Bab 10

1214 Kata
Gemerincing suara lonceng yang tergantung di leher kuda jantan nan gagah berwarna coklat gelap, derap langkahnya berpacu dengan gerimis yang turun rintik-rintik membasahi kota yang sudah mulai berkembang, derit roda yang berputar menggilas aspal yang mulai basah membuat aroma khas menguar menusuk indra penciuman. Andong, sebuah mode transportasi yang sudah mulai tergerus zaman menjadi pilihanku untuk mengantarkan kami menuju gedung serba guna tempat sebuah resepsi mewah, resepsi pernikahan orang yang telah menghancurkan hidupku. Dengar-dengar itu adalah 'the royal wedding' pernikahan dua anak orang kaya di sini, di gelar besar-besaran dengan di hadiri seluruh tamu undangan yang pastinya bukan orang sembarangan. Sang mempelai wanita adalah seorang priyayi, wanita keturunan ningrat yang pastinya cantik dan kaya raya. Sang mempelai pria adalah anak dari seorang juragan kaya, entah karena apa pernikahan ini bisa terjadi, apakah benar-benar berlandaskan cinta atau hal lain aku tidak perduli. Pandanganku menerawang menyusuri setiap sudut kota yang telah lama aku tinggalkan, membangkitkan luka yang telah lama kupendam dalam, teringat setiap sore sepulang kerja dulu aku dan dia selalu menyusuri setiap sudutnya hanya untuk mencari makan atau sekedar berjalan-jalan menghabiskan waktu bersama, memori itu kembali berputar diingatan tanpa perintah, membuat luka-luka itu kembali berdarah. Kualihkan pandangan pada wajah kecil yang selalu terbingkai senyuman. Pada hari Minggu kuturut Mama ke kota. Naik delman istimewa kududuk di muka. Kududuk samping Pak kusir yang sedang bekerja. Mengendarai kuda supaya baik jalannya. Tuk ... Tik ... Tak... Tik ... Tuk ... Tik ... Tak ... Tik ... Tuk ... Tik ... Tak ... Tik ... Tuk ... Senandung dari bibir mungilnya, ini memang pertamakalinya dia naik delman wajar bila dia sangat bahagia. Namun, melihatnya membuat api dalam dadaku justru semakin menyala, ku remas 10 lembar uang merah muda lama genggaman. Sekitar dua puluh menit, tujuan kami telah berada di depan mata. Andong memang dilarang masuk parkiran gedung itu, hingga kami harus berjalan agak jauh untuk bisa memasuki gedung yang sudah ramai dengan tetamu yang lalu lalang keluar masuk. Ku genggam erat tangan mungil itu, berharap ada banyak kekuatan yang kudapat dari hal itu, langkahnya riang disamping langkahku yang sedikit bergetar. Suasana di dalam gedung begitu ramai, banyak tamu dan keluarga dari kedua belah pihak mempelai, berbagai makanan tertata rapi di banyak meja prasmanan. Pelaminan yang mewah, dengan sepasang pengantin tengah sibuk menyalami para tamu yang mengular, mengantri menaiki pelaminan. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat juragan Prayoga tertawa bahagia menyalami tamu-tamunya, di sampingnya Bu Hanifah juga terlihat bahagia walaupun dia terduduk di kursi roda, yang di tempatkan tepat di samping mempelai pria. Putranya. Di sebelah kiri pelaminan terdapat sebuah panggung hiburan, seorang penyanyi cantik sedang melantunkan lagu romantis. Seorang lelaki dengan jas berwarna abu-abu berdiri di sampingnya, mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada para tamu undangan, khas seorang pembawa acara. Itulah tempat tujuanku.   Hanya beberapa menit berselang.   "Mohon maaf kepada seluruh tamu undangan yang hendak memberikan selamat kepada kedua mempelai, di mohon untuk berhenti sejenak dan turun dari pelaminan. Dikarenakan akan ada penampilan spesial dari seorang gadis kecil yang akan memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Setelah penampilan spesial ini kita bisa melanjutkan acara kembali. Terima kasih." Pengumuman dari pembawa acara tersebut membuat semua yang ada di dalam gedung ini saling bertatapan kebingungan, termasuk kedua mempelai dan keluarganya. Para tamu yang sudah mengantri menuju pelaminanpun mengurungkan niatnya. Semua mata tertuju kepada seorang gadis kecil yang melenggang menuju pelaminan dengan tangan kiri menggenggam mikrofone dan tangan kanan menggenggam 10 lembar uang merah muda. "Assalammualaikum semua ..." Dengan penuh percaya diri, Queen memulai aksinya, sejenak menjeda bicaranya memberi waktu kepada semuanya untuk menjawab salam. "Kenalin namaku Queenza aku anak Mama Kinanti Prameswari, Papaku Zaky Prayoga," mendengar Queen menyebut namaku Zaky dan kedua orang tuanya terlihat sangat terkejut, "aku di sini mau ngasih selamat sama Papa Zaky karena sudah menikah." Kata-kata Queen terdengar terbata, khas anak kecil yang diharuskan menghafal dialog panjang. Namun, kata-kata itu mampu membuat seisi ruangan ini terkejut, para tamu sibuk saling berbisik-bisik, Zaky menerima tatapan nanar dari wanita cantik yang duduk di sebelahnya, Bu Hanifah dan juragan Prayoga saling berpandangan. Wajah Bu Hanifah bagaikan melihat hantu gentayangan melihat Queen menghampiri dan berdiri tepat di hadapannya. "Nenek, aku kesini mau mengembalikan ini, uang yang dulu nenek kasih ke Mama buat bikin aku nggak lahir ke dunia ini." Queen meletakkan 10 lembar uang merah muda itu dipangkuan Bu Hanifah yang kini menangis tergugu, entah karena apa, mungkin hanya karena malu. Acara pernikahan putra semata wayangnya hancur berantakan. "Terima kasih Papa, Nenek dan Kakek karena kalian semua sekarang aku jadi Queen yang bahagia." Ucapan penutup dari Queen, lalu dia menyalami semua yang ada di atas pelaminan. Tangan juragan Prayoga tanpak bergetar menerima uluran tangan cucunya, sama seperti Bu Hanifah. Zaky membelai lembut pipi Queen, mungkin dia masih tidak percaya kalau gadis kecil itu anaknya, di tatapnya lekat seolah sedang bercermin Zaky bisa melihat bayangannya sendiri pada wajah Queen. Sedangkan kedua orang tua mempelai wanita bergegas turun dari pelaminan dengan menahan emosi, tampak sang ayah membisikkan sesuatu kepada putrinya, yang juga geram menahan amarah, tetapi masih bertahan di samping suaminya. "Ayo sayang kita pulang." Ucapan yang membuat semua mata tertuju padaku, Queen menghampiriku. Lalu kugendong dia keluar, kuciumi pipi anakku. Terasa kelegaan dalam d**a setidaknya semua sudah tau juragan Prayoga sekeluarga tidak sebaik yang mereka kira. "Mama, akting Queen bagus 'kan," tanya polos anakku. "Iya, sayang. Bagus banget, terima kasih ya." Jawabku seraya mencium pipi gembilnya. Ya, bagi Queen semua itu hanya akting. Karena yang dia tau dia di undang ke acara pernikahan ini sebagai pengisi acara, melakukan sandiwara seperti di acara sekolahnya. Tanpa dia tau, bagiku ini adalah sebuah pembalasan, dulu mereka menghancurkan hidupku. Maka kini terimalah kehacuran kalian. "Kinan, tunggu." Suara seorang pria menghentikan langkahku yang hendak menaiki andong yang setia menunggu kami di ujung jalan. Suara yang sangat aku kenal, tiba-tiba membuat ribuan genderang tertabuh dengan berbagai irama dalam d**a. Sebuah senyuman tanpa sengaja tersungging di wajah sebelum aku membalikkan badan untuk melihatnya. "Om Ricko!" pekik riang Queen menyebut nama sang pemilik suara. "Abang? Ngapain? Kok bisa di sini?" Ku berondong dia dengan banyak pertanyaan, mengingat semalam dia hanya mengantarku sampai terminal bus. "Iya, Abang nggak tega ngelepas kalian pergi berduaan doang." jawabnya sambil membantu Queen menaiki andong. "Terus?" tanyaku lagi. "Yah, terus Abang naik bus yang sama ama kalian, di belakang dan kalian nggak sadar 'kan." jawabnya sambil terkekeh. "Dan dari tadi Abang ngikutin kami?" "Iya." "Ya Allah ... Bang, kamu tuh ada-ada aja deh!" "Pak kita ke desa Ringinpitu ya." ucap Bang Ricko kepada sang kusir. "Nggeh, Pak." jawab pria paruh bawa tersebut. Aku terdiam, mengernyitkan dahi mendengar Bang Ricko mengajak kami menuju desaku, tempatku terusir dulu. "Bang, buat apa kita ke tempat itu?" "Buat minta restu, sama Bapak dan Ibu kamu, 'kan kita akan segera menikah." Jawab Bang Ricko mantap, membuat mata bening gadis kecil dalam pangkuannya kian berbinar. "Menikah? Berarti Om Ricko bakal jadi Papa aku dong!" suara Queen nyaris berteriak, tidak bisa menyembunyikan ekspresi bahagianya. "Iya, sayang. Sekarang kita ketemu nenek sama kakek kamu dulu ya." ujar Bang Ricko, sontak kembali mengukir senyuman gadis kecilku. "Asik ..." "Queen bahagia?" "Iya dong, Om." "Alhamdulillah, Mama juga bahagia tuh, liat aja pipinya sampe merah gitu," bisik Bang Ricko pada Queen. Obrolan dua orang tersayangku itu malah membuatku semakin tersipu malu, beruntung suara lonceng andong ini terdengar cukup keras hingga bisa menyamarkan kerasnya debaran jantungku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN