Mendapatkan pesan dari Shana, Raksa diminta untuk menyampaikan pada Zoya kalau orangtuanya akan pergi ke Bandung. Shana sudah berusaha menghubungi Zoya, tapi teleponnya tidak aktif. Jadi Shana menitipkan pesan pada Raksa.
Meninggalkan teman-temannya yang sedang berdiskusi tentang game baru, Raksa pergi menuju ke kelasnya Zoya. Dia bahkan tidak berkata apapun dan langsung pergi. Jika menyangkut tentang Zoya, maka tidak ada yang lebih penting dari itu.
Dalam hatinya, Zoya seperti permata. Dia memiliki perasaan ingin menjaganya dan menyayanginya. Bahkan dia akan melakukan apapun untuk bisa melihat senyumnya. Perasaannya tidak bisa dijelaskan dengan kata, bahkan pikirannya. Tapi dia sangat tahu alasannya.
Raksa langsung mencari keberadaan Zoya di kelas, tapi tidak menemukannya. Hanya ada dua orang yang masih bertahan di kelas, saat jam istirahat. Raksa tidak mengenal mereka, jadi dia hendak berjalan keluar dan melanjutkan mencari Zoya di kantin sekolah.
Baru saja akan melangkahkan kakinya keluar, seseorang menabraknya. Raksa hanya sedikit melangkah mundur, sedikitpun tidak goyah. Dia melihat di sisi lain, orang yang menabraknya juga tidak apa-apa, tapi buku yang dibawanya terjatuh.
"Maaf!" Raksa langsung berjongkok untuk mengambil buku itu dan memberikannya pada orang itu. Tapi gerakan tangannya terhenti, setelah dia benar-benar memperhatikan wajah orang yang menabraknya.
"Lo …," Raksa tidak bisa melanjutkan ucapannya, dia bahkan tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya.
Bagaimana bisa selama ini dia tidak menyadari kalau orang itu adalah orang yang sama. Dan kehidupan aneh ini juga benar-benar lucu. Diantara banyaknya orang, kenapa yang dia temui dalam kehidupan aneh ini adalah orang di depannya.
Alam melihat raut terkejut di wajah laki-laki tinggi nan tampan di depannya, membuatnya kurang nyaman. Dia memang mengenali laki-laki itu, tapi apakah laki-laki itu juga mengenal orang tidak populer sepertinya?
Raksa memperhatikan penampilan laki-laki di depannya masih dengan raut wajah terkejutnya. Sungguh, dia sebenarnya tidak terlalu memperhatikan orang-orang yang satu sekolah dengannya, tapi ini terlalu mengejutkannya.
"Ada apa?" Alam tahu bajunya terlihat lusuh, karena dia tidak pernah memiliki waktu untuk menggosok bajunya.
Dia hampir setiap hari bekerja lembur, hanya sesekali izin pulang lebih awal, jika ada tugas kelompok atau hal mendesak lainnya. Bajunya bersih saja itu sudah bagus, karena dia masih memiliki waktu mencucinya setelah sepulang kerja. Sungguh, selain penampilannya, dia juga tidak memiliki hal menarik lainnya, jika ada yang memperhatikan, dia yakin alasannya bukan hal yang baik.
Menggeleng, bahkan Raksa sedikit memundurkan langkahnya. Dia tersenyum lebar, bahkan terlalu lebar. Berpura-pura tidak pernah mengenalnya adalah hal yang terbaik. Di kehidupan ini, mereka seharusnya tidak pernah bertemu, dan akan bertemu sepuluh tahun yang akan datang. Bukan hanya bertemu, bahkan hampir setiap hari melihatnya. Seperti melihat monster, Raksa memiliki rasa takut dari ingatannya. Lebih baik untuk menghindarinya sebisa mungkin.
Setelah keluar dari kelas Zoya, Raksa kembali menoleh sekali lagi untuk memastikan apa yang baru saja dilihatnya nyata. Dia tidak pernah tahu orang itu memiliki penampilan yang tidak keren sama sekali saat masih muda.
Jonial Raksa, dia merasa hampir mati setiap harinya. Bahkan tidak berharap, melihat pelangi dalam hidupnya. Memiliki ketakutan yang amat besar, setelah tidur maka dia tidak akan membuka matanya lagi. Hingga dia berpikir kematian lebih baik segera menjemputnya.
Suatu waktu dia ingin melakukan bunuh diri, lelah dan rasa putus asa yang tidak tertahankan lagi. Ini bukan tentang kegagalan, tapi tentang kesempatan. Dia pernah memiliki kesempatan hebat sebelumnya, tapi tidak berharap memiliki kesempatan yang sama untuk kedua kalinya. Menjatuhkan dirinya dari atap gedung rumah sakit adalah rencana terbaik untuk mengakhiri kemalangan dalam hidupnya. Hingga saat dia pikir dirinya akan benar-benar mati, dia malah terbangun dalam waktu yang salah.
Dia melihat dirinya sendiri yang baru berusia sekitar enam atau tujuh tahun terbaring lemah di rumah sakit. Bahkan dia bisa menyapa anak kecil yang adalah dirinya itu seperti seorang teman. Aneh dan ajaib.
Raksa tidak mengerti kenapa dia berada dalam keadaan yang aneh. Terjebak dalam masa lalu, tapi dengan tubuh yang tetap sama, berusia delapan belas tahun. Menyapa anak kecil penyakitan yang hampir tidak memiliki harapan, yang adalah dirinya sendiri.
Memutuskan untuk tinggal di dekat rumah keluarga Pyralis adalah hasil pemikirannya setelah dia merasa tenang. Anak kecil yang kesakitan akibat penyakit kerusakan hati itu bisa hidup lebih lama, karena kesempatan yang diberikan oleh Zian Pyralis. Jadi, meskipun akhirnya dia akan mati di usia delapan belas tahun, karena penyakitnya kembali, dia ingin menunjukkan rasa terimakasihnya untuk kesempatan bisa hidup lebih lama.
Keluarga Pyralis tidak akan tahu tentang dia, tapi dia tahu mereka. Jonial Raksa, nama seorang anak yang terikat erat dalam takdir bersama Zian Pyralis.
—
Raksa pergi ke perpustakaan. Padahal sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Dia masih sangat terguncang setelah melihat Laki-laki itu.
"Awas!" Suara orang mengejutkan Raksa dari lamunannya.
"Apa?" Raksa melihat orang yang baru saja bicara dengannya adalah Lander.
"Gue mau naroh buku. Kalo cuma mau bengong jangan di perpustakaan!" Lander tidak terlalu menyukai Raksa, meskipun mereka sebenarnya tidak memiliki masalah.
Berdecak kesal, Raksa tidak suka ada yang bicara kasar padanya, hanya karena dia menghalangi rak buku. Tapi dia juga tidak berniat membalas. Memilih berjalan menuju tempat duduk di sana, Raksa ingin memejamkan matanya sebentar saja.
Tapi baru saja dia memejamkan matanya, ada yang menepuk kepalanya dengan buku. Tidak keras, tapi itu sangat membuatnya kesal. "Mau Lo apa!"
Sudah berteriak, Raksa hampir memiliki niat memukul Lander, karena telah memukul kepalanya. Sebelumnya, tidak ada yang melakukan hal itu padanya.
"Hei, kamu mau apa?" tanya seorang guru yang berjaga di perpustakaan. "Saya yang menyuruhnya membangunkanmu, tidak dengar bel sekolah sudah berbunyi. Sana masuk kelas!"
Lander dengan tanpa menunjukkan reaksi apapun, dia berjalan menuju pintu keluar. Tapi bibirnya menyembunyikan seringaian. Merasa cukup puas bisa memukul kepala laki-laki itu dengan buku.
Berjalan di belakang Lander, Raksa masih kesal. Dia hanya ingin menenangkan diri, tapi malah kepalanya terkena pukulan. Benar-benar sial.
"Kenapa Zoya bisa menyukai laki-laki kayak dia? Benar-benar kesalahan fatal!" Raksa menggerutu, dia sangat menyayangi Zoya dan merasa tidak rela. Untuk pertama kalinya dia memiliki orang yang dia anggap sebagai saudara, bagaimana mungkin dia rela orang kasar seperti Lander disukai oleh Zoya.
Kedua laki-laki itu berjalan hampir berbarengan menaiki tangga. Bedanya Lander hendak pergi ke kelasnya, sedangkan Raksa berniat mencari tempat lain untuk menenangkan diri. Dan tempat yang ingin ditujunya adalah lorong yang biasa digunakan para siswa dari kelasnya untuk nongkrong atau merokok.