COLD WEDDING - EP05

1032 Kata
Ditatapnya Edgar yang berada dihadapannya. Begitu tenang, dingin dan tentu saja tampan. Edgar Allandra namanya. Bahkan hanya namanya saja yang disebut, entah kenapa Silla merasakan beribu kupu - kupu berterbangan diperutnya. Debaran jantung yang begitu cepat membuat Silla lepas kendali. Laki - laki itu sudah memporak porandakan hatinya sedari dulu. Jangan tanya berapa lama hari yang di habiskan untuk mencintai dalam diam. Dengan penuh keberanian Silla memanggil Edgar. Dia tersenyum dan memulai pembicaraan terlebih dahulu. "Bang, gimana perkembangan caffe- nya?" tanya Silla sambil menatap Edgar. Edgar mendongak. Di tatapnya dengan tatapan biasa. "Baik." Setelah menjawab dengan singkat. Edgar kembali menatap ponselnya. Jemarinya mengetik di atas layar ponsel, entah apa yang sedang dia ketik. Silla, yang merasa terabaikan, menghela napasnya. Dia merasa sia - sia, acara penjomblangan yang tak tau akan berakhir nihil, nampaknya. Terdiam, Silla- wanita itu berpikir sejenak. "Apa segitu nggak menariknya gue, di mata Bang Edgar?" Alea, yang berada di ujung merasa gemas. Dia berdecih, m******t bibirnya yang kering. "Kok malah diem - dieman? Sumpah ya. Gemes gue liatnya." Alea, wanita itu mulai merogoh tasnya. Dia mengambil ponselnya, dan membuka aplikasi chat, mengirim pesan singkat untuk Silla. Silla, yang berada di ujung sana, merasa ponselnya bergetar menoleh. Nama Alea, muncul di pop- up notifikasi wanita itu. Alea. Silla, demi Tuhan. Lo itu bukan pajangan di sana. Interaksi kek, sama Abang gue. Kalau mau pakai bahasa batin, mending balik sono. Gemes gue liatnya dari jauh. Silla, menatap Alea dari jauh dan mengangkat bahunya bingung. Dia kemudian mengetik papan keyboard membalas pesan singkat wanita itu. Silla. Alea... gue nggak tau harus ngapain. Jangan paksa gue. Gue udah gerogi maksimal. Ini aja nahan napas karena nggak kuat berduaan sama Abang elo. Melihat pesan singkat dari Silla. Alea mendengus sebal. "Astaga, gue kira suhu. Nyatanya cupu." Wanita itu memutuskan untuk pergi bergabung pada meja di mana Edgar dan Silla untuk duduk berdua. Alea, duduk dengan raut wajah menahan sakit. Edgar, menyadari kedatangan Alea menatap aneh. "Dari mana aja kamu, lama amat." "Ini Bang... aduh, perut Lea sakit banget. Kayak- nya memang salah makan deh tadi sebelum kesini." Edgar, melihat sang adik kesakitan pun menjadi panik. "Lea, kamu jangan main - main ya. Nggak usah nge- prank Abang. Beneran sakit?" "Iya, Bang. Sakit beneran ini, aduh..." "Yaudah, Abang anterin kamu ke rumah sakit aja ayo!" Alea memelotot mendengarnya. "Eh- eh. Nggak usah Abang!" "Nggak usah? Kamu ini gimana. Tadi bilang- nya sakit. Tapi Abang anter rumah sakit malah nolak. Ayo, buruan. Nanti malah parah penyakitnya!" desak Edgar. Alea menggelengkan kekeuh kepalanya. "Eng- eng, aku udah pesan ojek kok Bang! Kayaknya, ini masalah itu... apa ya namanya, datang bulan. Jadi mau periksa bulanan rutinan ke dokter kandungan deh, Abang mau ikut?" "Tadi sakit perut salah makan? Tapi, sekarang katanya datang bulan. Yang benar manaa?" "Dua - duanya! Iya..." "Ha?" "Ya- ya intinya pertamanya tuh sakit perut kan Bang, terus merambat ke sakit datang bulan. Gitu," jelasnya dengan lega. "Nah ini udah nggak sakit Abang lihat. Udah sembuh?" Alea menggigit bibirnya dan kembali memanipulasi mimik wajah, sambil memegang perutnya. "Aduh... aduh... sakit kok!" Alea pun berdiri, dia celinguk ke kanan dan ke kiri. "Bang kayaknya ojek onlinenya dah datang deh. Lea pergi duluan ya. Mau periksa ini, bye - bye Abang, Silla!" Silla hanya diam, mengerjapkan mata bingung dengan apa yang terjadi. "Dia beneran sakit atau?" Ting! Alea. Gue udah nge- lakuin gencatan s*****a level dua. Lo harus mikir, gimana melakukan pergerakan selanjutnya. Good luck, bestie! Silla. Oke, thanks. Silla, menyimpan ponselnya di ponsel dan tersenyum tipis. Kali ini, giliran dia yang harus bergerak. Alea, sudah cukup membantu dia mendekatkan pada Abangnya. Edgar terdengar mendengus. Silla, memberanikan diri untuk bertanya. "Eng- ada masalah Bang?" Edgar yang di panggil mendongak. "Enggak. Ini, biasa Alea. Main suruh saya saja." "Nyuruh?" "Iya, antar kamu pulang. Katanya kamu nggak bawa mobil." "Oh, iya. Nggak bawa mobil aku, Bang." "Yaudah ayo, saya mau ada meeting habis ini. Bareng aja." "Tapi, nggak searah kan sama kantornya Bang Edgar?" "Ya memang. Tapi, kalau adik saya sudah minta tolong, nggak mungkin saya menolaknya, Silla. Ayo!" Edgar melangkah bangkit keluar terlebih dahulu. Silla yang melihat punggung lebar Edgar, merasa senang bahagia. "Yes! Gue balik bareng Bang Edgar. Yes!" *** Di mobil milik Edgar, hening. Silla, tak se- bebas seperti sebelumnya. Dia diam, mengatup bibirnya dan duduk tegap menghadap ke depan. Edgar, sama hal- nya seperti wanita itu. Duduk diam, tenang, sambil menyetir mobilnya. Silla, memutar otak dalam diamnya. Wanita itu memikirkan otaknya, apa yang bisa dia gunakan sebagai topik, agar ada sebuah pembicaraan dengan Edgar. Mata lentiknya memutar ke kaca mobil. Di jok belakang, ada jas putih, yang dia yakini jas kedokteran milik keluarga Edgar sepertinya. "Bang, itu di belakang jas punya Om Ezra ya?" Edgar melirik ke belakang. "Iya. Papah biasanya suka lupa kalau sudah terlalu lelah. Sepertinya tertinggal di mobil." Sila menggaguk kepala. "Ah, I see. Boleh tanya sesuatu Bang?" Edgar tanpa melirik menganggukan kepala. "Apa?" "Abang kan background keluarga kedokteran ya. Kenapa nggak masuk kedokteran juga, sama kaya Alea, malah suka bisnis?" "Pasti Alea yang cerita?" Silla menganggukan kepalanya mengiyakan pertanyaan Edgar. "Ada beberapa hal yang tidak bisa saya jawab dengan orang asing. Jadi kamu buang jauh - jauh pertanyaan kamu apapun tentang saya." Silla paham, dia belum cukup pantas bertanya apapun tentang Edgar. Walau dalam hati ia merasa ingin memiliki Edgar. Ia harus sadar, siapa dia dan Edgar. "Habis ini belok ke kiri kan?" "Oh iya bang. Lurus trus dirumah cat putih no 27 itu rumah aku." Hening, tak ada yang berbicara lagi. Kemudian beberapa menit mereka sampai ke sebuah rumah besar cat putih. "Makasih ya bang. Abang mau mampir, ada Bunda kok di rumah." "Mungkin lain kali." Silla mengangguk, dan kemudian turun dari mobil milik Edgar. Dia tersenyum mengantar kepergian pria itu. "Hati - hati ya Bang. Makasih." Mobil Edgar pun lalu menjauh dari sana. Silla, menghela napas, dan kemudian merogoh ponselnya. Alea. Gimana sukses? Sukses dong, masa nggak? Ceritaaaa gue nggak mau tau. Awas ya abis have fun sama Abang gue, nggak mau cerita! Lihat aja nanti huft, nggak gue restuin jadi Kakak ipar gue!!! Bales cepetan Silla!! Silla. Gue, nggak ngapain aja sama Bang Edgar. Gue ngantuk, mau tidur. Bye! Silla menyimpan ponselnya dan kemudian masuk ke dalam rumahnya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN