Cen(t)il

1125 Kata
Beberapa hari kemudian, lebih tepatnya Hari Minggu pukul tujuh pagi. Aurora telah sampai di rumah Jasmin dengan diantar oleh Bram. Dua menit kemudian, mereka berangkat ke bandara untuk berangkat ke Yogyakarta. Semua biaya ditanggung oleh ayahnya Jasmin sampai kembali ke Jakarta. Aurora dan Jasmin meminta izin dan doa agar selamat sampai ke Yogyakarta. Dalam beberapa jam kemudian, mereka telah sampai di rumah nenek Jasmin. Di sana, mereka dijamu dengan beberapa makanan khas Yogyakarta. “Selamat menikmati makanannya, Nduk.” Jasmin tersenyum sembari memeluk neneknya. “Nek, Jasmin rindu. Oh, iya, terima kasih atas jamuan dari Nenek. Sebenarnya, makanannya kebanyakan, Nek.” “Tidak apa, Nduk. Lha wong kamu saja ke sini jarang. Hampir dua tahun sekali baru datang ke rumah Nenekmu ini.” “Ngapunten, Jasmin ada kesibukan di Jakarta, Nek. Oh iya, Nek, kenalkan dia namanya Aurora. Dia sahabat Jasmin di Jakarta. “Jasmin, ini apa?” tanya Aurora saat melihat makanan berbentuk bulat-bulat berbungkus daun pisang yang sedang dinikmati oleh Jasmin. Makanan itu bertabur parutan kelapa. “Ini namanya cenil, Ra.” Jasmin memberikan satu bungkus untuk Aurora. “Gimana Ra?” “Demi apa, Jas! Baru kali ini gue dapat makanan khas yang rasanya pas. Apalagi, di mulut tuh ... kaya cenal-cenil gitu.” “Namanya juga cenil.” Jasmin beranjak untuk memasukkan barang-barangnya ke kamar yang telah disediakan oleh Neneknya. Begitu juga dengan Aurora yang mengikuti langkah kaki Jasmin. Akhirnya, mereka tidak jadi terpisah selama dua minggu. Semoga, mereka selalu menjadi sahabat yang selalu bersama. “Iya sih, eh, Jas enggak ada rencana pergi main?” tanya Aurora. Jasmin tersenyum sembari menabok lengan Aurora pelan. “Lu, ke sini mau menemani gue atau mau jalan-jalan? Santai saja kali, Ra. Masalah jalan-jalan bisa diatur.” Jasmin beranjak mengajak Aurora untuk ke rumah saudaranya. Mereka berjalan kaki sekitar seratus meter untuk tiba di rumah paman Aurora. “Jas, capek kali.” “Gak usah banyak omong. Jalan saja nanti juga sampai.” Jasmin menatap ke bawah karena silaunya cahaya sang mentari. Akhirnya, mereka telah sampai di rumah pamannya Jasmin. Mereka dipersilakan masuk ke rumah. Benar, orang Yogyakarta ramah-ramah. Mereka menjamu tamu dengan makanan yang sebaik-baiknya. Mereka selalu tersenyum dengan orang lain sebagai tanda perkenalan. “Jasmin, kapan sampai di sini?” “Baru tadi, kok. Oh iya, Paman, Kak Aura di mana?” tanya Jasmin yang menanyakan keberadaan sepupunya. “Ke mana, ya, Paman kurang tahu, Jas.” Tidak lama kemudian, bibi Ningrum masuk ke rumah. Ia mengajak Jasmin dan Aurora bersalaman. “Sudah dari tadi belum?” tanyanya. “Belum, kok, Bi. Oh iya, Bibi dari mana?” jawab Jasmin. “Eh, kenalkan dia sahabat Jasmin di Jakarta. Namanya Aurora, Bi,” sambung Jasmin yang mengetahui bibinya sedang mengamati Aurora dengan penuh tanda tanya. “Pak, tadi ke tukang sayur, tapi tidak ada sayuran yang segar.” Bibi Ningrum berjalan masuk ke dapur. Ia mengambil empat gelas teh manis. Tidak hanya minuman, ia juga membawakan camilan berupa tempe goreng dan pisang goreng. Camilan sederhana yang penuh dengan gizi. “Ya wis, menyang pasar wae.” Paman berjalan mengambil kunci motor yang ia gantungkan di belakang pintu. Sembari berdiri, ia memegangi sarung yang digunakannya tidak sesuai dengan cara pemakaiannya. “Bapak, sarungnya itu mbok ya sik bener.” Bibi Ningrum menurunkan empar gelas teh dari nampan. “Jasmin, temannya diajak untuk menikmati hidangannya.” Jasmin mengangguk sembari tersenyum. Jasmin dan Aurora menikmati teh manis dengan tempe goreng hangat yang baru saja bibi Ningrum masak. “Bi, mau ke pasar?” tanya Jasmin dengan ramah. “Iya, Nduk. Apa arep melu?” tanyanya. “Boleh,” jawab Jasmin dengan antusias. “Ra, jalan-jalan ke pasar tidak apa, kan?” Aurora mengangguk. Mereka menghabiskan teh manis, lalu bersiap untuk pergi ke pasar. “Pak, Ibu pergi naik angkutan saja.” Bibi Ningrum menjabat tangan suaminya untuk meminta izin pergi ke pasar. Sepanjang perjalanan, mereka menikmati sejuknya pepohonan yang ada di pinggir jalan. Di sana juga terdapat banyak hamparan sawah yang hijau. Mereka juga harus berkeringat karena suasana di dalam angkutan umum yang berdesak-desakkan. “Ra, maaf, kalau tidak nyaman,” kata Jasmin. “Tenang saja, Jas. Tidak masalah, justru hal ini akan menjadi pengalaman yang tidak akan bisa dilupakan.” Bibi Ningrum tersenyum ke arah Aurora dan Jasmin yang duduk di depannya. Tiba-tiba angkutan yang mereka tumpangi berhenti karena ada penumpang yang akan turut serta menaiki. Tidak disangka, seorang perempuan yang baru saja naik itu memiliki sikap yang sedikit aneh. Sikapnya membuat seisi angkutan terheran-heran dengannya. “Mas ... sik ana ing Stasiun Lempuyangan ta?” katanya sembari menjawil seorang pria yang duduk di ujung, dekat pintu. Pria itu merasa tidak nyaman. “Mbak, maaf, saya bukan pria yang mungkin pernah ditemui sama Mbaknya.” Pria itu menggeser sedikit untuk menghindari dari seorang penumpang yang bersikap seakan-akan sudah kenal dengan pria itu. “Mbak, dadi uwong wadon kui aja centil, ora apik.” Sahut salah satu ibu-ibu yang duduk di paling belakang. Beliau melihat ke arah belakang tanpa menatap perempuan itu. Tidak lama kemudian, bibi Ningrum menghentikan angkutan di depan pasar yang mereka tuju. Mereka turun dari angkutan. Tanpa berhati-hati, kepala Aurora menubruk bagian atas pintu angkutan. Hal itu membuat seisi angkutan tertawa dengan gembiranya. “Aduh,” batin Aurora sembari memegangi kepalanya yang terasa sakit. “Ra, enggak apa, kan?” tanya Jasmin. Aurora menggelengkan kepalanya sembari tersenyum. Mereka melangkahkan kaki untuk memasuki pasar tradisional. “Jasmin, ternyata suasana pasar kaya begini?” “Aduh, panas ya?” timpal bibi Ningrum. “Iya, Bi. Tapi, seru kok. Aurora jadi tahu timbal balik yang terjadi di pasar. Proses tawar menawar juga seru, ya. Kalau di Jakarta malah belum pernah melihat orang melakukan tawar menawar. Asyik kayanya kalau belajar tentang penawaran dan permintaan.” “Aduh, Ra. Kita mau belanja bukan belajar.” Jasmin berjalan mengikuti langkah kaki bibi Ningrum. Mereka tiba di depan kios penjual jajanan pasar. “Kalian boleh beli apa saja.” Bibi Ningrum menyuruh Jasmin dan Aurora untuk memilih jajanan pasar yang mereka sukai. Tangan kanan Aurora mengambil dua bungkus cenil yang terbungkus daun pisang . “Ra, di rumah Nenek sudah ada. Nah, coba ini saja.” Jasmin memberikan empat bungkus daun pisang yang kata penjualnya berisi makanan khas Yogyakarta. Makanan khas yang terbuat dari kelapa bernama tiwul. Setelah mereka puas membeli jajanan pasar, bibi Ningrum mengajak mereka untuk membeli sayuran. Mereka telah memilih sayur kangkung, sayur bayam, sayur sawi, wortel, buncis, kubis, dan satu buah nangka muda. Waktu telah menunjukkan pukul dua belas siang. Mereka berjalan keluar dari pasar. Mereka menuju warung  mi ayam yang berdiri di seberang jalan. “Nah, Bibi mau bertanya dengan kalian. Dari perjalanan ke pasar sampai siang hari ini, apa yang sudah kalian dapatkan?” tanya bibi Ningrum sembari menunggu pesanan. “Maka .... “    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN