Suara gelas pecah membuat Elena berhenti, jantungnya bergetar lebih hebat dari sebelumnya. Ia membalikkan badan, melihat laki-laki itu dengan kebencian yang menguap dari wajahnya menatapnya seperti mengirim Elena ke delapan tahun yang lalu. Ia tak sanggup berjalan, kakinya bergetar, tatapan laki-laki itu seperti batu yang menekannya, tidak memperbolehkan dirinya pergi. Elena menggigit bibirnya hingga ia merasakan darah mengalir ke tenggorokannya. Seperti sebuah boneka kayu yang sering ia mainkan sewaktu kecil, perempuan itu mengeraskan wajahnya, membalikkan badan, lalu berjalan perlahan dengan tubuh yang sudah mati rasa.
Langkah kakinya semakin samar oleh orang-orang yang berteriak keras dengan mengangkat minuman meraka, memberi selamat pada pemilik perusahaan yang kini sedang tersenyum lebar di hadapan para pegawainya. Seperti tidak menyadari bagaimana Elena saat ini tengah mengais pertolongan karena kehadiran laki-laki itu yang membuat da-danya sesak. Elena membelah kerumunan itu dengan pandangan kosong.
Ruangan pesta itu semakin menghilang dari pandangannya. Kini ia berjalan di sebuah dimensi hitam yang tidak berbentuk lagi. Semua suara bercampur aduk di telinganya. Semua orang menjadi butiran warna yang pekat di matanya. Semua hilang. Elena hanya dapat mendengar suara napasnya yang terasa menyedihkan.
Laki-laki itu menemukannya.
Kaki Elena melangkah semakin cepat. Takut seseorang akan mengejarkan dan meminta pertanggungjawaban darinya dengan meminta hidupnya lagi. Semakin dirinya menjauh, tubuhnya semakin merasakan dinginnya malam yang menerpa kulitnya dengan tajam. Tangannya mencengkram erat tas tangannya di da-da. Suara gemuruh di hatinya menandakan bahwa sebentar lagi pertahanannya akan runtuh. Sekuat apapun ia mengingkari kenyataan itu, tetap saja laki-laki pernah menjadi duri hitam di hidupnya.
"Elena!"
Suara di belakangnya tak benar-benar Elena tangkap. Otak Elena hanya menampilkan bagaimana mata hitam kecoklatan laki-laki itu menghisap kekuatannya dan membuatnya lemas. Ia hanya mengingat bagaimana laki-laki itu berdiri di sana, dengan bibir merahnya yang terkatup rapat dan rahangnya yang sekeras pahatan batu. Elena hanya mengulang mimpi buruk itu, mengingat setiap peristiwa yang membuat hidupnya berantakan. Kematian seseorang yang selalu akan menjadi kesalahannya.
"Elena! Berhenti!"
Aku minta maaf. Maafkan aku. Semua ini salahku.
Elena menurunkan kakinya di jalan raya yang penuh dengan kendaraan yang bergerak samar.
Jangan membalasku seperti ini. Aku sudah minta maaf berulang kali.
"Elena!"
Maafkan aku. Maafkan aku.
Kepala Elena terasa pecah. Perempuan itu semakin mempercepat langkahnya. Menuruni jalan raya dengan sepatu hak tinggi yang seperti mengikat kakinya untuk berlari menjauh. Lampu-lampu dari kendaraan di sekitarnya adalah satu-satunya penerangan untuknya.
"HEI, APA YANG KAU LAKUKAN?"
Sebuah cengkraman yang kuat menarik Elena dari lampu-lampu kematian di depannya. Kehangatan mulai mengalir ke tangannya yang dingin. Lelaki itu memeluk Elena dengan erat, seperti membiarkannya menikmati debaran jantung lelaki itu dengan rapat. Tangannya yang besar mengusap punggungnya yang kaku, tubuhnya seperti diam tak bergerak di pelukan laki-laki itu. Kaku dan dingin.
Laki-laki itu melepaskan pelukannya. "Elena ..."
Bukan seperti itu.
Elena tak pantas menerima tatapan seperti yang lelaki di depannya ini berikan padanya. Wajah perempuan itu semakin mengeras, ia mengatupkan rahangnya semakin kuat, dan pandangannya semakin kosong. Kuku-kuku jarinya menancap telapak tangannya dalam. Ia hanya tidak ingin setetes air mata berhasil jatuh, karena jika itu terjadi, ia akan kembali saat pertama kali dirinya jatuh dalam lingkaran ini. Dimana dirinya hanya mampu menangis sendiri tanpa ada cara untuk berhenti menyakiti dirinya. Ia tidak mau kembali pada jurang yang penuh kegelapan dan rasa bersalah yang bercampur aduk di dalamnya. Dan satu-satunya cara adalah seperti ini, mengeraskan semua organ tubuhnya. Terutama apa yang ada di dalam hatinya.
Ia bisa bertahan selama ini dengan cara itu.
Dan kini melakukannya hanya semudah memakai topeng dari kulitnya sendiri. Topeng yang sudah mengakar di wajahnya tidak akan menghilang begitu saja meskipun kadang pikirannya lebih suka mengkhianatinya.
"Aku hanya ingin pergi. Itu saja." Elena menarik bibirnya sesuai garis yang sudah ia hafal selama ini. "Kau tahu? Di dalam sana terasa sesak. Aku ingin mencari udara segar. Kamu harus mencobanya, Nat. Merasakan mobil bergerak cepat di depanmu akan membuat perasaanmu lebih baik."
Natha menatap tajam Elena. "Aku tidak pernah mendengar hal konyol seperti itu."
Elena melanjutkan jalannya menelusuri jalur pejalan kaki dengan langkah tenang.
Benar. Semudah itu. Dan seperti sihir hitam yang sering ia percayai, semua akan kembali baik-baik saja.
"Maka dari itu aku memberitahumu, Pak Natha." Elena berbalik dan mendapati laki-laki itu masih mengikutinya. "Kamu orang pertama yang aku beritahu. Berbahagialah kau, Nat."
Natha menarik lengan Elena lalu menatap tajam perempuan di depannya. "Jangan bercanda. Apa yang sebenarnya kau lakukan di jalan tadi? Aku takut mengatakan ini, tapi, apa aku benar? Kau mencoba bunuh diri?"
Elena tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Kadang, tidak perlu menjadi gila untuk bisa tertawa di saat seperti ini. Paling tidak, Elena tahu itu.
"Aku tidak sebodoh itu, Nat. Aku tidak sepengecut itu untuk menyerah pada hidup, setidaknya itulah yang aku pikirkan saat ini," ucap Elena dengan raut serius. Lalu tiba-tiba perempuan itu tersenyum kecil pada Natha. "Aku hanya bercanda, Nat. Jangan terlalu serius seperti itu."
"Aku hanya berharap apa yang kau katakan benar adanya."
"Ya, jika kau pikir begitu."
"Apa yang terjadi padamu sebenarnya, Elena?" Elena menghentikan langkahnya, beberapa detik kemudian ia tersadar lalu berjalan kembali. "Elena, kamu mau kemana?"
"Aku ingin pulang."
Laki-laki itu menarik tangan Elena. "Ayo, aku antar! Jangan membuatku menjadi lelaki jahat dengan membiarkanmu berjalan malam-malam sendiri dengan pakaian seperti ini."
Elena hanya mengikuti laki-laki itu tanpa perlawanan menuju parkiran hotel.
"Kamu datang denganku, pulang juga denganku, Elena."
***
"Nat, turun!"
Laki-laki itu menoleh padanya, memberi Elena tatapan kebingungan.
"Apa?"
"Aku ingin ke kelab."
Natha kembali fokus ke kemudinya, raut wajahnya terlihat tidak setuju. Elena menghembuskan napasnya pelan. Ia tahu Natha bukan tipe laki-laki yang suka datang ke tempat laknat seperti itu. Dari cerita Ayumi, Natha terlahir di keluaga yang konservatif. Kedua orang tuanya seorang yang taat dan beriman. Natha pun tak jauh dari gambaran itu.
"Kamu tidak perlu menemaniku. Aku bisa ke sana sendiri."
"Tidak."
Elena sedikit meninggikan suaranya ketika Natha semakin mempercepat mobil. "Nat, aku bilang berhenti."
"Aku tidak akan membiarkanmu ke tempat itu dengan pikiranmu yang sedang kacau ini, Elena. Aku tidak suka kamu datang ke tempat seperti itu."
Perempuan itu tertawa sarkas. "Sepertinya kamu sudah melewati batas, Nat. Kamu bukan siapa-siapa. Kamu tidak berhak melarang apapun terhadap hidupku," kata Elena.
Elena sengaja membuat laki-laki itu sakit hati dan menyadari tempatnya. Elena tidak akan mengulangi kesalahan untuk ke dua kalinya dengan membiarkan seorang laki-laki baik seperti Natha memasuki hidupnya. "Asal kamu tahu, aku bisa pergi sendiri setelah kamu mengantarkanku pulang. Jadi lebih baik, untuk menghemat bensin, turunkan aku di sini, Natha."
Dengan wajah menahan amarah, Natha membalikkan mobilnya lalu masuk ke sebuah kelab malam yang cukup ramai yang ia lewati tadi. Ia memarkirkan mobilnya dengan mudah di tengah mobil-mobil mewah lainnya. Laki-laki itu mengikuti Elena turun dan berjalan masuk ke dalam klub. Dua orang berbadan besar menatapnya tajam di depan pintu masuk, Elena melewatinya dengan santai, perempuan itu seperti menunjuk Natha dengan jari telunjuknya kepada dua orang berbadan besar itu. Setelah mereka melakukan transaksi yang Natha tidak pahami, laki-laki itu melewati mereka dengan kikuk.
"Elena!"
Perempuan itu tetap melangkah dengan percaya diri menembus beberapa orang dengan pakaian yang tidak pantas. Suara musik yang keras membuat Natha tidak nyaman. Namun Elena tetap melangkahkan kakinya tenang namun cepat, sampai akhirnya perempuan itu berhenti di sebuah meja panjang di ujung ruangan. Natha beberapa kali mengelus da-danya, beberapa perempuan dengan berani menatapnya dengan pandangan menggoda. Namun, laki-laki itu hanya memasang wajah kaku.
Ini pertama kalinya Natha masuk ke kelab malam. Dan ia cukup takjub dengan barisan minuman yang ada di kelab itu.
"Kau mau minum apa?" tanya Elena dengan alis terangkat. Tampaknya perempuan itu sudah terbiasa dengan tempat ini. Tangannya memegang segelas minuman bewarna merah kehitaman lalu meminumnya sampai tandas.
"Aku tidak minum."
Perempuan itu menertawakannya dengan cara yang paling menakjubkan yang pernah Natha lihat. Mata indahnya melengkung seperti bulan sabit yang bercahaya, bibirnya yang tebal menipis dan Natha baru sadar perempuan itu memiliki sedikit lesung di pipi kanannya. Betapa perempuan itu bisa membuatnya terpesona seperti ini. Dari dulu, tanpa pernah berkurang sedikitpun.
"Lalu kenapa kamu datang ke sini, Nat? Lebih baik kamu pergi dan tidur. Ini sudah pukul sebelas malam."
Perempuan itu tertawa lagi. Natha cukup tahu Elena sedang mengejeknya. Namun ia tidak akan mempermasalahkan itu. Ia hanya ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk mengenal perempuan itu lebih jauh.
Elena berdiri. Ia berjalan jauh ke meja di sudut ruangan lalu mengambil segelas minuman yang terpajang di meja itu. Perempuan itu membuka segelnya dengan mudah, lalu meminumnya tanpa menunjukkan ekpresi apapun. Orang-orang akan berpikir ia sedang meminum sebotol air kemasan dengan wajahnya itu.
Elena sedikit tersenyum ketika melihat Natha masih duduk dengan canggung di kursinya. Rupanya laki-laki itu benar-benar tidak meminum apapun. Elena tahu seharusnya ia menjauh dari Natha, menghilang di antara orang-orang yang meliukkan badan terbuka mereka di lantai atas, membiarkan laki-laki itu menunggunya hingga bosan lalu pergi meninggalkannya. Namun, melihat Natha yang menghindari tatapan para wanita lapar di sekitarnya, membuat Elena tidak tega untuk meninggalkan laki-laki itu.
"Kau benar-benar tidak minum apapun."
Natha menoleh. Matanya berbinar mendapati Elena berdiri di hadapannya, "Aku sudah bilang tadi."
Elena menggeser kursinya ke hadapan Natha. "Kamu harus mencoba wiski sebelum kamu mati, Nat," canda Elena. Sedangkan laki-laki itu hanya mendengus kesal.
"El, kamu sering datang ke tempat seperti ini?"
"Seperti apa? Tidak ada yang salah dengan tempat ini," goda Elena. Perempuan itu meminum wiski-nya lagi.
"Aku tidak menyangka kamu sering datang ke klub seperti ini. Aku tahu Ayumi sering datang ke tempat seperti ini, aku tahu kehidupan malamnya yang tidak sehat dan berbahaya, maksudku - Ayumi sering mengenalkan kekasih-kekasihnya padaku. Tapi ... aku tidak pernah melihatmu pergi dengannya. Ayumi juga bilang kamu tidak main ke tempat seperti ini."
"Lalu kenapa kalau aku begini?"
"Aku hanya- aku hanya bingung seperti apa dirimu yang sebenarnya, El. Aku sering melihatmu sebagai seorang perempuan yang mandiri dan kuat, aku tahu kamu mendapat beasiswa waktu kuliah, kamu pekerja keras. Kamu juga sering terlihat bersinar dan hangat dengan senyum singkatmu ketika di kantor. Tetapi, kamu juga sesekali terlihat dingin ketika hanya melewatiku dengan pandangan tajam tanpa menyapaku. Itu bukan hanya terjadi sekali-dua kali, kamu melakukan itu berulang kali. Lalu baru-baru ini, kamu memperlihatkan sisi yang membuatku berpikir ulang, kamu terlihat rapuh dan ... kosong. Beberapa jam yang lalu kamu membuktikan itu. Pandangan kosong itu, aku tidak begitu menyukainya,
"Dan sekarang, kamu membuatku bingung dengan dirimu yang baru. Kamu terlihat bebas dan- sedikit menggoda. Aku tak tahu sisi apalagi yang akan kau perlihatkan padaku."
Suara di lantai atas semakin keras, orang-orang berteriak dengan iringan musik yang membuat telinga Elena berdentum hebat. Lampu-lampu menyala dengan tajam ke seluruh ruangan. Elena bangkit dari duduknya, menarik tangan Natha yang masih kaku dan membawanya menaiki tangga ke atas.
Elena menembus orang-orang itu sehingga mereka berada di tengah ruangan. Elena mulai meliukkan badannya, meletakkan tangannya di bahu Natha yang masih diam tak berkutik. Tangannya yang satu masih memegang botol minumannya sambil sesekali meneguknya. Beberapa orang menabrak tubuh perempuan itu namun Elena tidak terusik sedikitpun.
"Aku sudah lama tidak melakukan ini."
Natha semakin menegang ketika perempuan itu mengalungkan tangannya di lehernya. Membuat wajah cantiknya semakin dekat dengan tubuhnya. Matanya tidak bisa berpaling dari bibir Elena yang merah dan penuh, sedikit basah karena minuman yang baru diteguknya tadi.
Elena tersenyum lebar, musik semakin keras dan perempuan itu semakin bersemangat. "Aku merindukan ini. Kau tahu, Nat? Di sini, aku bisa melupakan segalanya. Aku bisa melupakan kejadian sial-an itu." Elena menggelengkan kepalanya cepat. Ia melepaskan tangannya dari leher Natha. "Tidak, Nat. Aku tidak mabuk. Minuman ini tidak cukup untuk membuatku mabuk. Kamu harus mencobanya! Minuman ini benar-benar payah."
Elena tahu sekarang ia tertawa seperti orang gila, tapi ia tidak peduli. Natha menatapnya tajam, laki-laki itu menarik tangannya menjauhi kerumunan itu menuruni tangga. Elena meronta-ronta agar Natha melepaskannya namun laki-laki itu tetap berjalan lurus melalui orang-orang berseragam hitam yang berdiri tegak di lorong putih yang panjang. Elena mengumpat ketika tidak sengaja dirinya menjatuhkan botolnya yang masih berisi banyak. Padahal, minuman itu seharga biaya sewa apartemennya bulan ini.
"Lepaskan aku! Natha!"
Laki-laki itu membuka pintu mobilnya lalu mendorong Elena kasar memasukinya. Matanya yang gelap menatap Elena dengan serius.
"Kenapa?" tanya Elena marah.
Elena memundurkan tubuhnya ketika Natha membuka pintu mobil semakin lebar dan mendekatkan tubuhnya. Tangannya memegang wajah Elena, mencegah wanita itu bergerak menjauh. Elena merasakan benda kenyal menyentuh ujung bibirnya. Ia membelalakkan matanya ketika mengetahui Natha sedang menciumnya.
Laki-laki itu melumat bibir Elena yang masih tertutup rapat cukup lama. Ia menggigit bibir bawahnya hingga Elena tanpa sadar membuka bibirnya dan membiarkan milik laki-laki itu memasuki mulutnya. Elena memukul da-da bidang Natha ketika laki-laki itu semakin mendorongnya hingga kepala Elena terbentur kursi di sebelahnya. Laki-laki itu menciumnya cukup kasar meskipun Elena tahu Natha bukan pencium yang hebat. Lidahnya masih terasa canggung namun ia dapat merasakan betapa laki-laki itu menginginkannya.
"Natha, cukup!" Laki-laki itu melepaskan ciumannya setelah beberapa kali Elena mendorong tubuhnya menjauh. Ia melihat mata Natha yang gelap dan kalut, napasnya terengah-engah tidak jauh berbeda dengan dirinya saat ini. Elena menegakkan tubuhnya dan merapikan bagian bawah gaunnya yang telah tersingkap karena ulah laki-laki itu.
"Maafkan aku," ucap Natha lirih.
Apa arti ciuman tadi? Ia yakin Natha bukan seorang laki-laki yang berani menciumnya paksa seperti tadi. Elena terdiam cukup lama hingga Natha duduk di samping. Laki-laki itu memasangkan sabuk pengaman Elena dalam diam. Rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan. Ketika melihat tatapan mata laki-laki itu, Elena tahu ia harus menyelamatkan Natha secepatnya.
"Jangan menyukaiku, Nat."
"Sudah terlambat, El. Seharusnya kamu mengatakan itu dari dulu. Sekarang sudah terlambat. Aku sudah kehilangan kendali atas perasaanku."
Elena menatap kosong kaca mobil di depannya. Seperti langit gelap yang selalu mengikutinya, kini Elena kembali merasakan kekosongan di dalam hatinya. Ia sudah membunuh perasaan orang yang berarti di hidupnya selama ini dengan kejam. Dia tidak ingin hal itu kembali terjadi.
"Kalau begitu, aku yang akan menjauh."