Pudel putih

1087 Kata
Raksa menyamakan langkahnya dengan Zoya, agar gadis itu bisa berjalan santai. Karena mereka di sini ingin jalan-jalan menikmati waktu berdua. "Kamu menyukainya?" Raksa sebenarnya tidak ingin menanyakan masalah pribadinya, tapi setelah melihat sikap kasar Lander barusan, dia jadi ingin mengetahui perasaan Zoya yang sebenarnya. Apakah benar seperti yang dikatakan orang-orang selama ini. Zoya tidak langsung menjawab, dia memikirkan jawaban yang tepat. "Dulu iya, tapi sekarang mungkin sudah tidak lagi!" "Sungguh?" Raksa menatap tak percaya. "Kamu benar-benar menyukainya?" Raksa terlihat sangat terkejut. Zoya memutar bola matanya malas. Jika laki-laki itu tahu dia bahkan datang ke pernikahan Lander, demi membuktikan apakah masih ada sisa perasaan untuknya, Raksa pasti akan lebih terkejut. Untung Raksa melihatnya, melihat dirinya yang sekarang. "Dia tampan, pintar, dan berbeda dengan laki-laki lainnya. Sikapnya yang dianggap freak, bagi gue unik. Tapi tenang saja, dia sudah tidak lagi istimewa untuk gue!" Zoya hampir menertawakan dirinya sendiri. "Kapan perasaan itu berubah?" Raksa ingin memastikan apa yang dikatakan Zoya memang yang sebenarnya, bukan sedang membohongi diri sendiri. Tersenyum, Zoya menjawab dalam pikirannya. "Saat kembali menjadi remaja, dan melihat laki-laki itu sebenarnya sangat menyebalkan. Dulu dia buta, tapi sekarang tidak!" Dia tidak mungkin mengatakan hal itu. Jadi dia memilih tidak menjawab. "Hei, katakan!" Raksa memaksa, tapi Zoya tidak mau menjawab. Jadilah mereka malah berdebat. Karena tidak bisa makan es krim, Zoya mengajak Raksa membelikannya kue untuk teman-temannya. Dia akan mengajak Raksa ke rumah Mia. Yah, meskipun satu komplek perumahan, Raksa belum pernah berkunjung ke rumah teman-temannya. Jadi dia akan mengajaknya kali ini. _ Saat tiba di rumah Mia, keduanya sudah disambut oleh suara pertengkaran Mia dan Ariel. Raksa tidak mau bergabung dengan pertengkaran itu, dia memilih duduk di sebelah Gerald yang sedang sibuk dengan laptopnya. "Dari mana? Kece bener!" ujar Gerald, setelah memperhatikan penampilan Zoya dan Raksa. Jika hanya main ke rumah Mia, mereka tidak akan berpakaian rapi. Contohnya Gerald sendiri yang saat ini hanya mengenakan kolor dan kaos putihnya. Ariel dengan hotpants dan sweater. Raksa melepaskan jaketnya, sehingga menyisakan kaos warna hitam yang dipakai di dalamnya. Melirik pada penampilan Zoya, gadis itu menggunakan rok sekolah, tapi atasannya kaos putih bertuliskan merk terkenal di bagian depan. Jangan lupakan kepangan rambutnya. "Kami tadi liat pertandingan basket. Kami bolos, jadi dia masih pake rok sekolah!" tunjuk Raksa pada Zoya yang melihat teman-temannya makan kue dengan ekspresi ngiler. Gerald tahu juga tentang pertandingan itu. Dia tidak menyangka Zoya ternyata melihatnya. "Oh, kok udah balik? Kan belom selesai perbandingan hari ini?" "Gak papa. Oh ya, apa ya lagi Lo kerjain?" Raksa tidak mau membahas lebih jauh tentang pertandingan basket. Gerald menunjukkan halaman yang sedang dikerjakannya. Dia memiliki tugas, seharusnya Mia dan Ariel juga membantunya, tapi kedua gadis itu menyerahkan segalanya pada ahlinya. Hal biasa yang terjadi, ketika cowok pintar sekelompok dengan para gadis. Dia akan dimanfaatkan dengan alasan lebih ahli. Atau bisa juga sebaliknya. Menjadi pintar sedikit menyusahkan, jika sekelompok dengan orang-orang malas. Para gadis juga sedang asik berbincang sendiri. Mereka makan kue sambil membicarakan tentang film. Tidak, Zoya tidak ikut makan kue. Dan pembicaraan tentang film tidak menarik baginya, karena dia telah menonton film-film yang baru saja dirilis. Yah, dulu dia juga menontonnya dengan Mia dan Ariel. Dan sekarang, kedua gadis itu mengulang kejadian di ingatan Zoya. "Diem aja Lo! Pasti lagi mikirin Lander. Makanya, kalo nonton jangan nanggung, penasaran kan sekarang!" Ariel menegur Zoya yang hanya diam saja dan menyahut kalau ditanya. "Ye, bukan penasaran tentang pertandingan. Dia mah cuma mau nonton Lander doang di lapangan. Soalnya kan Lander keren kalau main basket, dia gak pake kacamata dan gak bawa-bawa buku!" Mia mengatakannya sebagai ledekan. Yah, itu biasa dalam pembicaraan mereka. "Ih, apaan deh. Basi ngomongin dia mulu!" Zoya tahu teman-temannya hanya meledek, karena dia sebelumnya sudah mengatakan tidak menyukai Lander lagi. Terlepas mereka percaya atau tidak, mereka tahu bagaimana menjadikan Lander dan dirinya sebagai candaan. Mia tahu untuk berhenti dengan candaannya. Dia menggeser duduknya, berbisik di telinga Zoya. "Katakan, bagaimana rasanya jadi model?" Zoya langsung tersenyum, dulu tidak pernah ada yang menanyakan pertanyaan seperti itu, saat akhirnya ada yang bertanya tentang perasaannya, tentu dia sangat senang dan bangga. "Seperti putri di negeri dongeng, semua mata tertuju padamu. Meskipun kalian mungkin melihat gue dan teman model lainnnya seperti boneka berjalan, tapi memang seperti itu. Tugas gue adalah menunjukkan kelebihan baju yang gue pakai. Bukan menawarkan dagangan!" Lebih dari siapapun, Zoya paham jika Mia akan menemukan cara menggodanya. Jadi dia lebih dulu melontarkan candaan. Tapi lihat saja, Mia dan Ariel kompak meledek dengan mengatakan 'cie' dengan nada panjang. "Apa deh! Jangan bikin gue malu!" "Cie!" "Cie!" Yah, keduanya kompak mengatakan kata itu menggoda Zoya. Tapi dari tatapan mereka, terlihat kalau mereka sebenarnya ikut bangga. Zoya mereka telah menjadi gadis yang menakjubkan. Tidak bisa lagi mereka ledek sebagai gadis manja atau gadis naif. "Bagus, apakah melelahkan? Jadi itu sebabnya Lo gak makan kue ini, padahal sangat enak?" Mia cukup peka, kalau sedari tadi Zoya hanya memandangi mereka makan. Mengangguk, Zoya pura-pura tersiksa. Padahal sebenarnya itu hal biasa untuknya. Dia selalu menghindari makanan manis sebelum pemotretan. Bukan karena takut berat badannya naik, tapi tidak mau jika pipinya tampak gemuk di kamera. "Kasihan, kalau begitu gue akan simpan ini!" Mia langsung menutup wadahnya dan membawanya menuju dapur. "Besok ikut gue ya, lari pagi? Gue mau jemput pudel di komplek depan. Sekalian bakar lemak kan?" Ariel ingat dengan anjing pudel miliknya yang dia titipkan di klinik hewan. Zoya tidak yakin bisa, karena lari pagi adalah hal yang sedikit malas dilakukannya. Dia lebih suka melakukan olahraga di rumah, dan itu saat malam hari. "Gue harus bangun pagi dong?" "Iya lah. Kalau siang ya bisa telat ke sekolah kita. Lo pasti bakal suka, karena pudel baru gue ini cantik banget, kayak Lo!" Ariel menunjukkan ekspresi gemas, seperti yang dikatakannya, pudel baru yang hendak dia adopsi sangat cantik. "Ye, disamain sama gogok! Warnanya putih kan?" Zoya menebak dengan refleks. "Hah kok Lo tahu?" Ariel terkejut. Zoya keceplosan. Tentu saja dia tahu. Bahkan dia juga tahu nanti setelah si putih, Ariel berniat mengadopsi yang Hitam. Tapi agar tidak dicurigai, dia membuat alasan. "Karena Lo udah punya yang coklat!" "Kan bisa aja hitam, kenapa langsung nebak putih?" Ariel tidak terima, karena Zoya sudah bisa menebak pudel barunya. "Suka-suka gue lah. Kok Lo ngatur?" Zoya juga menunjukkan protes. "Hei, para gadis! Jika tidak mau membantu, tolong jangan menganggu!" Gerald berteriak, dia sedang pusing, tapi para gadis malah sibuk memperdebatkan warna pudel. Raksa mendukung Gerald dengan menunjuk pada kedua gadis yang menoleh melihat ke arah mereka. Tapi kemudian tersenyum, saat Ariel dan Zoya kompak melotot padanya. Hei, dia tidak mau berurusan dengan para gadis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN