Sebutir telur yang dierami induk itik selama 28 hari, menetas. Kepala putih dan kecil terlihat menyembul dari pecahan telur. Induk itik menelengkan kepalanya. Anak terakhirnya terlihat berbeda. Putih dan berbadan lebih besar. Dibandingkan ketiga anaknya yang cantik berwarna kuning keemasan, itik terakhir terlihat buruk. Induk itik mematuk kepala itik buruk rupa dengan paruhnya. Dia merasa tidak suka pada anak keempatnya. Apalagi setelah itik jantan meninggalkan dia gara-gara anak aneh itu, dia makin benci pada anak keempat.
Semakin lama, perbedaan itu semakin kentara. Itik buruk rupa terlihat bodoh dengan tubuh besarnya itu. Suaranya pun terdengar serak dan menyakitkan kuping. Membuat induk itik harus menutup telinga tiap kali i***t bertubuh besar itu berbunyi. Anak-anaknya yang lain pun terlihat ketakutan tiap kali mendengar suara itik buruk rupa. Induk itik makin membenci anak keempatnya. Bagaimana mungkin dia bisa memiliki anak yang begitu besar, jelek, dan tidak lincah berenang di air?
Suatu hari, induk itik mengajak anak-anaknya berenang di sungai. Dia memimpin di depan. Ketiga anak kuningnya mengikuti dengan lincah di belakang. Satu anaknya yang putih dan besar tertinggal sangat jauh. Kepayahan, dia berusaha mengejar induk dan saudara-saudaranya. Namun tubuh besarnya tak mampu berenang secepat mereka. Itik buruk rupa kehilangan induk dan ketiga saudaranya.
Itik buruk rupa menangisi nasibnya yang malang. Dia tidak tahu mengapa ibu membencinya, mengapa saudara-saudaranya sering mengejeknya? Mengapa dia terlihat berbeda dibanding mereka? Berhari-hari dia menyusuri sungai mencari keluarganya. Hujan, kehujanan. Panas, kepanasan. Hingga suatu hari, saat tubuh lemahnya tersangkut di sebatang pohon, dua itik yang sama buruk dengannya datang menolong. Mereka membawa dirinya pada seekor induk dengan leher panjang dan indah. Yang memiliki bulu sehalus sutra dan berenang anggun di kolam penuh teratai.
Dia, yang merasa buruk, ternyata adalah seekor anak angsa yang akan berubah menjadi angsa dewasa yang cantik dan anggun. Ternyata dia tidak buruk seperti perkiraannya. Dia hanya berada di lingkungan yang salah.
Hastuti memandangi dirinya di cermin. Mengamati pantulan wajah dan tubuhnya. Pertunjukan balet itik buruk rupa di Aula Simfonia Jakarta tadi, sungguh menohok dan mengiris ingatannya tentang masa lalu. Hastuti teringat akan sebuah e-mail yang dia terima. Undangan 20 tahun reuni angkatannya di SMA Harapan Bangsa.
Dia mengepalkan tangan dan memukul wastafel hingga buku-buku jarinya kemerahan. Ingatan masa lalu itu sungguh kejam. Hastuti membencinya. Jika bisa, dia tak ingin kembali meskipun kedua orang tuanya kini tinggal di sana. Dia memang tidak akan kembali ke sana. Tidak! Undangan itu tidak akan membuatnya terusik. Dia sangat bahagia dengan kehidupannya saat ini. Bekerja sebagai Manager Business Development di sebuah event organizer, membuatnya memiliki kehidupan sosial yang tidak kalah dengan selebritis. Pesta-pesta dan pulang pagi akrab dengannya. Dia tak perlu khawatir suami akan melarang. Sebagai pekerja asing, suaminya itu sering bepergian ke luar negeri.
Hastuti mengamati lagi pantulan wajahnya di cermin. Kali ini lebih dekat, lebih lekat. Muka oval dengan tulang pipi menonjol, hidungnya mungil tapi pas dengan wajahnya. Alisnya sempurna, karena dia rajin ke salon untuk merapikan. Bibirnya selalu merona karena sulam bibir yang dia lakukan sebulan lalu. Rambutnya berkilat, wangi, dan jatuh tergerai dengan ikal di ujungnya. Warna dan modelnya sering berubah beberapa bulan sekali atau kapan saja dia merasa bosan. Dan tubuhnya? Hastuti mundur beberapa langkah ke belakang, hingga tubuhnya yang tanpa busana terpantul sempurna di cermin kamar mandinya. Dia menghela napas puas. d**a membusung, perut rata, pinggul berlekuk. Tak ada yang cacat dari penampilannya.
Lalu, kenapa dia ingin menghindar hadir di reuni itu? Hastuti yang sekarang berbeda dengan Hastuti yang dulu. Hastuti yang sekarang, bisa membuat lelaki mana pun yang melihat, meneteskam liur. Dia tidak seharusnya merasa dihantui trauma bodoh itu. Dia bukan lagi seekor itik buruk rupa. Dia sekarang, seekor angsa yang menawan. Sebuah ide cemerlang berkelebat di kepalanya. Hastuti memandangi wajah cantik di cermin yang kini menyeringai jahat dan menatap dingin.
Wajah itu memberitahunya tentang sebuah rencana.
Pembalasan dendam!
***
(22 tahun yang lalu)
"Hei, Gendut ngapain lewat sini? Jauh-jauh sana!"
"Udah gendut, item, jelek, hidup lagi! Bikin rusak pemandangan aja!"
"Kamu duduk paling belakang!"
"Jangan keluar sebelum kami keluar!"
"Kenapa Si Jelek ini ada di kelas kita?"
"Kamu seharusnya mati! Orang jelek nggak diterima di manapun!" Wijat menendang meja Hastuti.
Tubuhnya yang gempal tertunduk membulat. Wajahnya tersembunyi dalam rambut keritingnya yang mengembang dan lebat. Titik-titik air mata mulai berjatuhan.
Dia sudah terbiasa menerima cacian seperti ini sejak SMP. Sejak ibu pindah ke Jakarta tanpa membawa dirinya. Sejak ayah meninggalkan rumah dan membiarkannya hidup berdua dengan nenek. Sejak itu napsu makannya tak terkendali. Dia menemukan cara untuk menghapus kesedihan. Makan sampai perutnya penuh, muntah, makan lagi, tidur, bangun, makan, makan, makan terus. Hingga akhirnya tubuh kurusnya mengembang seperti balon dan muka manisnya tertutup lemak. Yang lebih parah, dia lupa caranya tersenyum. Membuat dirinya terlihat lebih menyeramkan.
Lalu olok-olok itu mulai terdengar. Awalnya satu orang. Lalu menjadi dua. Seperti hama kutu putih pada tanaman krokot, dia menyebar begitu cepat. Hingga tanpa sadar semua telah tertular hama yang sama. Hastuti hanya bisa menerima. Pasrah.
Dia tidak punya teman. Bukan tidak ada yang mau berteman dengannya. Tapi mereka takut, takut dianggap tidak keren karena berteman dengan orang aneh seperti dia. Mereka juga takut, Wijat dan gengnya akan mengolok-olok, seperti Wijat mengolok-oloknya. Jadilah dia duduk seorang diri di bangku paling belakang. Seperti uang recehan 100 rupiah. Tak bernilai jika sendirian. Diabaikan.
Teman sejatinya adalah buku-buku, televisi, dan kepingan-kepingan vcd bajakan. Jam-jam kosongnya dia habiskan dengan membaca, menonton sambil makan kripik dan kue-kue. Tidak ada yang melarang, apalagi mengajarinya cara merawat tubuh. Simbahnya sibuk mengurusi warung nasi di depan rumah dan membebaskan Hastuti makan apa pun, sebanyak apa pun, di warungnya. Bagi Simbah, yang penting Hastuti tidak kurang makan dan tercukupi kebutuhan sekolahnya. Begitu cara Simbah membesarkan dan menyayangi Hastuti.
Saat menstruasi pertama, Simbah cuma menyodorkan pembalut. Tidak memberi tahu, mengapa darah keluar dari selangkangannya? Mengapa perutnya terasa melilit seperti ditusuk-tusuk? Mengapa kepalanya menjadi pusing? Dan bagaimana menggunakan pembalut dengan benar? Karena benda itu menempel di bulu halus k*********a sehingga darah merembes di celana dan rok sekolah. Hastuti ramai diolok teman satu kelas dan pulang sambil menangis.
"Owalah, kiye kewalik ngganggone. Kudune kaya kiye,"[1] Mbak Wakingah, salah seorang pegawai Simbah, memperlihatkan cara menempel pembalut yang benar.
"Wis nganah dikumbah disit kathoke nganti resik. Trus ganti ngganggo sing anyar. Aja nangis maning."[2] Mbak Wakingah mengelus kepala Hastuti. Adem.
Hastuti menangis di kamar mandi. Usianya 12 tahun saat darah itu mengalir di paha hingga betis pada saat mandi pagi. Simbah marah-marah karena Hastuti berteriak panik, membuat tangannya yang sedang mengupas labu siam, teriris. Di mana ibunya? Seharusnya dia yang bersamanya saat semua ini terjadi, bukan Simbah. Bukan Mbak Wakingah. Hastuti mengutuki perempuan yang memilih tinggal dengan suami dan keluarga barunya tanpa membawa dirinya.
Dia pikir, bersekolah di Harapan Bangsa akan mengubah hidupnya. Teman-teman baru yang tidak akan mengejeknya, sekolah swasta dengan pergaulan moderen, dan lingkungan baru yang akan membuatnya lupa masa lalu. Ternyata dia salah. Uang 100 rupiah tetaplah 100 rupiah. Dia lebih diabaikan, lebih dijelekkan. Mereka di HB tidak sekedar pintar. Tapi juga kaya, cantik, ganteng, dan menarik. Tidak ada yang seperti dirinya saat berbaris di barisan kelas satu. Ada beberapa anak laki-laki bermata sipit yang sama gemuk dengannya. Tapi dia tidak hitam, tidak keriting, dan tidak berkawat gigi. Dia kaya. Uang bisa membeli segalanya, bukan? Bahkan persahabatan dan kebahagiaan.
"Mbah, mata Tutik sakit. Perih, Mbah."
"Ya, wis. Ngesuk diterna Darmo periksa maring dokter."[3]
Dokter tidak memberinya obat karena ternyata matanya tidak sakit. Dokter hanya memberinya saran agar Hastuti cek ke dokter mata atau optik. Hasilnya, lensa minus 3 berbingkai hitam besar bertengger di depan matanya. Sempurnalah penampilan buruk Hastuti pada saat naik kelas dua SMA. Tumbuh gembrot, rambut keriting mengembang, kacamata tebal dan kawat gigi permanen yang baru bisa dilepas saat dia lulus SMA. Membuat dia awet menjadi bulan-bulanan Wijat dan kelompoknya.
***
Dia datang dengan dendam. Pada masa lalu yang ingin dia hapus. Pada ayah yang menceraikan ibunya. Pada ibu yang mengkhianati ayahnya. Pada mereka berdua yang membuat dia tumbuh besar dan jelek. Dia juga datang dengan kebencian meluap. Pada mereka yang telah membuatnya malu di hadapan 300 anak. Pada biang-biang onar yang tidak tahu sakitnya hati perempuan. Dan dia ingin perempuan-perempuan yang mereka kasihi hancur sehancur-hancurnya. Menjadi berkeping dan terburai. Empat nama telah dia kantongi dan dia akan mendatangi mereka satu per satu. Memberinya kesenangan-kesenangan yang tak akan terlupakan. Kesenangan yang akan menghapus coretan-coretan merah dan buruk dalam buku hidupnya. Kesenangan yang akan mengembalikan senyuman-senyumannya. Tapi, sebelum dia mulai menyambangi nama-nama itu, dia akan melakukan pemanasan sedikit. Melakukan sesuatu yang seharusnya dia lakukan sejak dulu.
Hastuti menaikkan kakinya ke atas meja. Menarik gaun merah tanpa tali hingga paha mulusnya terlihat liar untuk di belai. Segelas bourbon di tangan kanan dia goyang-goyangkan. Matanya menatap lurus pada layar LED yang memutar film laga Jason Statham. Dari belakang, dia mendengar suara pintu membuka dan menutup. Lirih. Senyum tipis tersungging dari bibir Hastuti. Seseorang terbatuk di belakangnya. Sengaja.
"Eh, Bapak? Belum tidur, Pak?" Hastuti menurunkan kaki dan meletakkan gelas di meja. Menoleh ke arah Bapak yang berdiri di belakangnya.
"Nonton apa? Keliatannya rame?" Bapak menatap sekilas televisi tapi pandangannya lebih tertarik pada belahan d**a Hastuti yang bulat.
"Fileme Jason Statham. Rame, Pak. Tembak-tembakan. Sini, nonton sama Tutik." Hastuti menepuk kursi di kirinya, Bapak sedikit ragu. Hastuti duduk bersila, celana dalamnya terlihat sedikit. Bapak menelan ludah. Lalu duduk di samping Tutik.
"Ibuk sudah tidur." Bapak memberi tahu. Hastuti tidak bertanya. Hanya tersenyum dalam hati.
Ternyata, memikat bapak tirinya tidak sesulit yang dia pikir.
Entah siapa menggoda siapa pada saat perselingkuhan itu terjadi. Yang jelas, Bapak kandungnya marah besar karena pengkhianatan Ibu dan memilih meninggalkan kami berdua. Tapi malam ini, saat ini, mungkin Hastuti tahu jawabannya. Lelaki yang pernah tergoda hubungan sesat satu kali, akan mencoba meraih kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya. Karena dia tahu sensasi-sensasi kenikmatannya. Dan Hastuti, darah yang mengalir di tubuhnya sama dengan darah yang mengalir di tubuh ibunya.
Sama-sama perempuan penggoda! ©
Catatan Kaki:
[1] "Owalah, ini terbalik pakainya. Seharusnya begini."
[2] "Udah sana dicuci dulu celananya sampai bersih. Trus ganti sama yang baru. Jangan nangis lagi
[3] "Ya sudah. Besok diantar Darmo perksa ke dokter."