jangan dibawa ke hati," lanjutku padanya.
"Dari dulu, kamu selalu di hatiku!" jawabnya pelan.
Aku semakin canggung berada di dalam ruangan ini hanya berdua dengan Ferdi. Aku melirik ke arah pintu dan ponsel bergantian, menanti Nia yang tak kunjung masuk kembali.
"Kenapa kamu terlihat sanggat gugup? Tenanglah, aku tidak akan macam-macam padamu. Bagaimana pun, aku ini pria baik-baik," pujinya pada dirinya sendiri.
"Terima kasih," balasku dengan senyuman lega.
"Eh, ngomong-ngomong udah berapa lama kamu menikah dengan pria itu? tanya Ferdi padaku.
"Sudah tiga tahun, kami juga awalnya hanya dijodohkan oleh Papi. Karena dia pria yang menurutku tipe suami idaman, maka aku menyetujui perjodohan itu." jawabku, kembali mengenang saat-saat pertama kami dijodohkan.
"Wah, masih zaman juga ya perjodohan? Udah kayak di film Siti Nurbaya aja nih," ledeknya dengan tawa yang sumbang.
"Waktu itu, Papi baru berhasil melewati masa-masa kritisnya. Jadi, aku tak punya pilihan lain. Demi kesehatan Papi, biarlah aku mengalah. Tapi, sehari setelah aku resmi menikah dengan Mas Heru, Papi meninggal dunia," aku mengatakan kalimat itu dengan mata yang sudah mulai basah.
Ferdi beringsut dari tempatnya duduk, mendekat ke tempatku duduk. Dia menyodorkan selembar tisu padaku, kuambil dan kuusap mataku yang basah.
"Sorry, aku nggak bermaksud," ucapnya tulus.
"Okey, santai aja. Aku cuma nggak bisa nahan air mata setiap ingat Papi!" jawabku.
Tiba-tiba Nia kembali masuk dan menatapku dengan heran.
"Fer, kamu apain Winda? Kok dia nangis? Aku baru tinggal nelpon bentar aja lo," tanya Nia dengan khawatir dan kemudian duduk di sampingku.
"Udah, aku nggak kenapa-napa kok. Cuma tadi sedih aja, tiba-tiba ingat Papi," jawabku meredakan kekhawatiran sahabat karibku itu.
"Ouh Baby... Udah dong, nggak usah sedih terus. Papi udah bahagia kok di Surga," kata-kata Nia membuat hatiku tenang. Aku tersenyum mengiyakan ucapan Nia.
Setelah rasanya cukup lama kami bertukar cerita, bertukar ide dan pendapat, aku dan Nia pamit untuk pergi. Karena tak terasa, sudah jam dua belas siang. Pantas saja perutku terasa sangat lapar.
"Fer, sekali lagi terima kasih banyak. Aku pasti akan menghubungimu secepatnya," ucapku sebelum beranjak dari kediaman Ferdi.
"Menghubungiku? Kamu punya nomor ponselku?" tanya Ferdi heran.
Pertanayaan Ferdi itu sekaligus membuatku sadar atau kebodohanku sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa menghubunginya jika aku saja tak memiliki nomor ponselnya. Namun, alih-alih mengakui kecerobohanku. Aku memilih mengkambing hitamkan Nia kali ini.
"Tenang saja, aku tinggal memintanya pada Nia,"
"Kenapa tidak langsung padaku? Mumpung aku ada di depanmu saat ini!"
"Eh, itu.. nanti saja, atau besok. Besok kan aku ke sini lagi sama Nia. Iya kan, Beb?"
"Mudah-mudahan ya, kalau aku nggak sibuk. Soalnya tadi itu yang nelpon calon klien aku. Aku nggak bisa pastiin nih kalau besok." tolak Nia halus, membuatku semakin kikuk di depan Ferdi.
"Ya udah, kalau gitu besok aku datang sendiri aja." jawabku, lalu berlalu meninggalkan Nia dan Ferdi.
Sebenarnya aku sangat malu saat ini, tapi aku berusaha menutupinya di depan Ferdi. Malu dong, seorang Winda terlihat salah di depan cowok. Karena itu, aku memilih gaya sok merajuk pada Nia dan bergegas masuk ke mobilnya.
Tak berselang lama, Nia pun datang dan masuk ke mobilnya itu. Aku merasa lega, karena Ferdi hanya berdiri sebentsr di pintu lalu menutup pintu rumahnya kembali.
"Lama banget sih? Aku nungguin dari tadi, udah laper banget nih. Yuk, ke Restoran Jepang di ujung Jalan Cempaka itu. Katanya di sana baru buka dan enak," ajakku tak sabar pada Nia.
"Iya, Nyonya Besar. Segera berangkat!" jawab Nia dengan gaya ala sopir bicara pada majikannya.
Setelah sampai di Restoran Jepang yang baru saja dibuka itu, aku dan Nia melirik meja kosong. Karena mungkin masih baru, pengunjungnya sangat ramai hari ini.
"Beb, ayo duduk di sebelah situ," ajakku pada Nia, saat melihat ada sebuah meja kosong tak berpenghuni. Kami segera duduk dan witers datang membawa daftar menu. Aku dan Nia memilih beberapa makanan kesukaan kami, lalu menunggu dengan santai.
Namun, tiba-tiba Netra-ku terfokus pada tubuh kekar yang duduk di meja paling sudut ruangan ini. Dari pakaiannya, aku tidak kenal. Tapi aku sepeeti tidak asing dengan postur tubuh dan potongan rambut pria itu. Di depan pria itu, kulihat Mami dengan pakaian ala wanita penghiburnya itu. Saat kulihat Mami mengelus-ngeluskan kakinya di paha pria itu di bawah meja, aku merasa jijik pada kelakuannya.
Lalu, saat seorang witers menghampiri mereka membawakan sejumlah menu dalam nampan, pria itu menoleh. Dan aku bisa melihat wajahnya dengan sangat jelas.
"Mas Heru..." lirihku pelan dan menyakitkan.