Bab 2 : Kenapa

1238 Kata
Gemericik air hujan yang mulai turun mengetuk-ngetuk jendela ruang musik itu seakan memecahkan keheningan di antara Leon dan Vlora. Leon, yang sedari tadi terdiam akhirnya berbicara, "Apa kabar, Vlora?" Vlora mengangkat wajahnya, matanya yang cokelat memandang tajam ke arah Leon. Hujan yang turun semakin lebat membentuk jalur air di jendela, meredakan ketegangan yang seolah-olah menyoroti momen pertemuan mereka. "Saya?" Vlora mengepalkan tangannya. "Tidak pernah baik." Benar. Leon tahu bahwa ini semua terjadi karena kesalahannya. Leon yang saat itu berusia enam belas tahun, meninggalkan Vlora tanpa mengucapkan sepatah kata perpisahan pada Vlora. "Maaf. Saya.." Leon terhenti, mencari kata-kata yang sesuai untuk mengungkapkan penyesalannya. Vlora masih memandangnya dengan mata tajam, memberikan tanda bahwa raut wajahnya memiliki cerita yang lebih panjang dari yang bisa diucapkan kata-kata. "Hanya maaf?" Vlora tersenyum sinis. "Setelah 14 tahun berlalu, terus kak Leon cuma bilang maaf?" Leon merasa getir di dalam hatinya. Ia menyadari bahwa maaf yang ia ucapkan tidak dapat menghapus luka dan kekecewaan yang Vlora rasakan selama bertahun-tahun. "Vlo.." "Berhenti bicara lembut sama saya. Saya ga suka." ucap Vlora menahan air matanya. Leon berjalan mendekati Vlora. "Vlo, dengerin saya dulu." "Diam di situ kak. Jangan mendekat." Gemericik air hujan semakin keras, menciptakan irama alami yang turut meramaikan suasana di dalam ruang musik itu. Leon, dengan hati yang berat, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi konsekuensi dari masa lalunya. "Kak Leon tahu selama ini saya ga punya teman selain kak Leon." Vlora menatapnya dengan kesedihan dan kemarahan. Leon mencoba menjawab, "Saya tahu itu adalah kesalahan besar yang saya lakuin sama kamu, Vlo. Dan saya merasa sangat menyesal." Vlora tertawa getir, "Menyesal? Apa itu bisa bikin kakak tidur nyenyak selama 14 tahun ini?" Leon mencoba memahami rasa sakit yang Vlora rasakan, "Saya tahu ini semua salah saya, Vlo. Saya juga menderita. Saya kesepian di sana. Saya-" "Ha? Kesepian?" Vlora tersenyum sinis. "Terus siapa perempuan yang foto sama kakak di wisuda kakak? Kayanya perempuan itu keliatan lengket banget ya peluk-peluk kakak." Leon terkesiap. "A-Apa?" Vlora memutar bola matanya. "Tante Carla post fotonya di inst*gram. Keliatannya kalian cukup akrab, ya." "Ngga. Dengerin dulu, Vlo." "Laki-laki memang ga bisa di percaya." "Dengar, Vlo. Saya-" Vlora memotong dengan cepat. "Saya ga peduli. Lebih baik saya turun ke bawah buat makan malam sama yang lain." Leon mengepalkan tangannya dan menarik lengan Vlora dengan sedikit kasar. "Aw!" "Dengerin saya, Vlora." "Sakit, kak Leon." lirih Vlora pelan. Leon menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan emosinya. Meskipun Vlora tampak kesakitan, Leon tetap memegang erat lengan Vlora. "Dia cuma temen saya di Harvard. Ga lebih." ucap Leon penuh dengan penekanan. "Saya ga peduli. Lepasin saya sekarang." Vlora berusaha melepaskan diri dari genggaman Leon. "Vlora!" "Lepasin, ka!" Sh*t! Leon mendorong tubuh Vlora hingga menabrak dinding, membuatnya terjepit di antara Leon dan dinding ruang musik. Vlora menatap Leon dengan terkejut. "Kak Leon, lepasin saya!" desah Vlora dengan suara gemetar. "Ga akan saya lepasin." ucap Leon dengan suara yang lebih berat. "Kak Leon! Lepas-" "Ga akan, Vlora." "Lepas, ga?!" "Saya ga mau." "Kak Leon!" "Dengerin penjelasan saya dulu." "Lepas ka! Atau saya teriak sekarang!" "Saya rindu sama kamu, Vlora." potong Leon dengan cepat. Vlora tertegun. Mendengar kata-kata itu, ekspresi wajah Vlora berubah menjadi sedih. Gemericik hujan di luar seakan tahu seberapa sakit hati Vlora saat ini. "Saya rindu sama kamu, Vlora. Setiap langkah, setiap keputusan yang saya ambil selama 14 tahun ini, selalu berputar di sekitar kenangan kita. Saya tahu saya melakukan kesalahan besar dengan ga bilang apapun saat saya pergi dulu, dan saya menyesalinya setiap hari. Saya juga sadar betapa pentingnya kamu dalam hidup saya," kata Leon dengan tulus. Vlora masih terdiam, namun ada kelemahan yang terlihat di matanya. Leon merasa hatinya berdebar-debar, tidak yakin bagaimana Vlora akan merespons. "Saya tahu dengan kata-kata saja ga cukup, Vlo," lanjut Leon, suaranya penuh dengan penyesalan. "Saya belajar dari kesalahan saya, dan saya ingin memperbaikinya. Kamu selalu ada di hati saya, Vlora. Sejak dulu, kini, dan nanti." ujar Leon dengan penuh rasa. Vlora menggigit bawah bibirnya. Hati yang sudah terkunci selama 14 tahun ini, dengan mudah didobrak oleh Leon, cinta pertama yang pernah mengisi hatinya, Leon Karith Atmadjaya. "Jangan gigit bibir kamu, nanti luka." ucap Leon dengan lembut. "Kak Leon..." gumam Vlora, suaranya hampir terdengar serak karena emosi yang tercampur aduk di dalamnya. "Kamu ga kangen sama saya?" tanya Leon pelan. Air mata Vlora menetes di pipinya. Ia berusaha menahan tangisnya, namun perasaan yang terpendam begitu lama akhirnya meledak. "Kenapa.. kenapa.." Vlora berkata dengan suara tercekat. "Maafin saya. Saya cuma ga sanggup buat bilang kata perpisahan. umur 16 tahun bukan umur yang cukup dewasa untuk menyikapi hal itu. Saya minta maaf, Vlora." "Kak Leon.. hiks..." Leon menyeka air mata Vlora dengan lembut. "Maafin saya ya, Vlora." Vlora menggeleng pelan. "Ngga." Leon tersenyum lembut, dia menarik Vlora untuk berada di pelukannya dan Vlora, tanpa menolak, membiarkan dirinya terbenam dalam pelukan hangat Leon. "Saya akan membuat segalanya benar, Vlo. Kita bisa memulai lagi, seperti dulu." ucap Leon dengan lembut dan tenang. Vlora terdiam, namun tangan-tangannya perlahan merangkul Leon. "Ga mau." ucapnya pelan. Leon tertawa kecil. "Ga mau?" Vlora menggeleng. "Mau." Astaga. Vlora selalu saja menggemaskan. Mengatakan iya tapi tidak. Mengatakan tidak tapi iya. Leon tersenyum melihat sikap Vlora yang khas. "Kamu selalu bikin saya bingung, Vlo." Vlora tidak menjawab. Dia terus menghirup aroma parfum Leon, dan semakin membenamkan wajahnya di d*da bidang Leon. "Wangi." gumam Vlora. "Kamu suka?" Vlora mengangguk. "Kak Leon sudah menjadi pria dewasa." Leon tertawa kecil. "Oh, gitu?" "Huuh." Leon mengusap lembut rambut Vlora. "Kamu masih seperti dulu, Vlo. Tetap manja." Vlora mendongak, "Apa kakak selalu wangi kaya gini kalau ketemu perempuan?" Leon menaikkan alisnya. "Perempuan?" Vlora mengangguk. "Iya, perempuan." Leon terdiam sejenak, lalu dia mengerti maksud dari Vlora. "Saya selalu wangi. Kamu ga suka saya wangi di depan perempuan?" Vlora menggeleng lalu memeluk Leon lagi. Leon tertawa kecil. "Kamu cemburu?" "Emangnya kenapa?" gumam Vlora sedikit tidak jelas. Leon mengusap lembut rambut Vlora, "Iya, saya ga akan terlalu wangi kalau ketemu perempuan lain." Begini lah Vlora. Sesakit apapun hatinya, dia merupakan perempuan yang mudah memaafkan. Dia tidak bisa menghindari Leon, tidak pernah bisa. "Jangan pergi lagi." lirih Vlora. Leon tersenyum. "Iya, saya ga akan pergi lagi." ucapnya dengan lembut dan tenang. Vlora mendongak, "Bener, ya?" Leon mengangguk. "Iya. Sekarang lepas dulu pelukannya. Kita harus makan malam di bawah. Om Gani sama tante Hanny pasti udah nunggu." Vlora memajukan bawah bibirnya. "Ga mau." "Vlo, jangan mainin bibir kamu." ucap Leon pelan. "Uhm.. kenapa?" tanya Vlora polos. Leon tersenyum, "Karena saya bisa gila kalau kamu terus main-mainin bibir gitu." Vlora menatapnya dengan tatapan polos, "Beneran?" Leon tertawa kecil, "Iya, beneran." "Oh, kaya gini?" ucap Vlora dengan sengaja menggigit bibir bawahnya di depan wajah Leon. Leon menelan ludahnya. "Saya pria dewasa sekarang, Vlora." "Lalu kenapa?" Vlora tersenyum jahil. "Atau kaya gini?" ucapnya menggigit bawah bibirnya dengan pelan. Leon terkesiap, "Kalau kamu terus mainin bibir kamu, saya bisa lupa makan malam di bawah dan jadinya pengen makan bibir kamu." Vlora membulatkan matanya, wajahnya langsung memerah. "Kak Leon!" Leon tersenyum jahil. "Atau, saya makan bibir kamu aja?" Vlora terkesiap. "Ih kak Leon!" Leon merengkuh pinggang Vlora. "Dikit. Boleh, ya? 14 tahun waktu yang lama loh." Vlora sontak mendorong tubuh Leon untuk menghindari kontak fisik lebih lanjut. "Ayo turun ke bawah. Kayanya mamah sama papa nungguin." ucapnya mengalihkan. Leon tertawa geli melihat reaksi Vlora. "Sedikit aja, Vlora." "Kayanya mamah masak teriyaki." Leon masih tertawa. "Saya pengen banget." Vlora melepaskan pelukan dan mengatur rambutnya yang sedikit berantakan. "Kayanya mamah masak banyak teriyaki malam ini." ucapnya mengabaikan kata-kata Leon.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN