Gejolak Asmara

1087 Kata
“Baik anak-anak, hari ini kita belajar tentang takdir,” kata Ibu Ranti sembari membuka Al-Quran dengan sampul berwarna merah muda miliknya. Beliau kembali duduk ke tempatnya sembari membacakan sebuah surah. “Oh iya, saya sampai lupa ... silakan ambil kitab kalian dan cari dalil yang berkaitan dengan takdir, kemudian ditulis di buku.” Ibu Ranti menyudahi bacaannya yang baru sampai pada bismillah. Setelah itu, seperti guru biasanya, ia berjalan mengitari ruang kelas untuk mengecek kondisi anak didiknya. Sampailah Ibu Ranti berdiri di dekat salah satu siswa yang duduk di pojok belakang sebelah kanan. Laki-laki itu tidak bergerak sama sekali dengan kepala berpangku pada meja. “Mas, bangun!” Ibu Ranti menepuk pundak anak didiknya dengan lemah lembut walaupun suaranya yang mengeras. “Mas Raka, tolong bangun dan sudahi mimpimu. Mimpi dalam tidur boleh, saja. Akan tetapi, jauh lebih menantang jika kalian meraih mimpi dengan usaha yang nyata.” Ibu Ranti menengok ke arah laci meja Raka. Di sana, terdapat beberapa plastik bekas wadah jajan. Beberapa detik kemudian, Raka terbangun dari tidurnya. Ia menguap dengan asap yang bau tidak sedap dari mulutnya. Ibu Ranti yang berada di sampingnya pun bergeser sedikit menjauh. “Raka, buang sampah-sampah di lacimu sembari membasuh wajahmu.” Raka tersenyum tipis sembari mengusap kedua matanya yang masih merekat bak diberi lem perekat. Kemudian, dia berjalan keliar sembari membawa sampah plastik hasil limbah jajannya. Seharusnya, laci meja sekolah jangan pernah dijadikan sebagai tempat sampah. Sebab, barang kali ada siswa atau siswi yang menggunakan laci untuk menyimpan bekal makanan. Jadi, sangat disayangkan apabila ada yang menyimpan sampah di laci, karena akan menyebabkan sumber penyakit jika seseorang benar menyimpan bekal di dalam sana. Sekembalinya Raka ke kelas, Ibu Ranti telah menayangkan layar untuk mempresentasikan materi hari ini. “Nah, Raka, hari ini kamu membuat dua kesalahan. Pertama, tidur di dalam kelas dan kedua ... banyak sampah di dalam laci kamu. Sekarang, kamu terangkan materi yang ada kepada teman-temanmu.” Ibu Ranti berjalan ke belakang kelas sembari membelakangi Raka yang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Raka berjalan ke arah meja yang tadinya ditempati oleh Ibu Ranti. Ia memainkan mouse untuk menggeser kursor. Dengan suara yang terbata-bata karena gugup, Raka mengerjakan tugas dari Ibu Ranti. “Raka, bagaimana dengan jodoh?” tanya salah satu siswi yang duduk di barisan tengah sembari menahan tawanya, sebab Raka sejak pertama kali presentasi seperti kepiting kepanasan. Tangan dan kakinya tidak berhenti bergerak karena rasa gugupnya. “Jodoh, eh, jodoh itu takdir dari Allah yang tidak bisa diubah.” “Nah, berarti kalau jodohku Jimin, tidak bisa diubah, dong?” sahut salah satu siswi yang duduk di ujung kanan barisan kedua. “Sudah-sudah. Siapa itu Jimin, Mbak?” tanya Ibu Ranti yang berjalan ke depan. Siswi yang tadinya ribut kini diam takut bakal kena marah oleh Ibu Ranti. “Baik, saya akan menjelaskan lebih lanjut di pertemuan selanjutnya. Karena waktu telah hampir habis, saya persilakan untuk mengemas barang-barang lalu berdoa. Jangan lupa untuk melaksanakan piket, ya. Oh iya, jangan abaikan protokol kesehatan. Selalu memakai masker, mencuci tangan, dan jangan bergabung dalam kerumunan.” Ibu Ranti meninggalkan kelas setelah mengucapkan salam penutup untuk mengakhiri pembelajaran. Aurora berjalan beriringan dengan Jasmin. Tas gendong yang bertengger gagah di pundaknya tiba-tiba terjatuh akibat tali yang putus secara misterius. Ternyata, jahitan tas Aurora telah merenggang, akhirnya bisa putus tanpa dipaksa. Aurora berjongkok sembari membenarkan tasnya, walaupun ia tahu tidak akan bisa dibenarkan tanpa menggunakan jarum jahit dan benang. Beruntung, ia selalu membawa peniti untuk berjaga-jaga. Ia menggunakan peniti agar tas gendongnya bisa digunakan. “Ra, si Langit menertawakan kamu dari belakang.” Jasmin membantu Aurora membetulkan peniti yang sejak tadi belum juga terpasang dengan kokoh. Langit berjalan semakin mendekat di mana Aurora dan Jasmin berdiri. “Ra, tasnya putus? Untung bukan kita yang putus.” Langit mengambil paksa tas Aurora yang belum benar juga. Langit mengaitkan dengan paksa peniti tersebut. Sampai akhirnya, peniti itu terputus tidak bisa dipakai lagi. “Lu mendingan pergi daripada semakin kacau!” Aurora memasukkan gendongan sebelah kiri ke saku bagian belakang tas yang terletak di bawah. Aurora menggendong tasnya hanya pada pundak kanannya. Padahal, tas yang ia bawa hari ini, benar-benar diisi penuh dengan buku pelajaran. Langit meminta tas Aurora dan menarik tangannya agar pulang bersamanya. “Langit ...!” teriak Jasmin yang merasa kesal dengan sikap Langit yang seenaknya sendiri menarik paksa Aurora agar bisa pulang bersamanya. Aurora telah duduk tenang dibonceng Langit menggunakan motor butut miliknya. Di pertengahan jalan, motor bermerek ‘Astrea’ itu mogok dengan mendadak. “Maaf, motor tua. Aku harap kita tidak sering mogok-mogok dalam menjalin hubungan.” “Apa sih, kok enggak jelas.” Aurora memalingkan wajahnya dari Langit yang sedari tadi menatapnya tanpa berkedip. Ia memejamkan matanya sejenak untuk mencari ketenteraman dalam hatinya yang tengah bergejolak akibat ucapan Langit yang menggodanya. Apa ia merasakan sebuah rasa bernama cinta? Apa iya, rasa cinta itu harus tertuju pada Langit? Entah bagaimana bisa hatinya teras terbang jika mendengar rayuan dari Langit. Padahal, banyak laki-laki yang mengucapkan sepatah dua patah rayuan untuknya, akan tetapi hatinya sama sekali tidak bergetar hebat seperti ini. “Tunggu, sudah benar motornya.” Langut mengejar Aurora yang telah berjalan sejauh seratus meter dari tempat. Langit memakaikan helm ke kepala Aurora dengan penuh kelembutan. Tatapan matanya yang penuh kasih sayang. Tiba-tiba, ponsel Aurora berdering dengan nyaring. Terdapat pesan dari Jasmin yang ternyata telah sampai di rumahnya sejak sepuluh menit yang lalu. “Ah sialan, kenapa harus terlambat. Seharusnya aku pulang bersama Jasmin,” batinnya. “Langit ... tolong dipercepat. Gue harus segera sampai di rumah. Kalau tidak ... pisau dapur melayang!” Langit yang kaget mendengar perkataan Aurora yang sebenarnya hanya dusta belaka, langsung menaikkan kecepatan laju motornya. Sebenarnya, Langit punya motor yang jauh layak pakai dan masih normal, tetapi ia lebih nyaman memakai motor butut peninggalan kakeknya. “Aduh, kenapa, sih, jadi makin terasa detak jantung dan denyut nadiku. Apakah ini benar-benar rasa cinta yang tumbuh?” batinnya. Seketika, Langit mengerem mendadak akibat ada mobil yang berhenti di depannya karena mengalami kerusakan. “s**t! Kenapa harus mengerem mendadak?” batin Aurora. “Ra, maaf ... Rumah kamu ke arah kanan atau kiri?” tanya Langit ketika menemui jalan yang bersimpang tiga. “Lurus,” jawab Aurora. Lima belas menit kemudian, Aurora telah sampai di rumahnya. Tanpa menawarkan kepada Langit untuk sekadar mampir, Aurora melenggang masuk ke rumahnya. Ia melihat Jasmin yang baru saja menghabiskan satu porsi masakan ibunya. “Ra, jadwal kita batal karena .... “ Aurora tersedak ketika meneguk air putih dari gelasnya karena mendengar perkataan dari Jasmin tentang pembatalan kegiatan syuting pembuatan kontennya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN