Suasana malam di tengah hutan memang berbeda dengan suasana saat Aksa camping. Apakah dia akan berani jika dia berjalan sendiri nanti? Dengan tubuh yang selalu ia sejajarkan dengan jalan kakek Monggo, Aksa sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri. Semuanya gelap. Kakek monggo hanya membawa obor yang ia hidupkan dengan korek milik Aksa.
Satu hal lagi yang Aksa harus ingat. Ia harus membawa senter saat melakukan perjalanan lagi. Kalau saja dirinya tak malu sebagai lelaki, mungkin dari tadi dia sudah menggandeng lengan kakek Monggo.
Sebelumnya Aksa sama sekali tak pernah memikirkan akan berjalan di tengah hutan dengan suasana seperti ini. Tapi dia harus membulatkan tekatnya. Demi mama, dia harus membawa pulang sang ayah sekaligus kakek yang bahkan tak pernah ia temui.
Aksa mulai berfikir kalau di hutan ini bisa saja ada binatang buas yang mengintai. membuatnya tak ingin jauh dari langkah kakek Monggo.
Perjalanan yang lama membuat Aksa sudah kembali lelah. Lututnya mulai ngilu. Dan perutnya sudah berbunyi menandakan waktunya mengisi amunisi.
"Kamu lapar?" Tanpa Aksa laporan pun, kakek Monggo sudah bisa menebak dengan tepat.
Sedangkan Aksa hanya diam tak menjawab. Hanya terus mengikuti jejak kakek Monggo yang berbelok. Ia bahkan tak bisa mengingat bahkan mengenali jalanan yang telah ia lalui. Semuanya terlalu gelap.
Aksa terus berjalan mengikuti Kakek Monggo sampai mendengar suara Air beradu. Ia tahu kalau itu adalah sungai. Benar saja ada sungai yang tak terlalu curam karena banyak diisi dengan bebatuan kecil bahkan sampai yang besar. Meskipun gelap, sungai itu tetap terlihat karena mampu memantulkan cahaya bulan. Di samping sisi sungai tersebut pun tak ada pohon tinggi. Malah di tumbuhi banyak sekali pohon pohon berbuah yang tingginya tak sampai 3 meter.
Aksa memilih duduk di tepi sungai dan membasuh wajah lusuhnya. Air yang dingin itu terasa sangat segar.
Aksa mengamati kakek Monggo yang tengah memegang pohon ketela. Dan Aksa seketika tercengang saat pohon itu tercabut tanpa ada kekuatan yang di kerahkan kakek monggo. Hanya memegangnya dan mengangkatnya layak mengangkat ember kosong.
Tanpa diperintah, Aksa berinisiatif untuk membuat Api di tepi sungai. Memilih lokasi yang tak jauh dari bebatuan besar. Agar ia bisa beristirahat sejenak.
Ranting kering dan dedaunan yang dikumpulkan olehnya kini telah menjadi api unggun. Dengan cahaya tersebut dirinya mengintip jam tangan miliknya dan memastikan arah dengan kompas yang ada di jam tangannya tersebut. Pukul 01:30 dini hari. Pantas saja dia sangat lelah ternyata sudah larut malam.
Aksa mengamati aliran air sungai yang ia tahu mengarah ke utara. Lalu mengamati bulan yang terang untuk membantunya mengolah keberanian.
"Makanlah ini dan masukkan singkong ini ke dalam api itu!" Aksa menoleh dan mendapati Kakek monggo dengan 3 buah jambu di tangannya.
Aksa tersenyum girang menanggapinya. Setidaknya ia bisa mengganjal perutnya dengan jambu tersebut sambil menunggu singkong bakarnya matang.
"Kita sebaiknya bermalam di sini." Ucap kakek monggo yang diangguki oleh Aksa. Ia sudah memilih batu besar yang kini ia duduki untuk tidur nanti.
Pandangan Aksa kembali ke sungai melihat banyak hewan kecil yang melekat di bebatuan. Seperti kerang yang berbentuk kerucut.
"Apa itu kerang yang enak di makan kek?" Tunjuknya pada Kakek Monggo yang duduk di depan api unggun.
"Itu namanya sumpil. Kau boleh memakannya kalau bisa." Ucapnya tanpa menoleh ke sungai.
"Kalau bisa?" Beo Aksa mencari kebenaran.
"Ya, sumpil itu isinya kecil. Kakek tak mau mengolahnya. Terlalu rumit dan tidak mengenyangkan."
Aksa berpikir sejenak dan beranjak dari duduknya. Berjalan menuju sungai dan mengumpulkan beberapa sumpil tersebut, lantas memecah cangkangnya dengan batu lalu mengambil isinya. Ini lebih mudah dari yang ia pikirkan. Kulit kerang dara yang biasa mamanya beli di pasar bahkan lebih keras dari ini.
Aksa kembali di depan api dengan membawa segenggam sumpil bersih. Hanya saja sekarang ia berpikir bagaimana cara untuk memasaknya.
"Kau memerlukan kayu yang sangat kecil untuk membakarnya bukan?" Seru kakek Monggo mengamatinya.
"Benar. Aku akan mencarinya." Ucap Aksa meletakkan sumpil tersebut di atas batu dan beranjak mencari kayu kecil.
"Lupakan, mana ada kayu kecil untuk menusuk hewan sekecil itu." Ucap Kakek Monggo memperingatkan. Tentu saja karena sumpil itu hanya seukuran kuku sedangkan ranting di sini seukuran jari.
Tak selang berapa lama aksa kembali dengan membawa kayu kecil yang masih basah. Dengan alasan kayu yang masih basah tak akan rapuh. Jadi dia mengambilnya melalui pohonnya langsung.
Kakek Monggo sedikit tertegun dengan Aksa yang dengan mudah menusuk sumpil tersebut.
"Dari mana kau mendapati kayu seperti itu?"
"Di sini banyak kek, aku hanya meruncingkan saja." Jawab Aksa ringan.
"Sakti juga kau." Ucapnya lagi sambil membalik singkongnya di dalam api.
"Bukan sakti kek, tapi Kreatif." Seru Aksa sambil mengeluarkan pisau kecil miliknya. Pisau tersebut bisa di lipat. Bisa di jadikan ginting, sendok, garpu bahkan pisau kecil.
"Bukan kah sudah ku katakan jangan membawa s*****a?"
Aksa tersenyum. "Bukanya kalau terlihat kek? Itu tak akan terlihat."
"Mereka bisa saja memeriksa dirimu saat memasuki kerajaan Kambalang." Peringat Kakek Monggo kepada Aksa.
Lagi lagi Aksa tersenyum. Menunjukkan pisau miliknya pada kakek Monggo. Ia melipatnya dan merubahnya menjadi sebuah sendok. Seketika membuat Kakek Monggo mengagumi barang barang yang di miliki Aksa.
"Itu?" Sela Kakek Monggo namun tak tahu nama barang tersebut.
"Ini akan aman kek." Ucap Aksa membanggakan.
Aksa menyimpan kembali pisau lipatnya dan membolak-balik sumpilnya sampai matang. Memberikan satu tusuk Pada kakek Monggo yang langsung memakannya dengan lahap.
Ia juga memakan sumpil jatahnya dengan pelan. Menikmati rasanya. Ah andai saja ditambah saus Barbeque atau saus asam manis pasti akan sangat lezat lagi.
Menyaksikan suasana malam di tepi sungai sambil memakan singkong bakar adalah hal yang menyenangkan buat Aksa. Hal yang membuatnya bisa menyatu dengan alam. Apalagi di sini udara masih sangat terjaga. Bersih tanpa polusi.
Aksa mulai mengantuk. Melihat ke arah Kakek Monggo tang sudah terlelap di atas batu pilihannya. Meringkuk seperti seorang biasa. Seperti laki laki tua yang lelah. Padahal Aksa tahu. Kakek Monggo adalah lelaki tua sakti. Berjalan sejauh ini tak sekalipun aksa melihat raut lelah di wajahnya.
Akhirnya ia pun menyerah pada rasa lelah. Ia sibuk memilih posisi tidur ternyaman di atas batu yang keras. Sesaat membuatnya ingat spring bed miliknya. Yang meskipun kecil tapi bikin rindu.
Dalam lelapnya, Aksa merasa dirinya tengah bertemu dengan seorang kakek dengan rambut putih yang memanjang. Tersenyum padanya dan mengajaknya ke suatu tempat. Aksa tahu tempat itu adalah perbatasan kerajaan Kambalang. Mimpi itu mengingatkan dirinya pada mimpi mimpi sebelumnya. Iya mimpi itu sama seperti mimpinya sebelum berada di tempat ini.
Aksa mulai bergerak gelisah. Namun seketika mimpinya berubah menjadi sebuah pertemuan dengan seorang gadis cantik. Gadis yang ia temui tempo hari. Gadis itu datang mendekat dan semakin dekat. Membuat Aksa tak mampu menahan diri. Gadis itu tersenyum lembut lalu menyentuh bahunya dan memandangnya lekat. Dan Aksa hanya terdiam tanpa ingin melakukan apapun. Aksa terdiam saat merasa gadis itu seolah ingin menciumnya. Namun seketika ia kecewa karena tersadar dan langsung membuka mata. Wajah Kakek Monggo sudah berada tepat di depan wajahnya. Di sisi lain tangan kakek Monggo menggoyangkan bahunya berniat untuk membangunkannya.
Sial. Hanya mimpi rupanya.