- F.E.B.I-
Aku mengenalnya sejak SMP. Kami pernah satu kelas selama tiga tahun. Kupikir dia akan melanjutkan ke SMA Negeri 1, seperti teman-teman akrabnya yang lain. Ternyata tidak. Dia bersekolah di SMA yang sama denganku. SMA Harapan Bangsa. Sayangnya, selama tiga tahun di SMA, kami tidak pernah satu kelas. Dia masuk kelas Biologi sementara aku masuk kelas Fisika.
Dia sangat pemalu. Dan tidak percaya diri. Aku yakin itu. Dia tak ingin hubungan kami ditunjukkan terang-terangan di muka umum. Dia lebih suka menemuiku di rumah atau saat aku sendirian di perpustakaan. Tapi dia selalu menghindar saat mata kami bersitatap di keramaian. Pernah aku tanyakan padanya, mengapa dia seolah tak kenal aku jika di muka umum? Dia bilang, dia tak ingin teman-teman mengolok-olok aku. Cukup dia, tubuh gempalnya, dan mata sipitnya saja yang menjadi bahan olokan teman-teman. Jangan sampai aku ikut mengalami juga. Oh, sungguh dia pahlawan bagiku.
"Hei! Dari tadi senyum-senyum sendiri. Ngelamunin apa, sih?"
Shila menepuk punggung tanganku. Sepiring nasi goreng di hadapannya sudah habis. Sementara aku, masih mengaduk-ngaduk mi goreng yang baru kumakan beberapa sendok saja. Napsu makanku hilang.
"Mi gorengnya boleh buat aku, nggak? Kayaknya nggak akan kamu makan, kan?" Shila mengulurkan tangannya padaku.
"Astaga, Shil! Kamu baru aja ngabisin sepiring nasgor. Dan itu porsi jumbo, Shil. Inget badan, Shil! Inget kecantikan kita!"
"Febi ..., aku sudah laku. Kayaknya nggak terlalu mempermasalahkan soal body, deh. Aku sekarang laperrr banget! Tadi siang cuma makan beberapa iris lontong dan daun selada di Ciamis. Pas mau beli makan sore di depan penginapan, ada yang nelpon, janji mau traktir makan malam. Tapi dia membuat aku menunggu satu jam lebih! Kamu tahu, nggak siapa orangnya?"
Aku meringis. Orang itu adalah aku. Aku terlambat menjemput Shila karena ada seseorang yang tiba-tiba menghubungiku dan minta dicarikan penginapan. Aku merasa bersalah padanya. Akhirnya mi goreng di hadapanku berpindah tempat ke hadapan Shila.
"Pelan-pelan makannya, Shil. Jangan lupa ngunyah. Jangan lupa bernapas."
Shila melotot sebentar lalu melanjutkan makan.
Aku meraih smartphone yang tergeletak di sampingku. Ada pesan w******p baru masuk. Dari dia. Dia yang kurindukan selama 20 tahun.
***
(22 tahun yang lalu)
Napasnya terengah-engah saat mengetuk pintu rumahku. Wajahnya merah jambu dengan butiran keringat mengumpul di dahinya. Sepeda federalnya terparkir di belakang mobil papa. Aku mengernyit heran melihatnya. Setahuku, dia punya motor Honda Tiger yang lebih sesuai dibanding sepeda gunung yang kelihatannya terlalu kecil untuk tubuhnya yang tinggi besar. Jarak dari rumanya ke rumahku pun sangat jauh. Pantas dia terengah-engah kehabisan napas.
"Masuk, Van!" Aku membuka pintu lebih lebar dan mempersilakannya masuk.
"Duduklah. Aku ambilin minum, ya. Mau yang dingin atau yang biasa?"
"Dingin, boleh?" Aku mengangguk. Kulihat dia menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Sepertinya dia betul-betul kelelahan.
"Kamu habis dari mana? Sampai ngos-ngosan gitu. Motormu ke mana?" Aku meletakkan segelas air sirup di campur es batu, gelas kosong dan sebotol air putih dingin di hadapannya.
"Dari rumah. Emang sengaja mau kemari," jawabnya sambil menenggak habis es sirup melon. Dia menuang air putih ke gelas bekas sirup lalu menenggaknya lagi hingga hanya tersisa es batunya saja.
"Capek banget, ya?" Aku membayangkan jarak 10 km yang dia tempuh dengan bersepeda. Dia meletakkan gelas di hadapannya. Wajahnya sudah lebih segar sekarang.
"Iya, capek banget. Aku ngebut datang ke sini. Takut kamu keburu pergi."
"Pergi ke mana?"
"Ini, kan malam Minggu. Aku takut seseorang duluan jemput kamu buat di ajak jalan."
Astaga! Pipiku menghangat. Tak terpikir sedikitpun olehku, semua yang dia ucapkan itu. Aku tidak punya pacar, siapa yang akan mengajakku kencan? Satu-satunya lelaki yang dekat denganku saat ini adalah dia yang sedang duduk melepas engap di hadapanku. Ervano Wildan Angkasa.
"Motormu mana?" tanyaku sambil melirik ke arah sepedanya terparkir di garasi.
"Dipinjam adekku. Buat ngapelin ceweknya."
"Kamu sendiri ngapelin cewek pake sepeda?" Aku tergelak geli. Rasa hangat menjalari dadaku.
Kuperhatikan Ervan tersenyum tipis padaku. Senyum yang susah untuk diartikan. Apakah itu senyum miris karena dia meminjamkan motor pada adeknya sedang dia naik sepeda? Atau senyum sinis yang berarti kedatangannya ke rumahku bukan berarti apel? Aku tak mau membesarkan dugaan yang itu. Aku harus yakin jika Ervan memang menyukaiku, karena itulah malam Minggu ini dia ada di sini bersamaku. Juga malam Minggu-malam Minggu selanjutnya.
Sayangnya Ervan sangat pemalu. Setiap malam Minggu kami hanya menghabiskan waktu di rumah saja. Bercerita tentang kegiatanku atau kegiatannya selama seminggu. Kelas kami berbeda. Saat penjurusan di kelas dua, saat Ervan mulai mendekatiku, dia masuk di kelas Biologi 2A2-2. Sedangkan aku sekelas dengan Shila dan Adhit di 2A1-1.
Kami tak pernah jalan ke tempat umum meskipun hanya makan bakso di tepi jalan. Ervan lebih suka membawa makanan saat apel. Kadang martabak, molen goreng, dages, mendoan, tahu brontak, atau siomay jeki yang suka mangkal di depan kolam renang perumahannya. Ervan bilang, dia tidak nyaman berduaan di tempat umum. Dia takut kepergok temannya, lalu tersebar berita tak baik di sekolah. Dia tak ingin ketahuan Nunu, teman sekelasku, yang terkenal suka mengolok-olok. Dia sudah cukup lelah menahan kesal karena Nunu sering mengejeknya 'boboho monde', montok gede. Hanya karena kulitnya yang putih, mata sipit, dan tubuhnya yang tinggi besar. Padahal Ervan bukan keturunan China sama sekali. Ervan tidak seganteng Adhit, pacar Shila, atau sekeren Wijat, anak IPS yang gayanya seperti Ali Topan anak jalanan. Tapi Ervan tidak kalah baik dari Adhit, yang menurutku terlalu over protected sama Shila. Padahal, yah, Shila bukan cewek tercantik di sekolah. Tapi bukan berarti dia tidak menarik. Maksudku, Adhit nggak perlulah takut banget kehilangan Shila. Malah seharusnya Adhit berpikir, jika dia terlalu mengekang Shila, ada kemungkinan Shila akan lari.
"Mungkin ada sesuatu dalam diri Shila yang bikin Adhit terpesona," Ervan hanya mengangkat bahu saat kuceritakan pikiranku itu. Mungkin Ervan benar. Dan hanya Adhit yang tahu apa pesona Shila itu.
Aku sendiri cukup bahagia dengan hubunganku dan Ervan, meski terkesan back street. Bahkan aku harus main rahasiaan dengan Shila, teman sebangku sekaligus sahabatku sendiri. Saat Shila bercerita tentang hubungannya dengan Adhit, aku hanya bisa menanggapi sambil tersenyum. Menahan mulutku agar tak keceplosan bercerita tentang Ervan. Malam Minggu saat Ervan datang ke rumah, aku pun menumpahkan cerita tentang Adhit dan Shila kepadanya. Aku berharap dia paham, bahwa aku pun ingin hubungan kita semanis mereka. Seperti biasa Ervan menanggapi ceritaku hanya dengan senyuman dan ucapan pendek.
"Kita berbeda. Hubungan kita lebih spesial."
Maka aku percaya, bahwa hubungan kami memang spesial. Lebih berarti dari sekedar pacaran anak SMA. Buktinya, saat hubungan Shila dan Adhit renggang dan hampir putus, kami tetap bertahan. Aku sangat bersyukur karenanya.
"Jadi Shila sudah putus dengan Adhit?" tanya Ervan saat aku selesai menumpahkan kekesalanku padanya.
"Kata Shila, sih belum. Dia bilang Adhit hanya ingin menjaga jarak. Aku sebel aja sama Shila, mau-maunya di bikin ngambang sama Adhit."
"Pantesan beberapa hari ini aku nggak pernah lagi lihat Shila pulang bareng Adhit."
"Kamu ngamatin juga?" tanyaku heran. Ervan sedikit terkejut.
"Tanpa sadar iya, sih. Mereka, kan pasangan paling populer satu sekolah. Cewek-cewek di kelasku aja sibuk bergosip tentang mereka. Bahkan ada yang seneng kalau mereka putus."
Ervan benar. Hubungan Shila dan Adhit memang sering jadi bahan gosipan cewek-cewek. Kadang aku kasihan sama Shila, jauh di lubuk hatinya pasti dia terbeban dengan hubungannya.
"Sebenarnya aku juga mikir, sih. Apa yang dilihat Adhit dari Shila? Adhit tu sempurna banget jadi cowok. Pinter, kaya, ganteng. Dia bisa dapetin cewek yang paling cakep di sekolah. Tapi malah milih Shila."
Aku memandang Ervan, membenarkan perkataannya dalam hati.
"Kamu sendiri kenapa suka sama aku? Sebagai kapten tim basket, kamu punya popularitas yang nggak kalah sama Adhit."
Ervan memandangku teduh.
"Kamu sudah menarik perhatianku sejak lama. Sejak SMP. Hanya saja aku tak pernah berani mendekatimu. Kamu itu pinter. Selalu rangking 1. Aktif di organisasi. Selalu di kelilingi temen-temen yang setia sama kamu. Sedikit saja ada cowok yang deketin kamu, temen-temen jumbomu itu selalu pasang aksi waspada. Aku jadi minder, lah!"
Ervan benar. Saat di SMP, aku dan ketiga teman akrabku memang pernah berjanji untuk tidak jatuh cinta pada cowok yang salah. Jadi setiap ada cowok yang mendekati kami, selalu diselidiki latar belakangnya dulu sebelum diputuskan layak atau tidaknya cowok itu jadi pacar salah satu dari kami. Aku ingat, Ervan memang pernah menggodaku dan salah seorang dari kami. Itulah yang membuat dirinya menjadi tidak layak. Dia dianggap cowok yang suka tebar pesona. Tapi akhirnya kami sadar, peraturan kami itu malah membuat kami dijauhi cowok dan tidak punya pacar selama SMP.
"Bulan depan kamu ulang tahun, kan? Mau kado apa?" tanya Ervan tiba-tiba.
Mamah sudah mempersiapkan pesta sweet seventen untukku. Sebenarnya aku ingin Ervan berdiri di sampingku saat potong kue nanti. Tapi pasti dia tidak mau.
"Menurutmu aneh, nggak kalau aku tiba-tiba datang? Kita, kan seperti orang tidak kenal kalau di sekolah."
Menurutku, yang aneh itu karena kamu baru menyadarinya sekarang, Ervan!
"Bukannya kalian para cowok selalu menyerbu setiap pesta, walau tanpa undangan?"
Ervan tertawa. Aku tahu dia saat ini sedang mendekati gengnya Ardian, geng yang ditakuti satu sekolah. Bukan saja karena sering bikin onar, geng Ardian paling suka mengerjai orang. Sekalinya dikerjai, Ardian dan gengnya tak akan melepasnya. Tapi aku merasa, Ervan tidak sedang mencari aman agar Ardian berhenti mengoloknya. Dia hanya mencari cara agar dia bisa mengamatiku di sekolah tanpa takut hubungan kami tercium. Karena Ardian dan gengnya selalu nongkrong di depan kelasku.
"Kalau gitu, kita rayain berdua aja ulang tahunmu itu. Malam Minggu besok siap-siap, ya? Kita makan malam di luar."
Aku terhenyak. Ini pertama kalinya Ervan mengajakku keluar. Dan aku pastikan, malam spesial itu akan menjadi yang tak terlupakan! ©