Musim panas
London, 1850
"Adriel."
Suara lembut dan merdu memanggil namanya. Adriel mengenali suara itu. Suara yang sangat ia rindukan yang selalu menemani hari-harinya. Sentuhan hangat di dahinya membuatnya terasa sangat nyaman.
"Bangun, Sayang!"
Suara lembut itu kembali memanggilnya, lalu sebuah kecupan ringan di keningnya. Mata Adriel perlahan-lahan terbuka berharap ia menemukan wanita yang ia rindukan selama ini, tapi yang ia dapatkan hanya kamar yang sepi dan kosong. Perasaanya terasa hampa selama bertahun-tahun. Matahari sore menerobos melalui jendela kamarnya. Air matanya mendesak keluar.
Alexandra dan putranya sudah tidak ada lagi. Mereka mati di depan matanya pada hari ulang tahunnya yang ke-25. Menurut penyelidikan polisi, istri dan anaknya di racun oleh seseorang dan pelakunya belum tertangkap sampai sekarang. Seharusnya hari itu adalah hari bahagianya, tapi berubah menjadi hari terburuk dalam hidupnya. Adriel menyentuh keningnya. Demamnya sudah turun. Ia merasa lega karenanya.
Kemarin sore ia terjebak hujan deras disertai badai saat memeriksa lahan-lahan perkebunannya. Akibat hujan itu ia menderita kerugian yang sangat banyak. Hasil panen sebagian besar gagal, tapi meskipun begitu ladang jagung dan gandumnya masih bisa terselamatkan. Ia pun menjadi demam pada malam harinya.
Adriel menyibakkan selimutnya berusaha bangun dari tempat tidurnya yang berukuran besar. Ia selalu menatap nanar di mana dulu istrinya selalu tidur di sampingnya. Kini tempat itu kosong selama 5 tahun. Adriel sama sekali tidak ada pikiran untuk mencari pengganti istrinya. Biarlah ia hidup menyendiri di kastil tuanya dengan kenyamanan hidup yang ia dapatkan sekarang tanpa ada yang mengganggu privasinya.
Tubuh setengah telanjang Adriel yang berwarna kecoklatan, karena selalu berada di bawah terik matahari banjir oleh keringatnya. Ia meringis ketika kaki telanjangnya menyentuh dinginnya lantai. Adriel berjalan dengan tubuh sempoyongan menuju kamar mandi. Sesekali tangannya mencari pijakan diantara perabot-perabot di dekatnya untuk menahan tubuhnya yang hampir jatuh.
Di dalam kamar mandi, Adriel berdiri di depan cermin. Rambut coklatnya terlihat sangat berantakan, matanya cekung, dan wajahnya terlihat tirus. Ia benci dengan penampilannya sekarang. Duke of Windshire terkenal dengan ketampanannya dan ia sangat bangga akan hal itu, tapi sekarang penampilannya jauh dari kata tampan.
Adriel tidak ingin seorang pun melihat penampilannya sekarang. Ia menuangkan air dari kendi ke baskom, lalu membasuh wajahnya dengan cepat. Sekarang ia sudah terlihat lebih baik setelah menyisir rambutnya, kemudian ia menyeka keringat di badannya.
"My Lord," seru Jonah, kepala pelayannya setelah melihat tuannya keluar dari kamar mandi. "Anda sudah sadar. Syukurlah. Kami sangat mencemaskan keadaan Anda. Saya datang ke sini untuk melihat Anda."
"Keadaanku sudah lebih baik, tapi tubuhku masih terasa lemas."
"Kemarin malam demam Anda sangat tinggi. Saya akan membawakan makanan untuk Anda dan juga memanggil dokter,"kata Jonah dengan wajah senang, lalu meninggalkan kamar.
Adriel kembali ketempat tidurnya dan berbaring. Sekarang ini ia tidak bisa memaksakan dirinya untuk pergi melihat perkebunannya untuk melihat seberapa parah badai merusaknya. Sebelum pulang kemarin sore, Adriel sudah menyerahkan urusan perkebunan kepada salah satu mandornya dan mengharuskan memberikan laporan kepadanya.
Jelas sekali Adriel bukanlah seorang pangeran yang mengendarai kuda putihnya untuk menyelamatkan seorang putri, jatuh cinta kepadanya, dan menikah dengannya. Ia tidak suka cerita-cerita dongeng seperti itu. Baginya cerita dongeng hanya khayalan belaka yang selalu berakhir bahagia selamanya. Sementara hidupnya dipenuhi oleh tragedi. Adriel tidak akan pernah mengendarai kuda putih, karena ia tidak memilikinya selain itu tidak ada putri yang harus diselamatkannya.
Sejak kematian istrinya 5 tahun yang lalu tidak ada lagi garis-garis ketawa di matanya, karena ia tidak pernah tertawa lagi, bahkan ia sudah lupa bagaimana caranya tertawa. Sorot matanya selalu terlihat serius dan selalu berkutat dengan urusan pekerjaannya, sehingga tidak memiliki waktu untuk menghibur dirinya sendiri. Orang-orang terdekatnya selalu menyarankan untuk kembali menikah dengan mencari jodoh di pesta-pesta musiman para bangsawan.
Pesta musiman mencari jodoh akan diadakan di rumah Marcus Sullivan, Earl of Merlonbury esok malam lusa. Adriel mendapatkan undangan pesta dua hari yang lalu dan ia belum menjawabnya akan datang atau tidak. Keluarga Sullivan merupakan salah satu sahabat terdekat keluarganya. Marcus dan ayahnya dulu menjalin persahabatan dan masih berlangsung sampai sekarang, meskipun ayahnya telah meninggal, karena serangan jantung.
Marcus selalu mengunjungi Adriel di kastilnya hanya sekedar menanyakan kabar, jika pria tua itu ada waktu dan kesempatan. Marcus juga selalu menemani Adriel berkuda dan bermain catur. Marcus memiliki seorang keponakan perempuan bernama Lisbeth yang baru merayakan hari ulang tahunnya ke-18. Itu sebabnya Marcus mengadakan pesta itu untuk memamerkan keponakannya dan mencarikan jodoh untuknya berharap keponakan perempuannya yang cantik bertemu dengan pria bangsawan terhormat yang mau menikahinya.
Adriel tahu Marcus mengharapkannya berjodoh dengan Lisbeth, tapi ia sama sekali tidak ada minat untuk memilih salah satu wanita-wanita muda di pesta itu untuk dijadikan istrinya.
Pelayan datang membawakan makanan dengan menggunakan meja dorong yang bunyinya terdengar nyaring diantara lorong-lorong kastilnya yang sunyi. Adriel bangun sementara pelayannya menata makanannya di meja kayu berbentuk bundar di dekat jendela kamarnya di mana sinar matahari sore mulai meredup. Pelayan menyalakan banyak lilin disetiap sudut kamarnya, lalu pergi meninggalkannya sendirian.
Tidak lama kemudian setelah Adriel selesai makan, dokter pribadinya datang dengan wajah senang. Dr. Lansbury sudah melayani keluarganya selama bertahun-tahun dan sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri.
"Syukurlah kamu sudah sadar. Aku senang melihatnya. Bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Sudah lebih baik."
Dr. Lansbury memeriksa Adriel dengan hati-hati dan terakhir memeriksa denyut nadi di tangannya. Ia menyimpan kembali stestokopnya ke dalam tas tua berwarna coklat.
"Aku rasa kamu sudah sembuh dari demammu. Awalnya aku kira kamu tidak akan selamat. Kamu mengalami demam yang cukup tinggi 40°c dan beberapa kali tubuhmu kejang-kejang."
"Aku tidak ingin mati sekarang masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan."
"Kamu selalu saja memikirkan pekerjaan. Perkataan orang-orang memang benar. Duke of Windshire sekarang sudah menjadi gila kerja tidak mengenal waktu lagi."
" Oh ya. Aku tidak tahu sudah mendapat julukan seperti itu. Si gila kerja. Bagus juga." Seulas senyum tersungging di bibirnya.
Dr. Lansbury teringat sesuatu dan ia sejenak nampak ragu-ragu untuk mengatakannya. Hal itu tidak luput dari perhatian Adriel.
"Ada apa?"
"Apa kamu tahu Mr. Calford pemilik toko roti Baery di sebelah toko kain Madam Agustin?"
"Tahu. Aku selalu membeli roti di sana. Rotinya sangat enak. Kenapa?"
"Semalam dia mati terbunuh."
Adriel terkejut dan menutup mulutnya. Dibenaknya terlintas pria tua ramah, baik, dan selalu tersenyum kepada siapa pun. Sejak kecil ia sudah b**********n membeli roti di sana.
"Ya Tuhan," katanya setelah ia dapat menguasai diri dari keterkejutannya.
"Dia mati karena diracun dan pelakunya mengambil semua uangnya. Kejadiannya sama seperti yang terjadi pada istrimu dulu."
"Apakah menurutmu pelakunya orang yang sama?"
"Entahlah. Hal ini masih diselidiki. Baiklah aku harus pulang dan ingat sampai besok kamu jangan banyak bekerja. Malam ini istirahatlah."
"Aku tidak bisa janji. Perkebunanku...."
"Jangan dulu memikirkan perkebunanmu." Dr. Lansbury melemparkan tatapan mengancam.
"Baiklah terserah Anda saja. Selamat malam!"
***
Pagi-pagi sekali Her Grace Dowager Duchess Olivia ditemani oleh asisten pribadinya, Jacob, dan pelayan pribadinya, Liliana datang ke kastil Boswell setelah melakukan perjalanan panjang dari Brimingham. Tubuhnya tidak tinggi dan rambut coklatnya selalu digelung keatas. Kalung berlian melekat erat dilehernya. Ia segera mencari putranya di kamar setelah mendengar Adriel telah sembuh dari demamnya.