Derit roda kereta kuda berhenti di sebuah dusun kecil, rumah-rumah disini banyak berubah termasuk rumah masa kecilku kini terlihat lebih modern, dinding yang tadinya berwarna putih kesukaanku telah berganti warna hijau muda kesukaan Mbak Miranti, terlihat lebih segar tetapi lebih jelas juga bahwa semakin pudar jejak-jejak kehadiranku di rumah ini.
Seorang wanita paruh baya berpakaian sederhana keluar rumah mungkin karena mendengar ada andong berhenti tepat di halaman rumahnya.
Melihatku, nampak jelas tersurat kerinduan di kedua pelupuk matanya. Namun, segera ia alihkan pandangan ke sisi kanan dan kiri seolah memastikan tidak ada orang lain yang melihat kedatangan kami.
Sakit.
Rasa yang dengan sendirinya menyelusup memasuki relung kalbuku, rupanya kehadiranku masih tidak bisa di terima di sini, aku masih saja sebuah aib bagi keluargaku.
Rangkulan dan usapan lembut di bahu kanan dari Bang Rikco yang berdiri di sisi kiri sambil menggendong buah hatiku, membuat aku merasa lebih kuat, dari sebuah senyuman hangatnya seolah selalu memberitahuku bahwa semua akan baik-baik saja.
"Assalammualaikum, Bu."
Aku menyalami dan memeluk tubuh yang terlihat lebih kurus ibu yang telah lebih dulu memasuki rumah tanpa mempersilahkan kami masuk.
"Waalaikum salam, kamu sehat nduk?"
Tanya Ibu seraya membelai pucuk kepalaku, seiring meluncurnya airmata dari kami berdua, airmata kerinduan yang nyatanya bisa menyisihkan keegoisan.
"Iya, Bu."
Kembali kupeluk wanita yang telah melahirkanku itu.
Sejak menjadi seorang ibu, aku jadi lebih mengerti rasanya.
Rasa cinta, dan kasih sayang tulus yang ibu rasakan, segala pengorbanan yang ibu lakukan, dan aku lebih mengerti rasanya luka dan kecewa yang dulu aku berikan.
Bahwa seorang ibu, menggantungkan cita dan harapan besar kepada seorang anak gadisnya, yang kelak akan menjadi wanita terhormat di pinang lelaki bertanggung jawab dengan segala cinta dan penghormatan.
Memulai biduk rumah tangga yang di awali dengan terucapnya janji suci. Namun, semua itu dengan mudah aku hancurkan.
Maaf.
Kembali hanya kata-kata itu yang kumohonkan dari kedua orang tuaku.
"Sudahlah, Nduk. Yang lalu biarlah berlalu, cukup kita ambil hikmah dari semua kejadian saja."
Ucapan bijak dari Bapak yang kini tepat di sampingku.
"Queen. Sini sayang, salim sama Mbah."
Anakku menurut lalu turun dari pangkuan Bang Ricko.
"Bapak, Ibu. Ini anakku namanya Queen."
Bergantian Queen menyalami Nenek dan Kakeknya yang di sambut pelukan dan ciuman penuh keharuan.
Begitupun kepada Mbak Miranti dan suaminya.
Bapak juga memanggil kakak-kakakku yang lain hingga seluruh keluarga besarku kini berkumpul di rumah ini.
Setelah suasana lebih santai, di tengah obrolan ringan kami.
"Jadi, sebenarnya maksud kedatangan kami kesini selain untuk bersilaturahmi juga untuk meminta doa restu kalian semua. Kami mau menikah."
Ucap Bang Ricko penuh keyakinan. Membuat semua memandang kearahku dengan mengulum senyum.
"Iya, nanti Bapak 'kan yang jadi wali. Jadi kalian semua ke Jakarta ya."
"In shaa Allah, Bapak pasti bersedia. kapan acaranya, Nduk?"
Aku gelagapan menjawab pertanyaan Bapak, karena memang ini belum ada dalam pembicaraan kami.
"In shaa Allah bulan depan, Pak."
Jawab Bang Ricko yakin. Mataku sedikit melotot padanya, sekarang saja sudah tanggal 22. Berarti bulan depan sebentar lagi dong!
Belum sempat aku protes, aku sudah melihat Queen joget-joget kegirangan, "asik ... Aku punya Papa. Aku punya Papa." sontak membuat kami semua tertawa ringan.
"Ya udah, saya pamit pulang dulu ya. Besok saya ke sini bersama orang tua saya."
Pamit Bang Ricko pada kami semua, seketika Queen bergelayut manja di lengannya, "Om aku mau ikut ke rumah Eyang uti--Tante Sofia."
Selama ini memang Queen hanya mengenal Tante Sofia sebagai Eyangnya karena Tante Sofia selalu mengunjungi kami di Jakarta.
"Jangan sekarang ya, sayang. Mama 'kan masih kangen sama Mbah, sekarang Queen sama Mama nginep di sini dulu. Besok Om Ricko sama Eyang uti dan Eyang kakung ke sini," rayu Bang Ricko kepada gadis kecilku yang lalu mengangguk paham.
☘️☘️☘️
Waktu sudah menunjukkan jam setengah sepuluh malam saat aku, Bapak, Ibu dan Mbak Miranti masih asik dalam pembicaraan hangat, menguntai banyak kisah yang terjadi selama kami tidak bersama.
Tok ... Tok ... Tok.
Suara ketukan terdengar di pintu depan.
Tidak lama kemudian, suami Mbak Miranti menghampiri kami, "Kinan, ada Zaky. Katanya mau ketemu kamu."
"Iya, Mas. Terima kasih."
Segera kutemui, lelaki itu berdiri di teras membelakangi pintu dengan memeluk dirinya sendiri, di luar memang udara terasa dingin.
Aku duduk di kursi teras tanpa menyapanya terlebih dulu, kursi tua menghasilkan suara sedikit berderit saat kududuki, membuatnya terkejut dan langsung menoleh ke sumber suara.
Mendapati aku yang sudah duduk santai dengan menyilang kaki membuatnya seketika luruh, bersimpuh di kakiku.
Menangis? Ya Zaky yang terakhirkali kulihat begitu angkuh. Sekarang menangis dengan memegang kakiku.
Mata merah padam, menahan airmatanya sangat kontras dengan mata yang terakhirkali kulihat penuh kesombongan, tanpa ada sedikitpun rasa kasihan padaku yang mengemis meminta pertanggung jawabannya.
Tanpa sedikitpun merasa gengsi ataupun malu, kini dia menangis memohon maaf padaku. Sama seperti tangisanku yang lima tahun lalu sama sekali tidak ia hiraukan.
"Duduklah di situ, buat apa kamu bersimpuh di sini!"
mendengar aku bersuara setelah beberapa lama membiarkan dia meracau mengucapkan kata maaf, kini dia berpindah duduk di kursi yang ku tunjuk.
"Buat apa kamu ke sini?" tanyaku setelah melihat dia sedikit lebih tenang.
"Kinan, aku benar-benar minta maaf."
"Aku memaafkan atau tidak, tidak ada pengaruhnya untuk hidup kamu 'kan! Jadi aku minta sekarang kamu pulang."
"Kinan, aku mohon maafin aku. Dan beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
Kutegaskan pandangan pada kedua matanya yang seketika luruh tak berani beradu pandang denganku.
"Memperbaiki apa?"
"Hubungan kita."
"Hah? Ha ... Ha... Ha," perkataannya membuatku tidak bisa menahan tawa, "sejak kamu membuangku, kita tidak ada hubungan apa-apa Zaky!"
"Tapi dia anakku, kita punya anak Kinan."
"Anak kamu? Bukankah dulu kamu sendiri yang bilang dia bukan anak kamu! Udahlah Zaky, kamu kan sudah menikah. Kamu pasti akan punya anak, dari wanita kaya seperti yang keluarga kamu inginkan."
Entah kenapa mengucapkan kata itu terasa sakit, mengingat dulu keluarganya menghinaku hanya karena keluargaku miskin.
"Maafkan kami Kinan, Tuhan sudah menghukum kami. Ibuku sakit, sebagian besar harta benda kami habis untuk pengobatan di tambah lagi kami di tipu orang kepercayaan Bapak, kami bangkrut."
Lirih suaranya mengisahkan kemalangan keluarga sombong itu, sebuah cerita yang sesungguhnya tidak ingin kudengar.
"Bapak menjodohkan aku dengan anak temannya, dengan tujuan memperbaiki perekonomian keluarga kami. Tapi karena kejadian tadi siang mereka membatalkan pernikahan kami, aku dan istriku akan segera bercerai."
Zaky melanjutkan cerita tanpa aku minta, cerita yang membuatku mengulum senyuman, senyum kemenangan.
"Terus, sekarang mau kamu apa?"
"Menikahlah denganku Kinan? Lalu kita hidup bersama anak kita. Izinkan aku menebus kesalahanku, izinkan aku bersama anakku." pintanya memelas.
"Kamu memang ayahnya, hanya secara biologis. itu tidak penting bagiku! Secara syariat dia hanya anakku, nasabnya hanya padaku, tidak padamu. Dan baginya ayahnya adalah Bang Ricko bukan kamu."
Mendengar perkataanku, sejenak Zaky menatap wajahku. mungkin dia menemukan sesuatu yang lain padaku, sebuah kekuatan yang dulu tidak pernah aku miliki.
Lalu pandangannya kosong menerawang, hingga sedikit tersentak mendengar aku bicara, "sejak saat itu, saat kau dan keluargamu membuangku dan bayi dalam kandunganku. Hidupku dan hidup kalian tidak ada hubungannya lagi. Aku sudah memenuhi janji pada diriku sendiri bahwa anakku yang akan mengembalikan 10 lembar uang merah muda yang dulu kalian berikan untuk membunuhnya. Dan hal itu sudah terjadi, jadi sekarang sudah tidak ada alasan lagi bagiku untuk mengenal kalian atau hanya sekedar menemui kalian."
Aku bangkit memasuki rumah dan mengunci pintu dari dalam meninggalkan Zaky yang masih termenung di tempat duduknya, kembali menitikkan airmata.