Bagian 4
Bismillahirrahmanirrahim. Aku segera melangkah dengan yakin. Apapun yang akan terjadi setelah ini, aku tidak peduli.
"Tunggu!" Tiba-tiba seseorang menarik tanganku dan membawaku menjauh dari tempat itu.
Mas Rian, ternyata Mas Rian yang menahanku. Entah apa maksudnya.
Mas Rian memaksaku untuk masuk ke dalam mobilnya, tapi aku berontak.
"Mas, apa-apaan, sih?"
"Sandra, maaf! Mas tidak ada maksud apa-apa. Maaf jika Mas terlalu lancang," ucapnya sambil menangkupkan kedua tangan di depan d**a.
"Tadi itu aku lihat Mas Ilyas sama Nia. Aku ingin melabrak mereka, tapi gagal karena Mas menghalangiku." Aku memperlihatkan raut wajah kesal padanya. Karena Mas Rian, aku gagal melabrak Mas Ilyas dan Nia.
"Jangan gegabah, Sandra. Jangan turuti emosimu." Lagi-lagi Mas Rian mencegahku.
"Bagaimana tidak emosi, aku tidak tahan melihat suamiku bersama dengan wanita lain. Apalagi wanita itu adalah sahabatku sendiri, yang tidak lain adalah istrimu sendiri. Aku cemburu, Mas." Tak terasa, bulir bening mengalir dari kelopak mataku. Pertahanan ku jebol juga.
"Sabar, Sandra. Selama ini, itulah yang aku rasakan."
"Maksud Mas apa?"
"Sebenarnya, Mas sama sekali tidak melakukan apa yang dituduhkan oleh Nia. Mas sangat menyayanginya dan sangat mencintainya," ungkapnya. Jujur, aku bingung, harus percaya atau tidak.
Benarkah yang dikatakan Mas Rian? Jika benar, berarti selama ini, Nia telah membohongiku dan juga Mas Ilyas.
"Sebaiknya, kita ngobrol di tempat lain saja, ya. Biar lebih enak. Mobilmu biarkan saja di sini, kita naik mobil Mas saja."
"Baiklah, Mas!" Aku pun menuruti ajakannya. Benar juga, tidak mungkin kami membicarakan hal serius di tempat terbuka seperti ini.
"Terus, Mas Ilyas sama Nia gimana, Mas? Mereka masih ada di cafe loh!"
"Biarkan saja. Nanti saja kita pikirkan soal mereka."
***
Mas Rian menghentikan mobilnya di sebuah cafe yang tidak terlalu jauh dari tempat yang tadi.
Setelah turun dari dalam mobil, kami langsung mengambil tempat duduk di pojokan agar lebih nyaman.
"Kamu mau pesan apa, San?" Mas Rian memberikan buku menu dan menyuruhku untuk memilih sendiri.
"Aku tidak ingin pesan apa-apa, Mas. Sebaiknya, katakanlah apa yang ingin Mas katakan," desakku yang sudah tidak sabar ingin mendengar penjelasan dari Mas Rian.
"Biar lebih rileks, kita pesan minuman saja ya. Kan nggak mungkin kita datang ke cafe ini kalau hanya untuk numpang duduk doang."
"Terserah kamu saja deh, Mas."
"Oke, Mas pesan minum saja untuk kita. Setelah itu, baru kita membahas soal yang tadi."
Aku hanya mengangguk pelan sambil menatap layar ponselku, siapa tahu Mas Ilyas akan memberitahu padaku sedang apa dan bersama siapa ia saat ini.
Iseng, aku mengirimkan pesan kepada Mas Ilyas.
"Assalamu'alaikum, Mas. Mas sekarang ada dimana? Lagi sibuk ya?"
"Waalaikumsalam, Sayang. Iya, Mas sibuk bangat. Sebentar lagi mau meeting sama klien."
Klien? Nggak salah tuh? Jelas-jelas aku tadi melihatnya sedang berduaan dengan Nia.Dasar pembohong!
Seorang waiters membawa dua gelas kopi cappucino, kemudian meletakkannya di atas meja. "Selamat menikmati," ucapnya sambil tersenyum ramah kepadaku dan juga Mas Rian.
Aku dan Mas Rian juga tersenyum padanya lalu serentak mengucapkan terima kasih.
"Mas, apa lagi yang kamu tunggu? Sekarang, ceritakan lah semuanya." Aku mendesak Mas Rian untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Baiklah, Sandra. Mas akan menceritakan semuanya padamu. Sebenarnya, Mas sudah lama mengetahui jika Nia dan suamimu menjalin hubungan. Mereka berdua telah menjalin hubungan terlarang di belakang kita," ucapnya, membuat jantungku berdegup kencang, rasanya seperti mau copot.
"Maksudmu apa, Mas?" tanyaku penasaran.
"Mas sering membaca chat mesra di ponsel Nia. Nama pengirimnya adalah nama suamimu-Ilyas. Mereka sering curhat antara satu sama lain. Dari situlah awal mula kedekatan mereka.
Mas juga tahu kalau mereka sering ketemuan secara diam-diam di belakang kita. Mas selalu mengikuti Nia. Tapi Nia tidak tahu kalau Mas sudah mengetahui semua tentangnya."
"Terus, kenapa Mas tidak pernah cerita padaku?"
"Awalnya Mas pikir kalau mereka hanya berteman biasa saja. Apalagi, Nia kan sahabatmu, jadi Mas tidak menaruh curiga. Tapi ternyata, semakin lama sikap Nia semakin berubah. Sikap Nia jadi dingin. Ia tidak mau lagi melayaniku. Bahkan ia memilih tidur di kamar tamu jika Mas meminta hak padanya. selama ini, Mas diam saja karena tidak ingin berdebat dengannya. Kamu tahu sendiri kan? Nia itu orangnya keras kepala."
Iya, Nia memang keras kepala, dari dulu sifatnya tidak pernah berubah.
"Tapi Mas wajib mengingatkannya jika Nia salah. Mas kan suaminya? Kenapa malah dibiarkan?"
Jujur saja, aku kecewa mendengar penjelasan Mas Rian yang hanya diam saja meskipun sudah mengetahui kelakuanmu istrinya.
"Sudah, Sandra. Mas sudah mengingatkannya. Tapi Nia tidak mau mendengarkan. Bahkan Nia ngotot minta cerai jika Mas tetap melarangnya bertemu dengan Ilyas. Nia tidak mau lagi bersama Mas karena usaha Mas nyaris bangkrut. Nia bilang, ia tidak mau hidup miskin, makanya Nia mencari lelaki yang lebih kaya dari Mas, Nia menginginkan suamimu."
Astagfirullah … jadi ini alasan Nia meminta pisah dari Mas Rian. Ternyata, Nia lah yang telah bertingkah, bukan Mas Rian.
Nia benar-benar licik. Berarti tujuannya tinggal di rumahku adalah untuk merebut suamiku. Tidak, aku tidak akan tinggal diam dan tidak akan terima begitu saja.
"Mas sangat mencintai Nia, San. Cinta Mas tulus. Tapi apa yang Mas dapatkan? Nia malah lebih mencintai lelaki lain dibanding suaminya sendiri." Terlihat kesedihan di wajah Mas Rian saat menceritakan semuanya padaku.
"Mas capek, lelah, dan hampir menyerah. Jika saja Mas tidak memikirkanmu, mungkin Mas akan mengabulkan permintaannya untuk berpisah dengan Mas. Tapi, Mas masih memikirkanmu. Mas takut jika kami telah resmi berpisah, Nia akan merebut Ilyas darimu dan menghancurkan rumah tanggamu. Mas tidak tega melihatmu merasakan apa yang mas rasakan. Cukup Mas saja yang merasakan sakitnya dikhianati, semoga kamu tidak akan pernah mengalaminya.'" Mas Rian lalu meminum kopi yang tinggal setengahnya hingga tandas.
Ternyata, Mas Ilyas juga membohongiku. Ia mempunyai hubungan spesial dengan Nia. Bodohnya aku tidak mengetahui semua ini. Selama ini, semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang mencurigakan darinya.
"Lantas, sekarang apa yang harus aku lakukan, Mas?" tanyaku khawatir.
"Sebaiknya, jangan biarkan Nia tinggal di rumahmu. Jangan berikan kesempatan kepada mereka untuk berduaan. Pepet terus suamimu, jangan berikan celah untuk Nia, agar ia tidak bisa mendekati Ilyas. Semoga dengan begitu, Nia sadar dan kembali lagi padaku."
Mas Rian memang baik, ia sangat menyayangi Nia meskipun Nia telah mengkhianatinya. Sayangnya, Nia tidak peduli dengan semua itu. Ia sama sekali tidak memikirkan perasaan suaminya dan juga perasaanku, sahabatnya sendiri. Mata hatinya telah tertutup, sehingga ia rela melakukan berbagai macam cara agar keinginannya terwujud.
"Sandra, sebelum hubungan mereka semakin jauh, Mas minta, bertindaklah. Jangan biarkan keluarga kecilmu hancur karena ulah sahabatmu sendiri."
Mas Rian benar, aku harus mempertahankan rumah tanggaku. Nia tidak boleh berlama-lama tinggal di rumahku.
"Baiklah, Mas. Aku tahu, apa yang harus kulakukan. Sepertinya, pembicaraan kita sudah cukup. Tolong antar aku tempat yang tadi," pintaku padanya.
"Oke, jika ada hal yang mencurigakan atau jika kamu butuh bantuan, kabari Mas ya."
"Baik, Mas," ucapku sambil menganggukkan kepala.
Setelan Mas Rian membayar minuman di kasir, kami berdua pun meninggalkan cafe.
Sebenarnya, masih banyak yang ingin kutanyakan pada Mas Rian tentang Nia, tapi aku takut Mas Ilyas marah jika ia mengetahui bahwa aku bertemu dengan lelaki lain. Aku takut Mas Ilyas salah paham nantinya.
Sekarang, aku harus memikirkan bagaimana caranya supaya Nia pergi dari rumahku. Aku tidak mungkin mengusirnya terang-terangan, Mas Ilyas pasti tidak akan setuju.
Baiklah, akan kubuat Nia merasa tidak betah tinggal di rumahku, dengan begitu, ia pasti akan memilih pergi tanpa perlu diusir! Lihat saja, apa yang akan kulakukan padamu, Nia.
Bersambung