Aurora menghentikan motornya yang dihentikan oleh polisi yang sedang beroperasi malam ini. Mereka menghentikan motornya di tepi jalan. Mereka mengikuti instruksi dari polisi yang meminta mereka untuk turun dari kendaraan.
“Mbak, mana kartu STNK dan SIM serta KTP?”
“Maaf, Pak, kami masih pelajar SMA yang belum memiliki KTP. STNK juga lupa tidak dibawa.”
Aurora gelagapan ketika terkena operasi polisi di persimpangan jalan. Apalagi, Jasmin sudah merasakan kekhawatiran yang berlebih di dalam hatinya. Ia takut jika harus mengalami hal yang tidak diinginkan. Apa yang akan dijelaskan pada Pamannya?
“Berarti kalian masih di bawah umur. Seharusnya, kalian tidak mengendarai motor sendiri. Apalagi, ini jalan raya. Kalian saya tilang dan mengikuti pengadilan atau kena denda?”
Jasmin menatap Aurora mengajak berpendapat. Aurora membuka suaranya, namun tidak jadi. Ia merasa takut jika salah memutuskan. Polisi yang sedang berjaga itu masih menunggu keputusan dari mereka selama beberapa menit.
“Baik, motor kalian saya tilang,” katanya sembari mengambil kunci motor.
“Pak, sebentar, kalau bayar denda berapa, Pak?” tanya Aurora yang semakin ketakutan. Ia berpikir lebih baik membayarkan denda daripada harus mengikuti pengadilan. Belum lagi, menghadapi berbagai pertanyaan dari keluarga besar Jasmin. Bukan tidak ingin bertanggung jawab, tapi Aurora tidak yakin bahwa mereka akan bisa menjelaskan dengan baik. Secara sederhananya, mereka takut dimarahi.
“Ya, sudah, bayarkan saja tiga ratus ribu.”
Aurora merogoh tiga lembar uang berwarna merah itu dari dompetnya. Ia memberikan uang tersebut setelah polisi mengembalikan kunci motornya. Mereka mengenakan helm untuk melanjutkan perjalanan ke rumah paman. Sebelum meninggalkan tempat, mereka meminta maaf kepada polisi yang berjaga.
“Anjim, di Jakarta saja gue belum pernah kena tilang, Jas!” teriak Aurora.
“Ya sudah, jadikan saja kenangan terindah di Yogyakarta,” jawab Jasmin sembari tertawa. “Tapi, kita juga salah, Ra. Belum seharusnya kita mengendarai motor. Apalagi, jalanan raya itu sangat riskan sekali. Beruntung, kita hanya kehilangan uang bukan organ atau nyawa.”
“Eh, Jas! Omongannya dijaga.”
Mereka telah sampai di rumah sekitar pukul setengah sembilan malam. Padahal, mereka berjanji paling lambat pukul tujuh malah sudah berada di rumah bibi Ningrum atau nenek. Di depan rumah telah disambut oleh paman dan bibi. Mereka berdiri berdampingan dengan pintu rumah yang terbuka lebar.
“Jasmin! Baru sehari kamu di Yogya, sudah mau berulah?” sinisnya.
Jasmin dan Aurora melepas helm lalu berjalan mendekati mereka. Kedua gadis itu hendak menyalami tangan kanan mereka dengan menjaga sopan santun sebagai anak dan tamu. “Tunggu! Jangan lupa cuci tangan terlebih dahulu.” Paman menunjuk keran air yang terpasang di depan rumah.
Aurora dan Jasmin mencuci tangan dengan sabun. Setelah mencuci tangan sesuai dengan anjuran yang berlaku, mereka menjabat tangan paman dan bibi Ningrum. “Jasmin, kalau kamu mau jadi wanita malam, lebih baik jangan pernah menapakkan kaki di rumah Bibi atau Nenek. Pulanglah ke Jakarta saja.”
“Bibi, dengarkan terlebih dahulu penjelasan dari kita,” kata Jasmin dengan tersenyum.
“Kamu juga sudah melanggar janji kamu, Jasmin!” teriak bibi Ningrum dengan jari telunjuknya tepat menunjuk wajah Jasmin.
Aurora terkejut mendapati kemarahan dari tuan rumah yang sedang ia kunjungi. Padahal, Aurora belum pernah mendapati orang tuanya semarah itu hanya karena pulang terlambat. “Kamu sudah telat masuk di pintu rumah Bibi. Silakan kamu kembali saja ke rumah Nenekmu.”
Tidak lama kemudian, ada langkah kaki yang terdengar menggema di indra pendengaran. Bukan hanya langkah kakinya yang terdengar, suara khasnya juga terdengar dengan nyaring. “Ada apa ini, Ningrum?” tanyanya.
“Ibu, Jasmin baru pulang,” ucapnya.
“Jasmin, apa benar yang dibilang oleh Bibimu?” tanya nenek.
Jasmin mengangguk. Ia tidak berani mengangkat kepalanya untuk menatap mata neneknya. “Maaf, Nek.”
“Memang, kamu dari mana saja?”
“Tadi, Jasmin dan Aurora pergi ke rumah sakit untuk menjenguk teman. Teman Jasmin di Jakarta sedang dirawat di salah satu rumah sakit di sini. Sebetulnya, kami sudah pulang sejak tadi. Tapi, karena terdapat sebuah musibah, alhasil kami terlambat sampai rumah Bibi.”
Jasmin menjelaskan kepada mereka tentang kejadian yang mereka alami. Mulai dari tersesat hingga tertilang polisi yang sedang beroperasi. Memang, kehidupan adalah pilihan. Memilih untuk jujur sejak awal atau menyimpan sendiri. Andai saja tadi Jasmin memberikan kabar kepada bibi atau pamannya jika dirinya sedang terkena operasi polisi, pasti kejadian tidak akan serumit saat ini.
“Lalu, kamu tidak kenapa-kenapa, kan?” tanya bibi Ningrum dengan memeluk Jasmin. “Maaf,” sambungnya.
“Bibi seharusnya yang minta maaf itu kami. Sebab, kami sudah membuat Bibi dan Paman panik.” Jasmin membalas pelukan dari bibi Ningrum. “Bibi itu sudah Jasmin anggap seperti Ibu. Karena, hanya Bibi yang mirip dengan Ibu. Tapi, menurut Ayah.”
Bibi Ningrum tersenyum. Ia mengajak Jasmin dan Aurora beserta suami dan ibunya untuk masuk ke dalam rumah. “Loh, bukannya Jasmin dan Aurora sudah terlambat masuk, ya?”
“Oh, mau minta hukuman? Kaya di sekolah?” candanya, “Biasanya, kalau di sekolah dapat hukuman apa?”
“Menguras bak kamar mandi atau menyapu halaman, Bi.” Jasmin tertawa karena teringat dengan kejadian sebelum virus itu hadir di dunia. Saat itu, Jasmin terlambat karena tidak ada yang membangunkannya. Sehingga, ia terbangun tepat pukul tujuh pagi.
“Lah, malah ketawa. Oh iya, karena hari ini kalian terlambat masuk ke rumah, Bibi kasih hukuman, biar asyik. Kalian harus memasak untuk sarapan besok pagi.” Ningrum berjalan masuk ke dalam kamarnya yang disusul oleh suaminya.
Jasmin, Aurora dan nenek masih duduk di ruang tamu. Suasana masih dingin seperti udara di luar sana. Kebetulan, setelah mereka sampai di rumah, hujan turun mengguyur Yogyakarta.
“Hm, Jasmin, kenapa pergi tidak izin sama Nenek. Tadi, Nenek pikir hanya ke rumah Bibi saja. Eh, malah sudah keliling jalanan Yogyakarta. Besok lagi, bilang sama Nenek. Biar tidak tersesat lagi,” katanya yang mencairkan suasana.
“Iya, Nek.”
“Di luar sudah reda hujannya. Kalian mau tidur di sini atau tidur di rumah Nenek?”
Jasmin dan Aurora memilih untuk ikut bersama nenek. Mereka meminta izin kepada bibi dan paman. Selain itu, agar mereka segera mengunci pintu rumah. Mereka berjalan sekitar seratus meter untuk sampai di rumah nenek. Sesampainya di rumah, mereka mengganti pakaian agar tidak sakit karena terkena sisa air hujan yang turun dari genteng rumah warga. Mereka juga mencuci tangan, kaki, dan wajah. Setelah itu, mereka mengambil air wudu dan menggosok gigi. Tujuannya agar terhindar dari sarang penyakit yang tidak diketahui kehadirannya.
“Hari ini benar-benar penuh kenangan dan pembelajaran,” kata Aurora yang sedang mengelap rambutnya yang masih basah akibat terkena air wudu dan cuci muka.
“Benar, Ra. Di Jakarta mana ada kita kaya tadi,” tawanya.
Tiba-tiba terdengar suara aneh yang hadir. Suara itu lama-lama terdengar dengan nyaring dan keras. Aurora bergegas masuk ke selimut yang tersedia di kamar. Hatinya ketakutan karena mendengar suara yang semakin lama semakin mendekat.
“Jasmin, itu suara apa?” lirihnya.