Bab 6: Bian Dan Rendy

1157 Kata
Perkataan Bian dan Siska masih terngiang jelas di telinga Bulan. Luka-lukanya semakin menganga, seolah ditaburi oleh garam. Bulan mengepalkan tangannya tanpa sadar dan Rendy yang menggendongnya merasakan jantung Bulan berdetak cepat, seolah gadis itu sedang menahan amarah yang sangat besar. Rendy paham perasaan Bulan. Pengkhianatan dari orang terdekat adalah luka sangat dalam dan susah untuk memaklumi apapun alasannya. Alih-alih membawa Bulan ke kamarnya, Rendy menuju lift. Bulan tak peduli kemana pemuda itu membawanya, ia bahkan tak peduli akan hidup atau mati saat ini. Saking terlukanya, ia bahkan tak menangis. Entah kenapa, seolah hatinya telah mati karena teriris-iris, apalagi orang yang mengirisnya adalah dua sosok yang sangat ia sayangi. Bulan ingat saat makan malam bersama keluarganya ia mengakui hubungan terlarangnya dengan Bian, bahkan sampai detik ini Bulan belum bisa memaafkan dirinya sendiri atas kecelakaan yang menimpa Siska. Bulan masih ingat kemarahan Papanya dan kakaknya. Bahkan papanya menyebutnya seorang pengkhianat. Ia masih ingat bagaimana Mamanya juga tak berbicara selama beberapa hari padanya, dari situ ia sadar keluarganya sangat menyayangi Siska. Lalu bagaimana mungkin Siska bisa melakukan hal buruk pada mereka yang menyanyanginya melebihi Bulan? Air matanya akhirnya jatuh juga ketika ia ingat bagaimana sibuknya Papanya menyiapkan kejutan untuk Siska, bahkan ketika Bulan dan Siska kelaparan, Papanya lebih memilih memberi makan Siska terlebih dahulu darinya. Bulan selalu iri, tapi ia tak bisa berbuat banyak. Ketika keuangan perusahaan Papanya colapse, keluarga Siska yang mengulurkan tangannya terlebih dahulu. Bulan selalu mencoba memberi pengertian pada dirinya sendiri bahwa mungkin Siska lebih membutuhkan sosok Ayah darinya, mengingat Ayah kandungnya meninggal dunia saat ia berusia dua tahun dan meski Papa tirinya sangat menyayanginya, tetap saja ia mungkin iri melihat Bulan yang memiliki keluarga sempurna karena sebenarnya Siska tak pernah tahu bahwa ia bukan anak Papanya yang sekarang. Tapi kini apa? Apa yang telah dilakukan keluarganya sampai Siska begitu tega melakukan hal kejam seperti itu padanya. Pada keluarga yang sudah menganggap dirinya bagian dari keluarga itu sendiri. Bahu Rendy basah oleh air mata Bulan dan ia hanya diam, seolah membiarkan Bulan menangis sepuasnya di bahunya. Rendy ingat dulu mamanya juga menggendongnya di punggung saat ia menangis. Di punggung mamanya ia merasa tenang dan nyaman sehingga ia bisa menangis sepuasnya karena kesal kepada teman-temannya dan juga tak perlu ada yang tahu bahwa Rendy, lelaki pemberani juga bisa menangis meski diam-diam. "Kita harus pergi dari Jakarta!" kata Papa Bulan. "Tapi, Pa...?" "Kamu harus lupakan Bian, Bulan!" kata Mamanya tegas dengan tatapan tajam. Mbak Maya yang biasanya membelanya malam itu terdiam. "Kita pindah setelah kamu lulus sekolah dan menyelesaikan pertandingan basketmu!" tambah Papanya lagi lalu Papanya bangkit dari kursinya dan meninggalkan makannya yang masih banyak. Ia tak berselera makan ketika Bulan mengakui kedekatan dan perselingkuhannya dengan Bian dibelakang Siska. Saat itu Bulan sadar bahwa perbuatannya dengan Bian tak hanya melukai Siska tetapi juga melukai keluarganya sehingga dengan berat hati ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Bian karena rupanya keberadaanya di Jakarta masih belum cukup. Bian tetap berkunjung meski diam-diam. Baik Bulan dan Bian benar-benar merasa tak bisa dipisahkan. Jadi mungkin keputusan Papa dan keluarganya demi kebaikan bersama. Itu semua dilakukan keluarga Bulan agar jarak antara Bulan dan Bian bisa lebih dijaga dan juga agar Siska tak ingat apa yang dilihatnya sebelum kecelakaan yang menimpanya. Begitu besar pengorbanan keluarga Bulan dan itu ternyata belum cukup untuk menebus kesalahannya kepada Siska sehingga Siska tega melakukan hal kejam seperti itu pada Bulan saat ini. Rendy dan Bulan sampai di atap rumah sakit. Angin malam yang dingin menerpa Bulan, membuatnya merasa kedinginan. Rambutnya yang panjang bebas bergerak nakal. Rendy menurunkan tubuh Bulan perlahan. "Gue pikir lo sudah gak berniat untuk bunuh diri lagi, bukankah begitu?" katanya. Bulan diam memadang lurus-lurus dan berjalan pelan-pelan dengan tangan yang meraba-raba udara. Rendy tak berniat membantunya sama sekali. Ia suka memerhatikan Bulan seperti itu, entah kenapa. Bulan sampai di dinding beton yang menurutnya itu mungkin dinding penghalang yang menahannya untuk tak terjatuh dan jika benar demikian, ia hanya perlu memanjat dan menjatuhkan dirinya lalu ia akan terhempas jauh dan mati dengan mudah. Seluruh luka hatinya akn hancur bersamaan dengan tulang-tulangnya. Selama di lift tadi ia memperkirakan waktu kedatangannya sampai atap rumah sakit ini. Cukup lama yang berarti lantai rumah sakit ini juga cukup banyak. Rumah sakit ini cukup tinggi dan ia yakin, jika ia melompat ia akan jatuh dan mati seketika. "Jika masih tetap ingin bunuh diri, silahkan, ketinggian gedung rumah sakit ini mampu membuatmu mati seketika, jika lo beruntung hidup kemungkinan lo akan cacat..." kata Rendy. Lelaki itu tanpa perasaan bersalah mengatakannya dengan sangat ringan, membuat Bulan ingin membalasnya dengan kejam juga. "Jika benar begitu, tak perlu repot-repot halangin gue tadi..." "Oke. Itu karena gue gak mau ada pasien mati bunuh diri di kamar inap, citra rumah sakit akan buruk" Bulan menoleh dan menajamkan matanya. Meski ia tak bisa melihat tapi ia cukup yakin Rendy tahu arti tatapan tajamnya. "Jadi lo dokter?"tanya Bulan,  Rendy terkekeh mendengarnya. "Bisa-bisanya lo berbicara seperti itu sebagai seorang dokter?!" Tak terima dengan penghinaan Bulan, ia mendekat. "Denger ya nona manja! Gue udah berusaha mencegah lo bunuh diri, tapi jika menurut lo mati lebih baik dari pada balas dendam kepada orang-orang yang melakukan perbuatan keji pada lo,  gue bisa apa?" katanya. "Mereka akan menyesali kematianmu paling lama setahun, dan lelaki b*****t yang mengatakan mencintaimu itu kupastikan akan menikah dengan temanmu! aku bahkan akan mengirim undangan pernikahan mereka ke pusaramu!" kata Rendy. Bulan tercekat, amarahnya masih ada dan napasnya naik turun. Perkataan Rendy baginya ada benarnya juga. Bulan yang sedari tadi menahan amarahnya dengan kuat melepaskannya dengan teriakan sekencang-kencangnya. Ia berteriak berkali-kali hingga Bian yang berada di lantai bawah yang sedang mencarinya kebingungan mendengar terikannya dan mendongak ke atas. Ia melihat Bulan di atap rumah sakit dengan perasaan nyeri yang dalam. Bian takut kehilangan Bulan, ia tak siap kehilangan orang yang paling amat dicintainya itu. Ia berlari bagai orang gila dan tak menghiraukan Siska yang berteriak memanggil namanya dan mengejarnya. Saat Siska jatuh, Bian bahkan tak berniat menolongnya. Saat ini hanya Bulan yang ada dalam otaknya. Mendengarnya mengalami kecelakaan saja sudah membuat dunianya terasa terbalik, jika ia benar-benar kehilangan Bulan, ia tak yakin bisa hidup di dunia ini lagi. Bian sampai di atap rumah sakit dengan napas yang terengah-engah. Ia tak menyadari kehadiran Rendy yang mematung tak jauh dari sisi Bulan. Bian berlari ke arah Bulan dan Rendy mengamatinya dengan mata tajam yang penuh amarah tertahan. Bian menarik Bulan agar menjauh dari temboh beton itu. Bulan yang menyadari kehadiran Bian, mendorong Bian kuat-kuat. "Pergi lo dari sini!" usir Bulan kesal. Air matanya masih tak mau berhenti menangis. Ia masih enggan mempercayai bahwa orang yang sungguh dicintainya mengkhianatinya seperti ini. "Hai, Bi!" sapa Rendy. Bian yang masih tersungkur di lantai menatap sosok lelaki di hadapannya yang tersenyum kecut ke arahnya. Bian terhenyak dan tak menyangka dengan apa yang dilihatnya saat ini. Rendy mendekat. "Kira-kira lima tahun ya kita gak ketemu?!" kata Rendy lagi. Bulan yang mendengar hal tersebut bingung apa yang dikatakan oleh pemuda yang bernama Rendy tersebut. Bian dan Rendy bisa kenal, bagaimana bisa? Hubungan apa yang mereka miliki? pikir Bulan. Disamping itu semua, Bian tak menyangka akan bertemu dengan Rendy di saat seperti ini. Ia tak percaya sosok dihadapannya berdiri dengan begitu percaya diri. Bahkan matanya tersirat dendam yang terpatri rapi untuknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN