Regan menatap suntuk orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya seperti segerombolan semut yang kelaparan. Beberapa perempuan berpakaian tidak layak, menonjolkan payu-dara dan paha mereka dengan berani dan percaya diri dengan dalih kesempurnaan. Sesosok perempuan bergaun merah di depan, beberapa kali meliriknya dengan tatapan menggoda, lalu menyembunyikan dirinya lagi di perempuan-perempuan lain di lingkarannya. Tarik ulur cerdik yang membuat Regan ingin segera menariknya dan memberitahu bahwa ia memilih lawan yang salah.
Pesta ulang tahun perusahaan ini tak ada bedanya dengan klub malam berkelas yang sering ia datangi. Kecuali kenyataan bahwa di depannya, berdiri seorang pria tua dengan beberapa pria berseragam hitam berwajah mengerikan yang dengan sigap berada di belakangnya seperti siap melindungi sang raja hutan.
Sampanye berusia lima puluh tahun ditangannya terasa tidak menarik lagi. Ia menyesapnya sekali, lalu melayani tatapan pria tua yang sedang marah di depannya itu dengan senyum kecil. Kulitnya yang berkeriput jelas tidak bisa ditutupi meskipun rambutnya masih sehitam arang sekalipun. Kadang, Regan ragu apakah pria di depannya ini menghirup udara yang sama dengan manusia lainnya atau tidak.
Regan berdiri, lalu menundukkan tubuhnya di hadapan pria tua itu. "Selamat datang, Tuan Basupati."
Sebuah tamparan mendarat di wajahnya tidak lebih satu detik setelah ia mengucapkan salamnya tersebut. Regan mengusap pipinya dengan halus. Cukup keras untuk ukuran pria tua. Setidaknya pria itu tidak kehilangan kekuatan di tengah usianya yang tidak muda lagi.
"Ini balasan untuk apa yang kau lakukan. Jangan berulah lagi atau aku akan melakukan hal yang lebih kejam dari ini."
"Tidak ada yang lebih kejam dari mengirimku pergi dan terkucilkan dari keluargaku sendiri, Kakek. Asal kau tahu, aku lebih suka kau mengirimku ke New York daripada Osaka."
Regan kembali duduk di kursinya. Membiarkan pria tua di depannya menahan amarahnya. Perempuan bergaun merah di hadapannya sudah menghilang, padahal Regan ingin bermain sebentar dengan perempuan berambut panjang itu.
"Temui Sabrina. Dia perempuan bodoh karena mau dijodohkan dengan laki-laki tidak tahu diri sepertimu. Jangan mempermalukan keluarga kita untuk kedua kalinya, Regan."
Untunglah aku masih dianggap keluarganya. Batin Regan.
Pria tua itu pergi dengan gerombolan orang-orang berseragam hitam di belakangnya. Regan menghembuskan napasnya kasar. Tangannya meraih gelas sampanyenya lagi lalu meneguknya sampai habis. Ia mencengkram erat gelasnya ketika melihat pria tua itu menyapa beberapa bawahan dan rekan bisnisnya dengan senyum hangat. Berbeda dengan apa yang ia tampilkan di hadapan keluarganya sendiri.
"Regan!"
Regan berdiri, dengan tangan terbuka menghampiri wanita paruh baya yang kini sedang menatapnya berbinar-binar. Rambutnya yang sudah memutih di sanggul rapi ke belakang. Gaun hitam yang dipakainya sangat kontras dengan kulit keriputnya yang putih. Sudah lama Regan tidak bertemu dengan ibunya. Terakhir, ibunya mengunjunginya di New York lima bulan yang lalu.
"Apa kabar, Sayang?" Regan mengusap punggung ibunya yang kasar karena gaun brokat yang ia pakai. "Kapan kau datang? Kenapa tidak memberitahu ibu?"
"Aku sudah datang dua hari yang lalu. Maaf karena tidak menghubungi ibu sebelumnya," balas Regan ketika wanita di depannya melepaskan pelukannya.
Masih memegang tangan anaknya, Belina berkata, "Kau tinggal dimana? Kenapa tidak pulang ke rumah, Regan? Kamu tidak tahu kalau ibu merindukanmu?"
"Aku masih ada urusan, Bu."
Wanita itu memeluk anaknya lagi. "Urusan apa yang lebih penting dari keluarga, Nak? Apa kau sudah bertemu kakekmu ?"
Regan mengangguk singkat sebagai jawaban.
"Jangan terlalu memikirkan apa yang dikatakannya," ucap wanita itu ketika melihat wajah Regan berubah kaku. "Kakekmu memang keras, Reg. Tapi ibu cukup tahu bagaimana pria tua itu begitu menyayangi keluarganya. Kalau tidak, kamu pikir kenapa ibu bertahan di samping kakekmu selama ini? Dia hanya ingin kamu menjadi pria yang kuat, tegas, dan tidak direndahkan orang lain. Dia hanya ingin melindungi istana kecilnya, Regan."
Tidak. Regan sangat tahu kakeknya bukan hanya ingin melindungi keluarganya. Pria itu hanya peduli dengan perusahaaannya. Ia hanya peduli dengan uang dan kekuasaan. Tidak ada yang lebih penting daripada menyembunyikan cucunya yang berulah agar tidak diketahui oleh rekan bisnisnya dan membuat reputasinya hancur. Tidak ada yang lebih penting daripada citra perusahaan.
"Ayo! Ibu akan kenalkan kepada anak-anak teman ibu. Ibu ingin menimang cucu, Regan. Cucu perempuan yang lucu-lucu. Kau harus cepat menikah." Belina menarik tangan Regan keluar dari ruangan itu menuju kerumunan yang ramai di pinggir kolam renang yang besar. Regan hanya tersenyum simpul pada beberapa perempuan yang dikenalkan ibunya padanya. "Kau tidak sedang menjalin hubungan dengan perempuan di luar negeri, bukan? Sebenarnya, ibu lebih suka kau dengan perempuan lokal. Mereka punya sopan santun yang baik. Ibu suka."
Regan melepaskan pegangan ibunya dengan halus. "Ibu, aku harus bertemu temanku dulu. Nanti aku akan menemui ibu lagi."
Setelah mencium singkat kedua pipi ibunya, Regan meninggalkan wanita itu menuju meja minuman di tengah ruangan. Ia meraih segelas wine yang baru dihidangkan oleh pelayan di sampingnya. Seorang perempuan berambut pirang mendekatinya dengan senyum lebar, menampakkan gigi-giginya yang putih. Gaun bewarna hitam itu membungkus tubuhnya dengan ketat, tidak membiarkan sedikit pun lekuk tubuhnya tersembunyi. Cincin berlian menghiasi jemari tangannya, berkilau di tengah cahaya lampu yang temaram di ruangan terbuka itu. Regan baru saja melangkahkan kakinya pergi ketika perempuan itu dengan berani mengaitkan tangannya di lengan Regan dengan erat.
"Regan, mau kemana?" tanya perempuan itu dengan lirih tepat di telingannya. "Kamu tidak akan bisa melarikan diri dariku lagi, Reg. Sebentar lagi kita akan bertunangan. Kau akan menjadi milikku."
"Jangan bermimpi, Bri."
Sabrina tertawa pelan. Perempuan itu semakin menempelkan tubuhnya yang terbuka di lengan Regan. "Kakek Tane pasti sudah memberitahumu, kan? Kita dijodohkan, Reg. Aku sudah menyutujuinya kemarin. Itu artinya mereka akan segera menentukan tanggal pernikahan kita karena aku tahu kau tidak bisa menolak perintah kakekmu. Bukan begitu?"
Regan menatap tajam perempuan di depannya. "Jangan meremehkanku. Aku tidak akan menikahi wanita manja sepertimu," ucapnya tegas sambil melepaskan tangannya dari perempuan itu.
"Regan!" Sabrina menghentakkan kakinya kesal. Matanya berkaca-kaca. "Ayahku tidak akan tinggal diam jika mendengar ini. Kau tahu apa yang terjadi jika aku mengadukan ini pada ayahku? Kamu akan dikirim pergi lagi dari kota ini. Kamu tidak bisa melawan keluargamu, Reg. Aku tahu itu melebihi siapapun. Dan aku akan membuat semua yang kamu takuti terwujud. Aku tidak akan melepasmu."
Regan menyesap wine-nya lalu berkata, "Aku tidak peduli."
Laki-laki itu meninggalkan Sabrina yang berdecak kesal karena ucapannya. Ia berjalan mengelilingi kolam renang hingga sampai di pojok ruangan, duduk di kursi kecil dengan segelas wine yang tinggal separuh. Matanya sibuk mencari orang yang membuatnya hadir di acara ini. Tanpa sengaja, Regan melihat kakeknya memotong kue besar di tengah ruangan dengan beberapa pekerjanya. Senyumnya melebar ketika beberapa orang memberinya selamat. Regan tidak mengerti kenapa ulang tahun perusahaan dirayakan semewah ini sedangkan ulang tahun cucunya saja pria itu mungkin tidak ingat. Ia tidak ingin merasa terganggu dengan ini, tapi kadang mengingat itu membuatnya kesal kepada pria itu.
Regan memutar kepalanya, ia tidak mau melihat betapa kakeknya itu terlihat memuakkan di sana. Matanya seketika melihat perempuan bergaun merah yang dilihatnya tadi. Perempuan itu berjalan dengan anggun mendekatinya. Seperti tahu bahwa Regan menantinya sejak tadi. Tubuh perempuan itu tidak begitu tinggi, tidak seramping model-model di luar yang sering ia temui. Wajahnya cukup manis dengan hidung mungil dan bibir merah yang penuh. Tipe perempuan yang sering ia sewa di klub malam. Perempuan agresif yang tahu bagaimana memenangkan hati pria dengan kelicikannya. Regan lebih menyukainya daripada tipe perempuan manja seperti Sabrina.
"Hai!" Perempuan itu berdiri di hadapannya dengan gerakan luwes. "Kau pasti Regan. Aku tahu siapa dirimu."
Setelah menghabiskan gelas keduanya malam ini, Regan berdiri di hadapan perempuan itu. "Bolehkah aku?" Tanya Regan sambil mengangkat tangannya, meminta ijin untuk menyentuh wajah perempuan itu meskipun ia sudah tahu jawabannya.
"Tentu saja."
Regan mengusap tangannya di wajah perempuan itu. Tangan Regan berpindah di lehernya yang jenjang, lalu menarik kepala perempuan itu mendekatinya. Regan melumat bibirnya dengan lahap, mencoba menemukan kenikmatan yang sering ia dapatkan dari perempuan sepertinya. Ia menekan tubuh kecilnya di dinding dekat meja makan, mengurung perempuan itu dalam dekapannya dan semakin memperdalam ciumannya.
Tidak puas hanya di bibir, Regan mengalihkan ciumannya di lehernya yang jenjang. Menggigitnya kecil yang membuat perempuan itu mendesah pelan tepat di telinganya. Perempuan itu telah berhasil membuka tiga kancing teratas kemeja Regan dan dengan berani memasukkan tangan kecilnya ke dalam kemejanya. Tangannya mengusap lembut da-da Regan sampai ke tengah perutnya. Regan semakin panas, ia meremas payu-dara perempuan itu dengan kedua tangannya. Membuatnya mendesah tak karuan.
"Regan ..."
Regan melepaskan ciumannya, mempersilakan perempuan itu bernapas dengan rakus sebelum menghabisinya lagi. Dengan tergesa-gesa, Regan menarik tangan perempuan itu menuju tengah kerumunan, berniat membawanya ke kamar hotel tempatnya menginap dua hari ini.
Mata gelap Regan menatap sengit semua orang yang menghalangi jalannya. Tiba-tiba, wajah Regan mengeras. Ia berhenti melangkah. Ia melepas tangan perempuan di sampingnya.
"Ada apa, Reg?"
Regan mematung. Tanpa menatap perempuan di sampingnya, ia berkata, "Pergilah!"
Regan tidak peduli apakah perempuan itu telah pergi meninggalkannya atau masih berdiri di sampingnya. Matanya hanya menangkap seorang perempuan lain yang kini tengah tersenyum lebar tepat sekitar sepuluh meter di depannya. Perempuan itu tengah mengobrol dengan beberapa orang di depannya, empat orang membentuk lingkaran kecil dengan wajah perempuan itu yang menghadapnya. Sesekali tertawa dan berbicara dengan santai. Tangan kirinya membawa gelas minuman sedangkan tangan kanannya beberapa kali menyisir rambutnya ke belakang. Ia tertawa lebar bersama teman-temannya ketika salah satu di antara mereka menceritakan sesuatu dengan semangat.
Tidak ada yang salah dengan kumpulan orang itu, semua orang membuat kerumunannya sendiri di pesta besar ini. Tapi, melihat perempuan itu berdiri di sana seperti tertawa gembira membuat da-da Regan sesak karena amarah.
Matanya menatap perempuan itu ragu. Perempuan itu berbeda dengan yang terakhir ia lihat. Wajah polosnya menjadi wajah perempuan dewasa dengan bibir merah yang menggoda. Rambutnya panjang dan badannya lebih berisi daripada dulu. Perempuan itu memakai gaun pendek bewarna charcoal, rambutnya tergerai, sedikit membantunya menutupi bagian depan da-danya yang sedikit terbuka. Regan masih terdiam di tempatnya berdiri, menyadari tangannya mengepal erat melihat perempuan di depannya tertawa lebar.
Keraguan Regan menghilang ketika melihat iris mata perempuan itu bertemu dengan miliknya. Tidak ada yang mengingatkan Regan pada masa lalu selain mata itu dan wajah tegang dengan bibir terkatup rapat yang sedang ditampilkan perempuan itu sekarang. Regan hanya melihatnya datar, tidak membiarkan emosinya meledak sekarang dan membuat semua menjadi sulit di acara keluarganya. Ia melihat perempuan itu melangkah mundur dengan kaku, matanya tetap menatap Regan ketakutan.
Satu-satunya pergerakan yang dapat Regan lihat darinya adalah alis matanya yang sedikit mengerut. Perempuan itu terlihat tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lalu, seperti terakhir kali, wanita itu menghilang dari hadapannya tanpa membiarkannya mengucapkan sepatah kata untuk membuatnya sadar kalau dirinya tidak akan mengampuninya.
Tangan Regan mengepal, ia meraih gelas kaca di sampingnya lalu membantingnya hingga percikan minuman di dalamnya membasahi karpet merah di bawahnya. Beberapa orang melihatnya dengan bingung, tak tahu pasti apa yang membuat cucu pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu marah.
Perasaan itu masih pekat di hatinya, keinginan untuk menghancurkan perempuan itu dengan sepenuhnya. Membalaskan dendam kepada perempuan itu dengan kedua tangannya, membuatnya menderita, dan yang paling membuat perasaannya memuncak adalah keinginan untuk membuat perempuan itu merasakan apa yang ia rasakan dulu.
Regan tidak mengira kepulangannya kali ini mempertemukannya dengan perempuan itu. Jantungnya berdetak kencang, ia yakin bisa merasakan kesenangan lagi dengan membuat perempuan itu menangis di bawah kakinya. Ia tidak sabar untuk bermain kembali dengan perempuan itu.