Bertemu Dalam Tatap

1086 Kata
Beberapa hari kemudian, Aurora dan teman-temannya telah berangkat sekolah secara tatap muka, walaupun dalam seminggu hanya satu sampai tiga kali. Akan tetapi, hal itu jauh lebih baik daripada tidak sama sekali. Seperti biasanya, jadwal ditentukan oleh sekolah berdasarkan kelas. Sekitar pukul tujuh pagi, mereka telah siap untuk mengikuti pelajaran di kelas. Hari ini, mereka belajar mengenai sejarah. Sebelum pelajaran dimulai, mereka memiliki kebiasaan, yaitu bertadarus dan berdoa, lalu menyanyikan lagu kebangsaan Negara Indonesia. Hari ini, pelajaran diisi dengan sebuah materi. Guru Bahasa Indonesia itu tengah menjelaskan mengenai hal itu. Pak Danu berdiri di depan papan tulis dengan membawa dua spidol warna hitam dan merah. Di sana beliau membuat sebuah main maping dengan menarik. Sebuah materi yang dijelaskan dalam buku paket termuat dengan banyak halaman di papan tulis beliau ringkas hanya menjadi satu lembar kertas. Teks Eksplanasi merupakan salah satu jenis teks yang termuat dalam kurikulum pelajaran Bahasa Indonesia. Apa sih Teks Eksplanasi? Teks Eksplanasi merupakan salah satu teks yang dikembangkan berdasarkan riset ilmiah. Teks yang dikembangkan dengan mengangkat sebuah fenomena alam atau sosial dari sudut pandang ilmiah. “Baik, karena jadwal tatap muka kita hanya terbatas, jadi saya meminta kalian untuk membuat teks eksplanasi di tulis tangan lalu kirimkan ke saya dalam waktu tiga hari.” Pak Danu berjalan ke luar sembari membawa tasnya. Pembelajaran Bahasa Indonesia telah usai. Kini, kelas Aurora diisi dengan pembelajaran ekonomi. Akan tetapi, karena suatu sebab, guru yang bersangkutan tidak bisa mengajar. Sama halnya dengan sekolah pada umumnya, mereka berhamburan keluar kelas. Aurora bersama Jasmin memilih untuk pergi ke kantin. “Mbak, tolong pakai masker dan cuci tangan terlebih dahulu,” kata Pak Wisnu—salah satu petugas kebersihan yang kebetulan lewat depan kantin—sembari menyeret tempat sampah. Aurora mengangguk lalu mengambil masker yang ada di sakunya. Ia memakainya lalu menyemprotkan cairan di botol kecil dari sakunya ke telapak tangannya. Setelah itu, ia berjalan untuk duduk di meja paling ujung bersama Jasmin. “Ra, kapan bisa hidup normal lagi, ya?” tanya Jasmin. “Entah.” Aurora menunduk sembari mengambil sapu tangannya yang terjatuh. “Sudah dunia sedang tidak normal, mana tubuh gue juga kadang-kadang aneh,” batinnya. “Ra, lu mau pesan apa?” tanya Jasmin yang sedang berjalan ke arah dagangan Ibu Alyssa. Aurora tidak menjawab. Ia berjalan mengikuti Jasmin untuk mengambil menu makanan yang akan disantapnya. Aurora mengambil satu mangkuk soto dengan bumbu saus kecap beserta sambal secukupnya. Lalu mereka kembali ke tempat duduknya. Tidak lama kemudian, Langit datang dengan wajah songong di balik masker medisnya. “Hai, gue dudu, ya,” katanya sembari memainkan ponselnya. “Bisa geser? Bukankah kita harus jaga jarak? Selain dalam agama bisa menimbulkan fitnah, sama pemerintah pun dianjurkan untuk jaga jarak.” Aurora bergerak ke kanan sembari menyeret mangkuk itu. Tiba-tiba Langit mengambil sendok sambal dan menuangkan sambal berkali-kali ke mangkuk milik Aurora. Secara mendadak, raut wajah Aurora pun berubah menjadi lebih garang. Ia marah, tentu saja. Aurora tidak suka dengan orang yang mengganggunya kala menikmati makanannya. “Bisa gak jangan ganggu!” teriak Aurora dengan perasaan yang sangat kesal akibat ulah Langit. Dari ambang pintu kantin, terdapat seorang cowok yang tinggi berjalan ke arah mejanya. Aurora menatapnya bukan karena terpesona, melainkan penasaran karena lelaki yang duduk di sebelah kirinya melambaikan tangan ke arahnya. Laki-laki itu berjalan sembari tersenyum lalu duduk di depan Langit. Ia menatap Aurora sembari senyum-senyum tidak jelas. Senyumannya sama sekali tidak membuat Aurora mabuk kepayang, melainkan merasa enek dan ingin pergi dari tempat itu. Jasmin yang duduk di depan Aurora—lebih tepatnya di sebelah kanan laki-laki asing itu—pun berdiri mengambil kain lap ke meja Ibu Alyssa. “Hai ... Gue Aksa, temannya Langit,” ucapnya sembari menjulurkan tangan kanannya. Aurora tidak menerima uluran tangannya. “Maaf, bukan mahram sekaligus tidak bisa sembarangan bersentuhan. Saya tidak tahu, kalau semisal tanganmu penuh bakteri.” “Lu kalau ngomong dijaga ya. Gue sering cuci tangan kali.” Aksa sewot tidak terima dengan tuduhan Aurora. Akan tetapi, hal itu hanya tipu dayanya saja, sebenarnya Aksa hampir tidak pernah cuci tangan dalam sehari. “Halah, lihat tuh celana lu aja kotor.” Aurora menyantap makanannya kembali. Saking lupanya, ia tidak ingat kalau di dalam mangkuknya terdapat banyak sambal akibat ulah Langit. Tiba-tiba perutnya terasa tidak nyaman. Ia mengambil air minum dari dalam tasnya. Akan tetapi, air mineral tidak membuatnya merasa jauh lebih nyaman. Ia merasakan keanehan dalam dirinya mulai hadir kala melihat Langit tengah menguap setelah meneguk air mineral karena kepedasan. “Rasain, salah sendiri lu makan makanan gue yang udah lu campur dengan banyak sambal itu.” Langit menatap Aurora lekat. Ia melihat ada sesuatu yang aneh dari diri Aurora. “Lah, lu kenapa?” Aurora melihat ke arah dirinya. Dia menyadari pinggannya yang mulai melebar. Sebelum semakin parah, ia memilih lari ke toilet. Kejadian itu, benar-benar seperti dejavu. Tapi, kali ini Langit tidak menyusulnya. Benar saja, tubuhnya mulai membengkak, kulitnya mulai memerah menyala. Ia berjongkok di belakang pintu sembari memainkan air di dalam gayung berwarna kuning. Ah, rasanya seperti duyung yang merindukan air. “Andai saja, gue bukan manusia aneh. Gue sudah menikmati ketampanan Langit.” Aurora membuang air dari gayung. Beruntung Aurora membawa ganti dari rumah sejak pagi tadi. Alhasil, ia tidak lagi repot-repot mencari solusi dengan dirinya yang secara mendadak berubah selayaknya makhluk aneh yang berubah-ubah bentuk tubuh. Setelah tubuhnya kembali normal, Aurora keluar dari toilet sekolah dan berjalan kembali ke ruangan kelasnya. Tepat di depan koridor sekolah, tiba-tiba ada Langit di sana. “Lu ngintilin gue?” tanya Aurora tanpa sengaja menatap Aurora. “Gak. Lu pakai itu maskernya. Lihat ... ada Pak Danu di sana,” ucap Langit sambil menunjuk posisi Pak Danu yang berdiri di tengah lapangan. Aurora teringat dengan maskernya yang telah basah akibat ulahnya saat bermain air. “Lu ada masker gak?” tanya Aurora pada Langit. Lagi-lagi matanya bertemu sekian detik sebelum Aurora membuang muka. “Ada, tapi lu harus senyum yang manis buat gue,” jawab Langit dengan menyakukan tangan kanannya dan tangan kiri diletakkan di dinding di depannya. “Najis!” Aurora lari ke kelasnya tanpa memakai maskernya. Setelah sampai di dalam kelas, ia terkejut ketika melihat Ibu Ranti yang telah duduk di tempatnya. Guru itu telah siap mengajarkan materinya. “Assalamualaikum,” kata Aurora sembari membuka pintu. “Masuk,” jawab beliau. Aurora melangkah masuk ke dalam ruangannya. Ia duduk di tempatnya. Tiba-tiba Ibu Ranti berjalan ke arahnya memberikan masker medis untuk dipakai oleh Aurora. “Pakailah daripada terkena hukuman.” Aurora menerimanya lalu memakainya dengan benar. Setelah itu, ia melanjutkan untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN