“Lihat ke bawah ranjang, Ra.”
Aurora bergegas turun ke bawah. Ternyata, ada tanah yang berlubang dan keluar sebuah hewan kecil. Hewan yang biasanya di sebut jangkrik. “Ada jangkriknya, kan, Ra?” tanya Jasmin lagi.
Aurora hanya mengangguk. Ia kembali ke ranjang untuk memejamkan matanya. Akan tetapi, ponselnya berdering memberikan notifikasi dari salah satu aplikasi.
“Ra, save, ya.”
Begitulah isi pesan yang terkirim di ponsel Aurora. Pesan dari nomor yang belum dikenalinya. Aurora melihat profil dari nomor tersebut. Akan tetapi, tidak ada informasi penting yang bisa diambil dari sana. Terpaksa, Aurora harus menjawab pesan itu untuk menanyakan siapa pemilik nomor tersebut.
“Ini gue, Langit.”
Aurora terkejut dengan adanya pesan yang masuk dari Langit. Dari mana Langit bisa mendapatkan nomor ponselnya? Apakah dia seorang pencuri informasi seseorang?
“Ra, ada apa? Tidurlah sudah tengah malam.”
Jasmin menarik selimut berwarna merah muda bergambar kuda poni. Aurora memilih untuk mengikuti jejak mimpi Jasmin. Daripada terkena marah dari nenek Jasmin yang bisa saja secara mendadak masuk ke kamarnya.
Aurora mencoba untuk memejamkan matanya ke sekian kalinya. Akan tetapi, ia belum bisa tidur di dalam rumah yang masih asing baginya. Rumah dengan arsitektur adat Yogyakarta bernama joglo. Rumah dengan menggunakan bahan kayu secara keseluruhan ini masih berlantai tanah asli.
“Ra, ada apa? Kenapa dari tadi tampak gelisah?” tanya Jasmin yang—mungkin—merasa terganggu dengan keadaan Aurora yang tidak bisa menjemput alam mimpinya.
“Enggak bisa tidur, Jas.” Aurora menatap Jasmin yang juga menatapnya dengan intens. Jasmin tersenyum lalu memegang lengan tangan Aurora.
“Ra, pejamkan saja matamu. Ponselmu itu jauhkan dari dirimu. Tidak baik, tidur berdekatan dengan ponsel.”
Keesokan harinya, mereka menjalankan hukuman akibat perbuatannya semalam. Padahal, mereka tidur di rumah nenek dengan tujuan untuk menghindari hukuman tersebut. Namun, ternyata paman dan bibi Ningrum hadir di tengah-tengah mereka pagi ini. Waktu masih menunjukkan pukul lima pagi. Aurora dan Jasmin bergegas untuk membuat bumbu dan mempersiapkan bahan masakan.
Mereka memasak sayur kangkung dan menggoreng tempe dengan bumbu bawang putih campur sedikit garam yang dihaluskan. Dalam waktu kurang dari satu jam, mereka telah menyelesaikan masakannya.
Tepat pukul enam pagi, mereka menikmati menu sarapan yang sangat sederhana tersebut. Suasana sarapan yang membuat Aurora bahagia. Sebab, jarang sekali Aurora bisa makan bersama dengan keluarga yang lengkap seperti saat ini. Walaupun, mereka bukan keluarga asli darinya, Aurora menganggap mereka sebagai kerabatnya sendiri.
Setelah selesai sarapan, Aurora dan Jasmin ikut ke pergi ke daerah Malioboro untuk mencari kebaya. Sebuah pakaian adat yang berasal dari Yogyakarta. Akan tetapi, karena kemajuan teknologi, model kebaya semakin beragam. Mereka mencari kebaya untuk digunakan pada saat hajatan nanti.
“Jasmin, ternyata Malioboro itu seperti ini?” tanyanya.
“Ya, begini. Di sana masih ada loh becak atau delman.”
Jasmin berjalan mengikuti bibi Ningrum yang sedang mencari kebaya. Mereka berkeliling dari toko ke toko yang lainnya. Sampai akhirnya, mereka menemukan kebaya berwarna cokelat moka dengan model kekinian. Mereka sepakat untuk mengambil baju itu. Mereka membeli sebanyak anggota keluarga agar bisa memakai secara seragam.
Setelah selesai membayar, mereka duduk di bangku yang terletak di pinggir jalan. Aurora sejak tadi mengamati tiang -tiang yang berdiri sebagai petunjuk arah untuk pengendara. Terdapat sesuatu yang menarik hati Aurora. Terdapat sebuah tulisan dengan aksara Jawa.
“Jasmin, belajar tulisan seperti itu, sulitkah?” tanya Aurora.
Jasmi tertawa sembari menepuk lengan tangan Aurora. “Gue saja belajar dari kecil kaga bisa. Lu kalau mau belajar, minta ajari saja sama Bibi.”
“Kalian ini. Berbahasa Indonesia saja belum sempurna. Sekarang mau belajar aksara Jawa. Sulit itu, orang Jawa asli saja tidak banyak yang bisa.”
Tiba-tiba terdapat pesan yang masuk ke ponsel Aurora. Lagi-lagi dari nomor yang mengaku sebagai Langit. Kalau memang benar, apa yang diharapkan oleh Langit?
“Ra, gue boleh mampir ke rumah lu gak?”
“Silakan apel sama Mama,” jawab Aurora secara asal melalui pesan yang dibalaskan ke Langit.
“Loh, kok, Mama. Gue kan mau apel sama lu,” balasnya dengan selang waktu hanya dua detik.
Aurora merasa terganggu dengan pesan yang dikirimkan oleh Langit. Aurora mengirimkan foto daerah Malioboro agar Langit berhenti mengirimkan pesan kepadanya. Akan tetapi, Langit tetap tidak paham dengan kode yang diberikan dari Aurora.
“Pulang sekarang, Ra. Masa calon pacar mau datang, malah pergi dan belum pulang,” balas Langit sembari cekikikan di rumahnya.
“Otak lu di mana? Gue lagi di Yogyakarta.”
“Gue pikir lu lagi di Malioboro,” jawabnya dengan ditambahkan stiker ketawa.
“Lu sudah ayan. Memang, lagi di Malioboro Bambang!”
Aurora memilih untuk mematikan ponselnya. Ia merasa risi dengan pesan yang dikirimkan olehnya. Akan tetapi, entah bagaimana bisa Aurora tetap melayani pesan itu. Malahan, jauh lebih cepat membalas pesan Langit daripada kemampuan karyawan onlineshop yang membalas pesan dari customernya.
Beberapa menit kemudian, mereka kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, mereka mencoba kebaya yang sudah dibeli. Walaupun, Aurora bukan keluarga mereka, tetapi tetap ada bagian kebaya untuknya. Aurora terlihat sangat cantik menawan kala memakai kebaya itu. Padahal, wajah putihnya pun belum dirias. Rasanya, Aurora ingin berteriak bahagia karena mendapatkan banyak pengalaman baru ketika singgah di Yogyakarta.
“Ra, mandi yuk.” Jasmin melepas kebaya yang melekat indah di tubuhnya.
Mereka berjalan ke sebuah kamar mandi umum. Sebab, air di rumah bibi Ningrum tidak mengalir. Sedangkan, rumah nenek belum ada kamar mandi. Sehingga, mereka harus berjalan sepanjang dua ratus meter ke arah kanan dari rumah nenek.
“Jas, kalau gue tahu bakal kek gini, gue malas ikut ke sini.”
“Ra, namanya juga perdesaan. Beda sama di kota besar seperti Jakarta. Coba deh, lihat! Para warga yang sudah terbiasa juga nyaman. Lu terbiasa tinggal di tempat yang serba mewah, Ra. Lu juga gak pernah melihat orang yang jauh di bawah lu.”
Jasmin meninggalkan Aurora yang masih betah berdiri di tepi jalan. Aurora yang merasakan ketakutan pun bergegas mengikuti langkah kaki Jasmin yang lumayan jauh dengan berlari kecil.
Mereka telah sampai di kamar mandi umum. Di sana sudah banyak warga yang mengantre untuk mandi dan mencuci pakaian. Aurora dan Jasmin pun harus menunggu sampai waktu yang tidak bisa dipastikan. “Jas, lama amat,” lirihnya sembari memegang lengan kanan Jasmin.
“Sabar,” jawab Jasmin.
Beberapa jam yang dibutuhkan oleh mereka hanya untuk sekadar membersihkan badan. Tidak lama kemudian terdengar suara azan magrib. Mereka bergegas pulang dan menjalankan ibadah tiga rakaat secara berjamaah. Selesai salat, mereka menikmati makan malam bersama di rumah nenek.
“Nek, lusa setelah selesai acara hajatan. Jasmin dan Aurora mengajak Nenek dan semuanya untuk berlibur ke beberapa tempat wisata yang ada di Yogyakarta.”
“Iya, Jasmin. Asalkan kamu yang membayar semuanya,” jawab salah satu sepupunya yang duduk di barisan paling ujung kanan.
“Jas, mau ikut kita pergi nonton di kampung sebelah, enggak?” tanyanya.
“Boleh, kapan?”
“Habis salat isya.”
Waktu telah berlalu. Kini, jam dinding di rumah nenek telah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Mereka berjalan kaki bersama-sama untuk turut serta dalam perayaan ulang tahun kampung sebelah dengan menonton bersama. Mereka tidak melupakan untuk memakai masker dan selalu mencuci tangan serta menjaga kebersihan diri sendiri.
“Jas, ini tontonan apa? Kok kaya kita kalau di sekolah. Jangan-jangan kita mau nonton orang berpidato.”
“AURORA ...!”