Harta, Tahta, atau Bahagia

1190 Kata
Aurora merasa sepi setelah Jasmin pulang ke rumahnya. Bagaimana ia tidak merasakan galau dalam hatinya? Setiap hari kedua gadis itu selalu bersama. Mengerjakan tugas sekolah, tidur, main, dan kerja selalu bersama. Kini, mereka harus terpisah dalam jangka waktu yang lumayan lama. Bagaikan sebuah bunga, Aurora menjadi mahkota sedangkan Jasmin menjadi tangkainya. Mereka saling melengkapi satu dan lainnya. Aurora seakan tidak bisa menjalani kehidupan sehari-hari tanpa Jasmin. Sebab, selama ini Aurora selalu bergantung pada sahabatnya. “Ra, makan dulu, sudah ditunggu Papa.” Nilam menutup pintu kembali. Sekarang, waktu telah menunjukkan pada pukul setengah lima sore. Di mana, Bram telah kembali dari kantornya. “Tumben,” lirihnya. Aurora beranjak dari kasurnya. Ia menyisir rambutnya terlebih dahulu. Disela-sela menyisir, ia teringat dengan ucapan Jasmin yang memintanya untuk merayu ayahnya lagi. Aurora tersenyum tipis lalu keluar dari kamar. Bukan melangkah menuju meja makan, Aurora memilih untuk menuju dapur. Ia mengambil beberapa bahan makanan yang tersedia. Aurora sekilas melihat ke arah meja makan. Di sana, belum ada menu penutup yang akan membuat suasana keluarganya semakin hangat. “Makannya tunggu sebentar, ya. Aurora pikir, Papa akan pulang malam nanti.” “Memang, kamu mau membuat apa, Ra?” tanya Bram sembari meneguk air putih dari gelasnya. “Papa sama Mama tunggu saja.” Nilam dan Bram bertatapan saling melempar pertanyaan. Akan tetapi, dari masing-masing mereka tidak ada yang bisa menebak dengan ulah putrinya karena tertutup dengan meja bar yang diletakkan di dapur. Nilam beranjak dari duduknya untuk mendekati Aurora, tetapi Aurora melarangnya. Alhasil, mereka hanya bisa menyimpan rasa penasarannya. Aurora mengambil satu bungkus agar-agar bubuk, s**u cair vanila sebanyak delapan ratus mili liter, dua buah kuning telur,  seperempat sendok pasta vanila, seratus empat puluh lima gram gula pasir, seperempat sendok garam.  Kemudian, Aurora mengambil panci dari tempatnya. Kemudian, Aurora menuangkan gula, s**u cair, garam, dan agar-agar ke dalam panci untuk direbus sampai mendidih. Setelah adonan mendidih, Aurora mencampurkan sedikit adonan dengan dua kuning telur diaduk rata. Kemudian, campurkan dengan adonan s**u kembali ditambahkan pasta. Setelah itu, Aurora mencetak ke dalam cetakan yang ada di rumahnya. “Ra, kelamaan. Keburu lapar,” kata Nilam yang masih setia menunggu putrinya. “Ya, sudah. Kita tinggal makan saja,” jawab Aurora kembali ke tempat duduknya. Sembari menu buatannya siap dimakan, Aurora mengajak Nilam dan Bram yang telah sekian lama menunggunya di meja makan. Mereka menikmati masakan Nilam untuk makan malam. Dengan perasaan bersuka cita mereka menyantap makanan yang telah tersaji di sana. Lima belas menit kemudian, Aurora kembali ke dapurnya. Ia mengambil puding yang telah siap untuk dinikmati. Aurora membawanya ke meja makan sebagai menu penutup makan malam bersama keluarganya. “Pa, Ma, Aurora buatkan puding untuk Mama dan Papa. Semoga suka, ya.” “Pasti ada maunya, kan?” tanya Bram sembari menikmati puding buatan Aurora. “Iya, Pa. Aurora mohon izinkan untuk ikut Jasmin ke Yogya. Pa, Jasmin saja selalu menemani Aurora ke mana saja. Masa, sekarang Aurora tidak boleh menemani Jasmin. Padahal, Jasmin membutuhkan Aurora, Pa.” “Ra, kalau masalah uang, Papa kan bisa kasih. Kamu tidak perlu sampai membuat konten yang membahayakan diri kamu sendiri. Kamu mengonsumsi cabai dalam jumlah yang banyak saja, sudah membuat perutmu tidak sehat. Apalagi, sekarang mau membahayakan jiwamu dengan pergi ke Yogya. Jelas, Yogya itu kota orang.” “Pa, Aurora tidak butuh uang. Tapi, Aurora membutuhkan kebahagiaan. Buat apa Aurora bertahan hidup sampai sekarang kalau hanya terbelenggu dalam kekangan orang tua? Apa Papa pernah memikirkan tentang kebahagiaanku? Pasti yang ada dalam pikiran Papa hanya harta dan jabatan yang bagus untuk bisa mencapai sebuah kebahagiaan. Padahal, bagi Aurora bukan! Aurora hanya ingin diberi sedikit kebebasan, Pa!” teriak Aurora sembari berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. “Pa, sudahlah berikan izin sekali ini saja. Aurora juga selama ini tidak pernah meminta apa-apa. Lagi pula, Aurora pergi Yogya bersama Jasmin. Di sana pasti mereka dijaga oleh keluarganya.” Nilam menatap mata suaminya dengan lekat. Dua menit kemudian, Bram berjalan menuju kamar putrinya. Ia membuka pintu kamar, betapa terkejutnya ketika melihat Aurora menangis sesenggukan. Bram mendekat ke arah putrinya yang sedang duduk menghadap ke jendela. “Baiklah, Papa izinkan kamu ke Yogya. Tapi, syaratnya, kamu harus bisa menjaga diri. Jaga kesehatan fisik dan juga jiwamu. Jangan neko-neko di kota orang.” Bram memegang pundak Aurora yang tersandar pada punggung kursi. “Pa, terima kasih. Hari Minggu antar Aurora ke rumah Jasmin, ya?” jawab Aurora sembari memeluk Bram yang berdiri di belakangnya. Sebuah kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang atau sebuah jabatan. Kebahagiaan bisa hadir ke dalam hidup seseorang dengan sendirinya. Kita bisa merasa bahagia pada saat diri kita merasa aman, nyaman, dan terbebas dari sebuah kekangan. “Siap, maafkan Papa, ya, Ra. Maaf kalau selama ini Papa mengekang kamu, padahal, Papa hanya ingin melindungimu. Tapi, kalau dengan sedikit kebebasan membuatmu bahagia, ya, Papa bisa apa. Terpenting, kamu bisa menjaga diri.” Bram keluar dari kamar. Tidak lupa, ia menutupnya kembali. Aurora mengusap air matanya. Kakinya berjalan ke arah tangga. Setapak demi setapak ia turuni sampai berdiri di dapur. Ia mengambil sepotong puding yang masih tersisa. “Gue yang buat, eh, gue juga yang dapat sisa.” Tiba-tiba ada Nilam di belakang Aurora. “Salah sendiri marah-marah tidak jelas.” “Mama, bikin kaget tahu. Ma, dari mana?” tanyanya. “Mencuci piring dan barang-barang yang kamu kotori demi puding penyogok izin dari Papamu.” Nilam terkekeh. “Mana ada Aurora menyogok.” Aurora mengelap bibirnya dengan tisu. “Mam, ini piring tidak sekalian dicuci?” sambungnya. “Itu dicuci sendiri. Biar tanganmu gerak. Ra, mencuci piring itu ada manfaatnya loh,” kata Nilam. “Manfaat? Yang ada tangan Aurora rusak, Ma.” “Dikasih tahu malah marah. Sini duduk, Mama kasih tahu.” Aurora menurut dengan Nilam. Ia duduk di kursi berbahan dasar kayu jati yang dipoles dengan pelitur berwarna cokelat muda dan tua yang bergradasi. “Ra, mencuci piring dengan air mengalir itu bisa membuat ketenangan. Selain itu, bisa membuat kita merasa rileks dengan dinginnya air yang mengalir. Kalau tidak percaya, coba saja gih.” Nilam berdiri untuk melangkahkan kakinya menuju kamarnya. “Mama, ih, malaslah.” Aurora kembali ke kamarnya dengan meninggalkan piring bekas wadah puding di meja makan. Tanpa menghiraukan perintah Nilam, ia memilih untuk melepas lelahnya di ranjang kamarnya. Pyar! Aurora melihat ke arah sumber suara. Ternyata, guci yang ada di ujung kamarnya terjatuh akibat tersenggol oleh kucing miliknya. Kucing berbulu putih yang ia beri nama Doyi. Aurora membersihkan serpihan-serpihan guci dan tanah liat yang berceceran. Sedangkan, Doyi lari keluar dari kamar karena takut kalau dimarahi oleh majikannya. “Astaga, harusnya tidur dengan lelap malah disuruh membersihkan guci akibat ulah si Doyi!” Aurora mencari sapu yang selalu ia letakkan di ujung kamarnya. Dengan tangkas ia membersihkan ruangannya. Sehingga, ia bisa tidur dengan nyaman. Tidak lupa, Aurora mengunci pintunya. Aurora mengambil ponselnya untuk memberitahukan kepada Jasmin tentang izin dari ayahnya. Setelah pesan itu terkirim, Aurora tidak melanjutkan tidurnya. Ia semakin asyik menonton konten Youtube milik orang lain. Matanya yang telah berkantung tebal pun memintanya untuk mengistirahatkan. Akan tetapi, jemarinya masih belum bisa berhenti untuk menyentuh layar telepon genggamnya. “Hah, akun ini muncul lagi?” lirihnya sembari memukul bantal yang ada di depannya.                
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN