Mulai Beraksi

1071 Kata
Bagian 5 Setelah sampai di depan supermarket, aku langsung turun dari mobil Mas Rian, kemudian bergegas masuk ke dalam untuk membeli beberapa kebutuhan pokok. Beras, minyak goreng, sabun mandi, sabun cuci, odol, shampo dan lain-lain sudah dicatat dalam daftar belanjaanku. Aku segera mengambil keranjang, kemudian mencari barang yang akan aku beli. Setelah semuanya telah lengkap, aku langsung membayarnya ke kasir. Setelah Helper dari supermarket tersebut memasukkan semua barang belanjaanku ke bagasi mobil, aku kembali mengeceknya untuk memastikan bahwa tidak ada lagi yang tertinggal. Setelah semuanya beres, aku segera melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Rasanya sudah tidak sabar ingin kembali ke rumah. Hari ini, aku akan menjalankan rencanaku. Alhamdulillah, setelah menempuh perjalanan selama 20 menit, akhirnya aku tiba di rumah. Mbok Yuli membantuku untuk menurunkan barang belanjaan dari dalam mobil, kemudian membawanya masuk ke dalam. "Mbok, Nia sudah pulang?" tanyaku kepada Mbok Yuli saat kami tiba di dapur. Mbok Yuli langsung membereskan barang belanjaanku tadi. "Belum pulang, Bu! Tapi tadi Bu Nia nelpon, nyuruh Bibi untuk mencuci baju kotornya yang ada di keranjang, di dalam kamar," jawab Mbok Yuli sambil membuka karung beras, lalu memindahkannya ke dalam rice box. Ternyata, Nia sudah mulai berani. Bahkan sudah berani memerintah Mbok Yuli. "Terus, Mbok sudah mencuci baju kotornya Nia?" "Belum, Bu. Mbok baru saja mau mencucinya, tapi keburu Bu Sandra datang." "Ya sudah, nggak usah dicuci. Biarkan saja. Jika nanti Nia protes, bilang saja aku yang nyuruh. Kalau Nia sampai marah, suruh berhadapan langsung denganku," perintahku pada Mbok Yuli. Ini adalah salah satu cara agar Nia merasa tidak betah tinggal di rumah ini. "Baik, Bu. Kalau begitu, Mbok mau lanjut ngerjain yang lain ya, Bu." "Baiklah, Mbok." *** "Mbok … Mbok!" Terdengar suara Nia berteriak-teriak memanggil Mbok Yuli. Aku sudah menduga, pasti ia akan memarahi si Mbok karena tidak mau mencuci baju kotornya. Aku berdiri di dekat tangga, aku ingin melihat bagaimana reaksi Nia saat Mbok Yuli mengatakan bahwa akulah yang melarangnya. Dari atas sini, kulihat Mbok Yuli menghampiri Nia yang sedang berdiri di ruang tamu. "Ada apa, Bu Nia?" "Ada apa? Kamu masih bertanya ada apa? Kamu lupa? Aku menyuruhmu untuk mencuci baju kotorku yang ada di kamar, kenapa kamu tidak melaksanakan perintahku?" Nia meninggikan nada bicaranya, bahkan ia tidak sabar sedang berbicara dengan siapa. Mbok Yuli lebih tua dari dirinya, tapi Nia memanggilnya dengan sebutan 'kamu', benar-benar tidak punya sopan santun. "Anu, Bu, i-itu–" Mbok Yuli terlihat gugup, sepertinya ia takut untuk memberitahu yang sesungguhnya kalau akulah yang menyuruhnya. "Oke, karena aku masih berbaik hati, maka aku tidak akan mengadukan hal ini pada Mas Ilyas. Sekarang, cepat laksanakan perintahku," bentaknya. Mbok Yuli terlihat ketakutan, tapi belum berani beranjak dari tempatnya. "Oh … ternyata kamu ingin dipecat ya, Mbok! Baiklah, aku akan menelpon Mas Ilyas sekarang juga, akan kuadukan padanya." Nia kembali ke kamarnya, beberapa detik kemudian, ia kembali dengan membawa ponsel di tangannya. Aku yang sudah tidak tahan melihat tingkahnya yang sudah kelewat batas, memilih untuk turun ke lantai bawah. Jika aku tidak segera menghentikannya, ia pasti akan semakin ngelunjak. "Ada apa ini ribut-ribut?" tanyaku pura-pura tidak tahu sambil memandangi wajah Nia dan Mbok Yuli secara bergantian. "Ini loh, Sandra. Mbok Yuli tidak mau menjalankan perintahku. Aku hanya menyuruhnya untuk mencuci pakaian kotorku, tapi Mbok Yuli tidak juga melaksanakannya. Gimana aku nggak kesal coba?" Nia protes, ia tidak tahu kalau aku lah yang menyuruh Bi Yuli. "Oh, itu. Kirain apaan!" "Kok masalah seperti ini dianggap sepele sih, San? Bisa-bisa, pembantu kamu ini bakal ngelunjak nantinya jika kamu tidak menegurnya." Nia tidak terima dengan sikapku yang seolah tidak begitu peduli pada pengaduannya. "Mbok, Mbok boleh ke belakang. Silahkan lanjutkan pekerjaannya." Aku sengaja menyuruhnya untuk meninggalkan kami berdua, karena Mbok Yuli tidak terlibat dalam rencanaku. "Sandra, kok' malah disuruh pergi sih? Dia kan belum mencuci pakaianku! Kamu gimana sih?" "Apa susahnya sih, Nia. Kamu aja yang nyuci pakaianmu sendiri. Mbok Yuli tuh banyak kerjaan. Lagian, kamu harus banyak beraktivitas. Buat apa, coba? Buat bisa ngelupain masalah rumah tanggamu dengan suamimu. Ayolah, nyuci baju kan gampang. Dulu sebelum menikah, kamu juga sering melakukan pekerjaan itu." Nia sepertinya tidak suka jika aku mengungkit masa lalunya. Raut wajahnya seketika mendadak berubah. "Itu kan dulu, Sandra. Kamu kan tahu sendiri, kalau selama ini aku hidup enak dan dimanja sama Mas Rian. Semua kebutuhanku sudah disiapkan oleh asisten rumah tangga. Aku tidak pernah lagi mengerjakan pekerjaan seperti itu!" Ketahuan sekarang, Nia tidak pernah mengerjakan tugas seorang ibu rumah tangga. Di depan Mas Ilyas, ia selalu mengatakan bahwa ia selalu melayani suaminya dan menyiapkan semua kebutuhan suaminya. Padahal semua itu bohong. "Loh, bukannya kamu yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga di rumahmu? Kamu kan bilang sendiri padaku dan Mas Ilyas jika kamu selalu melayani dan menyiapkan semua keperluan suamimu. Bahkan, kamu juga memasak setiap pagi untuk menyiapkan sarapan buat suamimu, seperti yang aku lakukan." "Aku hanya menyiapkan makanan untuknya, Sandra. Bukan aku yang memasaknya. Asisten rumah tanggaku lah yang menyiapkan semuanya. Aku nggak level tau, ngerjain yang begituan." "Berarti kamu bohong, Nia. Di depanku dan Mas Ilyas, kamu bersikap seperti seorang istri yang sangat memuliakan suaminya. Tapi ternyata di belakangku, kamu berbohong. Sepertinya, kamu hanya ingin menarik perhatian Mas Ilyas. Seperti yang kamu lakukan tadi pagi. Bela-belain masak nasi goreng buat sarapan Mas Ilyas. Padahal, kamu sendiri tidak pernah memasak untuk suamimu." Aku menatapnya dengan tatapan tajam, aku sudah benar-benar muak padanya. "Sandra, apa-apaan sih? Aku ini sahabatmu loh. Mana mungkin aku ingin menarik perhatiannya Mas Ilyas, yang jelas-jelas adalah suami dari sahabatku sendiri." Nia berkilah untuk menutupi kebohongannya. Padahal, aku sudah mengetahui semuanya. "Jika aku ingin mencari lelaki lain, maka aku akan mencari yang lebih tampan dan tajir tentunya. Yang pasti, bukan lelaki yang sudah memiliki istri. Kamu sudah benar-benar kelewatan, Sandra. Aku tidak suka dengan tuduhannya itu. Jika kamu tidak suka aku tinggal di rumahmu ini, bilang saja terus terang. Dengan senang hati, aku akan pergi dari sini." Nia kemudian berlari dan masuk ke kamarnya sambil membanting pintu dengan keras, sehingga menimbulkan bunyi yang memekikkan telinga. Tak lama kemudian, ia keluar lagi dari kamarnya sambil berlinang air mata. "Sandra, kamu sudah sembarangan menuduhku. Aku akan keluar dari rumah ini, dan mulai sekarang, kita bukan lagi sahabat. Camkan itu!" Aku hanya diam sambil tersenyum sinis padanya. Semoga apa yang ia katakan benar adanya. Semoga ia secepatnya meninggalkan rumahku. Aku juga tidak butuh sahabat yang ternyata menginginkan suamiku. Lebih baik nggak usah punya sahabat, dari pada harus bersahabat dengan orang munafik yang ternyata ingin menusuk dari belakang. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN