Bian tak ingat tepatnya kapan kali terakhir ia bertemu dengan sahabatnya saat mereka masih sama —sama kuliah dulu. Saat wisuda atau saat pemakaman adiknya Rendy? Ia tak ingat pasti. Juga hari ini ia tak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan Rendy di Malang. Dan benarkah dia salah satu dokter di Rumah Sakit Syaiful Anwar? Bian juga tak mengerti bagaimana Bulan dan Rendy bisa sama-sama berada di atap rumah sakit. Ada apa sebenarnya diantara mereka berdua?
Tak ingin berpikir macam-macam, Bian yang masih bingung dan bertanya-tanya tentang keadaan yang tak ia mengerti mendekati Bulan lagi. Gadis itu entah mengapa marah padanya. Bian membujuk Bulan untuk kembali padanya, tapi Bulan meronta meminta Bian melepaskannya. Baru beberapa jam yang lalu Bian sangat yakin bahwa ia meninggalkan Bulan dalam keadaan terlelap, tapi kini? Di atap rumah sakit? Bagaimana bisa ia bersama Rendy di sini?
Bian menyadari ada sisa-sisa air mata di wajah Bulan. Ia ingin menebak perihal Bulan menangis karena Rendy, tetapi ia tak memiliki bukti kuat untuk itu. Ada rasa cemburu dan amarah yang tertahan saat melihat Bulan bersama Rendy di atap. Siska muncul kemudian dengan napas terengah-engah dan pandangan yang baginya menyesakkan. Ia harus melihat Bian-orang yang dicintainya-mencintai sahabatnya. Ya, seperti sekarang ini. Dan ia membenci hal itu. Bahkan Siska tak merasa bersalah setelah membuat Bulan seperti sekarang ini, buta dan kehilangan seluruh anggota keluarganya.
"Lepasin gue!" Bulan berontak dan berusaha menjauhkan dirinya dari Bian. Ah, kini dia sudah benar-benar tak menghormati Bian lagi. Bulan hanya menggunakan lo-gue kepada orang-orang akrabnya, kepada Bian jika di depan Siska, selebihnya ia berusaha sopan dengan aku-kamu. Ia tidak lahir di Jakarta, ia lahir di Malang untuk itu ia sudah biasa dengan kosakata aku-kamu dan bukan lo-gue. Lo-gue hanya ia gunakan saat ia sekolah di Bandung dan Jakarta.
Rendy yang kesal karena Bian tak membiarkan Bulan sendiri akhirnya mengambil tindakan dengan berjalan cepat dan menarik tangan Bian serta mendorongnya menjauh dari Bulan.
"Lepaskan! Pasienku sedang tak suka dengan situasinya saat sama kamu!" kata Rendy pelan dan tegas dengan sorot maja tajam. Dia menghampiri Bulan dan menggendong Bulan dengan kedua tangannya.
Bian tercengang begitupun dengan Siska yang masih tak percaya dengan apa yang ia lihat hingga sahabatnya dan dokter tersebut melewatinya.
Sesampainya di kamar, Rendy mengunci pintu kamar Bulan dari dalam dan meletakkan Bulan di atas kasur, memasang jarum infus dan mendekatkan wajahnya di hadapan Bulan sampai-sampai Bulan mampu merasakan hembusan napasnya yang segar dan wangi mint mulutnya.
"Dengar! Lo gak perlu berontak seperti tadi! Jika lo memutuskan hidup dan gak berniat bunuh diri lagi, satu hal yang harus lo lakukan, hancurkan hidup orang-orang yang menghancurkanmu!" kata Rendy tegas. Bulan masih menangis. Gadis yang belum genap berusia sembilan tahun itu tak bisa berpikir jernih dan dewasa.
Rendy memalingkan wajahnya ke arah kaca kecil di pintu dan melihat Bian sedang berusaha memasuki kamar Bulan dengan amarah yang tertahan. Bian bahkan berusaha membuka secara paksa pintu kamar Bulan yang terkunci dari dalam. Rendy kesal bukan main. Pemuda itu tak pernah berubah, selalu seenaknya sendiri dan emosian. Ia jadi ingin bermain-main.
"Lo tahu? Sepertinya Tuhan sengaja mempertemukan kita untuk membalas dendam pada orang yang sama..." kata Rendy. Ia menjauhkan wajahnya dari Bulan ketika Bian berhasil masuk secara paksa dan merusak gagang pintu.
"Sepertinya lo tetap seperti dulu, tak terkalahkan dalam tournamen judo... Tapi tetap saja, gue harus minta ganti rugi atas rusaknya pintu di kamar VIP ini!" kata Rendy seraya melangkah pergi. Baru dua langkah ia berhenti dan berbalik memandang Bulan yang memunggunginya. "Jika sudah hilang niat bunuh dirimu, kamu bisa datang ke ruanganku untuk terapi, Bulan. Aku juga akan senang hati mendengarkan ceritamu meski aku bukan dokter psikiater dan hanya dokter spesialis penyakit dalam." kata Rendy lagi. Kemudian ia menghilang setelah melirik Siska yang berdiri di ambang pintu.
Setelah Rendy benar-benar pergi, Bian memastikan kondisi Bulan, menanyakan apa ia terluka dan kenapa ia menangis.
"Apa lagi yang tersisa? Kenapa juga gue harus hidup?" tanya Bulan sinis yang membuat hati Bian teriris-iris. Hati Bulan masih diliputi kebencian yang teramat kepada Bian setelah mendengarkan percakapan Bian dan Siska. Bahkan saat ini jika ia sanggup dan bisa ia ingin membunuh Bian dan Siska. Tapi, ia tak sanggup. Benarkah ia mencintai pemuda yang sudah merenggut keluarga darinya? Benarkah ia mencintai pemuda yang menjadikannya yatim piatu? Benarkah ia mencintai pemuda yang menusuk dirinya diam-diam dengan membuat papanya bangkrut dan ketergantungan dengan kelaurga Bian dan Siska? Benarkah ini cinta? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menguasai otaknya.
Bulan tak kuasa lagi. Air matanya pecah. Menyaksikan Bulan seperti itu hati Bian sakit sekali. Ia tak tahu harus berbuat apa. Jika dengan menukar nyawanya keluarga Bulan bisa kembali sehingga gadis yang dicintainya kembali tersenyum, ia rela melakukannya. Tapi ia tak mampu,bahkan jika benar seperti itupun kini hati Bulan masih belum bisa menerima pengkhianatan dan perbuatan Bian. Yang Bulan tahu sekarang hatinya sungguh terluka bahkan ia tak yakin bisa memaafkan Bian meski ia mencintainya. Yang ia ragu, benarkah ia mampu membalaskan rasa sakit hatinya seperti kata dokternya?
"Tinggalin gue sendiri, gue mau istirahat..." kata Bulan sembari merebahkan tubuhnya. Malam ini ia berharap semua yang dia alami hanya mimpi, mimpi dalam perjalanan panjangnya yang menyakitkan dan semoga besok ia bangun dan mendapati keluarganya utuh kembali, serta ia tak perlu mendengarkan apa-apa seperti apa yang ia dengarkan hari ini.
***
Bulan sedang duduk dihadapan Rendy. Semalaman ia memikirkan ucapan Rendy untuk balas dendam kepada Bian dan Siska. Ia sempat ragu-ragu dan tak yakin bisa melakukan balas dendam. Bukankah ia buta?
"Aku tak perlu basa basi, bukankah dokter sudah mendengarkan semuanya di tangga itu?" kata Bulan. Rendy menatap gadis di depannya baik-baik. Bulan terlihat lebih tenang dari semalam dan ia mulai berbicara sopan kepadanya. Rendy cukup terkesima dengan sikap blak-blakan dan terus terang Bulan. Ia mampu melihat bahwa Bulan bukan gadis lemah yang cengeng. Ia gadis kuat yang sedang putus asa. Yah, dia hanya putus asa. "Tapi sebelum itu semua, saya ingin tahu bagaimana anda bisa mengenal Bian? Dan kenapa anda juga memiliki dendam kepadanya?"
"Apa itu perlu?"
"Aku perlu meyakinkan diriku sendiri aku tak salah pilih orang." kata Bulan tegas. Bulan berani, sungguh berani. Pikir Rendy. Bulan bahkan tak terlihat buta di mata Rendy, ia hanya terlihat tak mau melihat sekelilingnya. Bulan tegas dan paham tujuan hidupnya. Ia yakin Bulan juga gigih. Dilihat dari tangan Bulan yang kasar dan beberapa luka ringan yang membekas-bukan dari kecelakaan- Rendy yakin bahwa Bulan adalah seorang atlet.
"Kau atlet? Olah raga apa? Voli? Basket?" Bulan tercengang, tak pernah menyangka bahwa Rendy akan melontarkan pertanyaan yang menurut Bulan tak penting.
“Apa itu penting?” tanya Bulan malas.
"Penting! Aku juga perlu tahu aku bergabung pada tim mana. Seorang pebasket atau pemain volley yang berbakat pasti bisa tahu teman yang cocok untuk mendampinginya bertanding di arena." kata Rendy seolah mengerti apa yang Bulan pikirkan.
"Itu tugas pelatih." Jawab Bulan.
"Aku tahu. Tapi diantara kita, kita lah pelatih itu. Kita yang menentukan team kita sendiri." Kata Rendy tak kalah tegas.
"Basket." Kata Bukan. Sesuai dugaan Rendy.
"Oke. Bian adalah mantan calon almarhum adikku dan juga sahabatku di kampus." kata Rendy yang cukup membuat Bulan tercengang.
“Mantan calon almarhum adik? Maksudnya…”
“Ya… sesuai dugaanmu…” Bulan melongo. Ia tak percaya dengan apa yang di dengarnya.
Mantan calon almarhum adik? Jadi Bian pernah sempat akan menikah dengan adik dokter Rendy? Benarkah itu? Benarkah yang ia dengar ini? Almarhum adik? Adik dokter Rendy meninggal? Kenapa? Kenapa bisa meninggal? Apa karena adiknya meninggal ia ingin balas dendam kepada Bian? Apa meninggalnya karena Bian?