Fey mengerjapkan matanya sejenak, mengamati ruangan di sekelilingnya yang terasa asing baginya. Sesaat setelah seluruh kesadarannya terkumpul, perlahan semua memori tentang kejadian yang telah dialaminya beberapa saat yang lalu mulai berkelebatan dalam benaknya.
Tangannya terulur ke arah kepalanya, menarik kuat rambutnya untuk menghentikan kelebatan memori yang terus bergentayangan dalam benaknya.
Matanya kembali menelusuri ke arah tubuhnya dan mendapati bahwa dirinya tengah dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun, hanya seuntai selimut tebal yang membungkus tubuhnya saat ini. Sementara pakaiannya telah berserakan di lantai tanpa bisa dipakai lagi.
Ketika hendak beranjak turun dari single bed yang di tempatinya, dapat dirasakan nyeri yang mampu membuat Fey menitikkan air matanya meringis menahan sakit.
Meskipun ia merasa sakit di sekujur tubuhnya, akan tetapi rasa sakit itu tak sebanding dengan rasa sakit yang ada di hatinya. Ia benar-benar merasa dilecehkan oleh lelaki biadab itu.
Setiap bekas jejak yang lelaki itu tinggalkan di tubuhnya terasa begitu menjijikkan baginya.
Sesuatu yang selama ini telah ia jaga dengan sangat, kini telah direnggutnya. Pandangan Fey kini kosong, kedua bola matanya kini tak lagi memancarkan kehidupan. Bahkan air mata pun rasanya telah enggan untuk menetes. Ia telah kehilangan sesuatu yang berharga untuknya.
Entah apa yang akan dilakukan keluarganya jika sampai mengetahui hal ini. Masihkah mereka akan memaafkannya? Atau apakah dia akan dibuang oleh keluarganya.
Memikirkan itu semua, malah semakin membuat Fey merasa pening di kepalanya. Pandangan matanya semakin memburam, hingga lama-kelamaan semuanya terasa kabur dan akhirnya kegelapan mengambil alih dunianya.
Fey jatuh tidak sadarkan diri. Setelah beberapa saat, tampak masuk seorang pria yang membawa sesosok wanita paruh baya dengan daster yang menjadi pembungkus kulitnya yang sengaja dia bawa untuk membersihkan tubuh Fey dan juga untuk mengenakan pakaian untuknya.
Tak lama setelahnya, masuklah sekumpulan bodyguard yang segera membopong tubuh Fey untuk dibawa masuk ke dalam sebuah mobil berwarna hitam yang sudah disiapkan.
***
Suasana kampus kini telah menjelang sore dan secara kebetulan hanya ada beberapa mahasiswa yang berada di kampus tersebut. Sehingga tidak sulit bagi para bodyguard tersebut untuk menutup mulut para mahasiswa yang tengah melihat mereka tengah membopong Fey, atau bisa dikatakan menculik?
***
Ketika Fey mengerjapkan matanya, lagi-lagi suasana asing yang didapatinya.
Akan tetapi ketika menengok ke bawah, keadaannya telah berbeda. Tubuhnya tidak lagi dalam keadaan polos, tetapi telah terbalut pakaian baru yang berbeda dengan pakaiannya.
Entah siapa yang telah memakaikannya pakaian, itu tidak penting lagi baginya.
Suara pintu yang dibuka tak mampu menyadarkan Fey dari kebingungannya. Fey masih tetap bergeming memandang kosong ke arah sekujur tubuhnya.
Sesosok berbadan tegap dengan setelan jas armani lengkap, tampak berjalan ke arah Fey. Matanya yang berwarna abu-abu memandang lurus pada Fey yang bahkan tak menggubris kedatangannya sama sekali.
"Aku tidak menyangka kalau kau masih perawan. Tapi aku tidak pernah menyesal menjadi yang pertama untukmu." Perkataannya perlahan mampu menyadarkan Fey yang lantas membuat Fey menatapnya dengan nyalang.
"b******k!" teriak Fey sambil mengepalkan tangannya kuat, bahkan kukunya tampak memutih akibat kepalannya yang begitu erat.
"Ku akui itu memang diriku," jawab pria ini dengan entengnya.
"Apa maumu?" Dengan pandangan kosong dan putus asa, Fey berkata dengan lirih sambil meredakan emosinya yang sempat terpancing.
"Kau tanya mauku?" Sebuah kekehan kecil terukir di bibirnya sambil melangkahkan kakinya ke arah Fey.
"Yang kuinginkan adalah," lelaki yang bernama Arnold tersebut memberi jeda selama beberapa saat, sebelum kemudian melanjutkan perkataannya, "aku menginginkanmu menjadi pemuas nafsuku." Arnold menyentuh dagu Fey dengan tangan kanannya.
PLAKKK
Fey menepis tangan Arnold di dagunya, lalu menampar keras pipi kiri Arnold.
Hal itu membuat Arnold sedikit terkejut dan mampu membuat Arnold memegang pipinya yang terasa panas, lalu diikuti dengan seringai licik dia kembali berucap "ternyata nyalimu besar juga sugar... tapi itu tak mampu membuatku mengubah keputusanku untuk memilikimu."
Fey tak lagi menggubris perkataan Arnold, ia tetap diam tak bergeming dengan pandangan kosong.
"Sebentar lagi pramusaji akan datang menbawa makanan. Pastikan kau memakannya, karena akan sangat merepotkan jika kau sakit." Arnold berjalan meninggalkan Fey.
Secara perlahan Fey menolehkan pandangannya ke samping. Suasana di luar tampaknya tengah hujan deras disertai dengan adanya petir. Bahkan langit pun tampak menghitam tak berbintang.
Fey menurunkan kakinya berpijak pada dinginnya lantai marmer. Tak dipedulikannya rasa sakit yang dirasakannya di area sensitifnya. Ia mulai melangkahkan kedua kakinya menuju jendela.
Memandang hujan dengan kilatan petir yang menyambar-nyambar. Tak lama kemudian ia kembali melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, membuka sebelum kemudian mengunci pintunya dari dalam.
Bagai mayat hidup, ia mengisi bath up dengan air dingin. Membuka pakaiannya satu per satu dan mulai merendam dirinya dalam dinginnya air dalam bak mandi.
Fey terus menerus menyabuni seluruh tubuhnya dengan kasar, bahkan air matanya pun enggan menetes.
Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu diikuti suara roll roda makanan yang dibawa masuk ke kamar, lalu sekian detik kemudian terdengar pintu ditutup dari luar.
Fey menyudahi acara mandinya lalu mengenakan bathrobe yang tersedia di dalam kamar mandi dan melangkah keluar.
Fey menatap ke arah makanan yang diantar pramusaji tadi dan berjalan ke arahnya, mengambil sebilah pisau buah di atas piring lalu kembali melangkahkan kakinya memasuki kamar mandi.
Fey tersenyum lirih, sebelum kemudian menaruh sebilah pisau buah tadi di atas urat nadinya, kemudian menyayat pergelangan tangannya dengan kuat hingga cairan merah pekat memancar keluar dari urat nadinya yang tersayat.