Chapter 9
Menolak
Hebat!! Dia sudah mulai magang padahal masih dua tahun kuliah. Aku jadi mengingat adik kesayanganku Allicia yang juga terkenal cerdas dibanding semua keluargaku yang lain. Bahkan kini Cia sudah menjadi dokter spesialis jantung.
Entah kenapa mengingat Amanda membuatku tiba-tiba dihinggapi rasa bahagia tanpa kutahu sebabnya. Aku pun mulai memikirkan posisi yang sangat pas buatnya.
Ha ... Tentu saja posisi yang paling tepat adalah selalu mendampingiku, pikirku dengan seringai iblisku.
Tunggu saja sayang, come to papa!!
Oh ... aku sudah tidak sabar menanti dirinya selalu menemani langkahku. Aku akan terus melihat senyumnya, mendengar suaranya, menciumi aroma tubuhnya yang memabukkan.
Hell!!! Kurasa aku sudah gila. Dia Dexter!! Seorang Dexter!!!
Tapi aku sangat mendambanya.
Oh Marc akan mencincangku jika aku menyakitinya. Dan jika Marc marah otomatis Cia juga akan marah. Hal yang paling aku hindari adalah membuat Cia marah atau bersedih.
Arghhh ... Sialll!!!
Kenapa harus Dexter yang membuatku mabuk kepayang seperti ini??
Kenapa???
Dexter adalah marga yang terlarang bagiku.
Tapi ... mampukah aku menolak pesona gadis belia itu?
Andai mengenyahkannya semudah mengenyahkan wanita lain, mungkin aku tidak akan sepanik ini.
***
Amanda baru tiba di kelasnya. Dia sudah tidak ada kuliah lagi. Tinggal mempersiapkan skripsi saja. Beberapa waktu lalu dia sudah mengajukan proposal magang. Tapi dia belum mendapat perusahaan tempat di magang. Baru saja mendudukkan pantatnya di kursi yang sering kali dia gunakan. Salah satu temannya menghampirinya.
"Man kamu dipanggil Sekretaris jurusan," kata Bertha salah satu teman Amanda di Harvard ini.
"Oh ... Makasih ya Tha," sahut Amanda, Amanda-pun bergegas menuju ke ruangan Sekretaris jurusan, "semoga bukan hal yang buruk."
'Ada apa ya? Apa ini ada hubungannya dengan proposal pengajuan magang di kampus, apa mereka sudah mendapat tempat magang buatku? Bukannya kemarin mereka bilang mereka sudah tidak ada lagi kursi kosong di perusahaan mitra kampusnya?' tanyaku tak juga mendapatkan jawaban.
Ah sudahlah ... tinggal bertanya saja. Gegas Amanda bangkit dan berjalan menuju ruang sekretaris Jurusan.
Amanda berjalan melewati lorong kampus, banyak yang menyapa Amanda, selain karena cantik Amanda juga terkenal ramah dan mudah bergaul.
Tiba di depan ruang sekretaris, Amanda menghela nafas panjang sebelum akhirnya membuka pintu setelah sebelumnya sudah mengetuk pintu dan terdengar perintah untuknya masuk.
"Ibu memanggil saya?" tanya Amanda lembut. Bu Linda mengangguk tangan kanannya memberi tanda untuk Amanda duduk di depannya. Dengan patuh Amanda duduk di kursi d depan Bu Linda.
"Jadi, proposal pengajuan magangmu sudah saya ACC. Ada satu perusahaan besar yang membuka peluang untuk menempatkan mahasiswa magang di perusahaannya. Dan Harvard memutuskan untuk memberimu kesempatan magang di perusahaan tersebut," kata Bu Linda sambil menyerahkan proposal magang Amanda berikut sebuah dokumen yang diyakininya adalah data perusahaan tempatnya magang.
Entah kenapa perasaannya mendadak tidak nyaman ya? Dengan tangan gemetar diterimanya dokumen-dokumen itu.
Di bukanya data perusahaan itu matanya langsung melotot, dia sangat mengenal perusahaan ini, bahkan dia pernah sekali memasukinya, dia juga mengenal siapa pemiliknya. Harusnya dia senang karena dirinya sudah mendapatkan tempat magang saat ini. Apalagi itu perusahaan besar di New York. Siapapun pasti tidak akan melewatkan kesempatan itu. Tapi ....
Tidak ... tidak! Jika dia mengambil magang ini maka Amanda takut hatinya tidak bisa dia selamatkan.
Amanda sudah berjanji akan menghindari kemungkinan untuk bertemu dengan lelaki itu. Setidaknya sampai hatinya sudah bisa melihatnya sebagai kakak mungkin. Meski dia tak yakin kalau dia mampu melakukannya. Sosok lelaki itu sudah tersemat sejak lama di hatinya. Selama ini, hanya sosok itu yang menguasai hati dan pikirannya.
"Maaf Bu, saya sudah mempunyai tempat magang sendiri," kata Amanda lirih dan tidak yakin, "nanti berkasnya akan segera saya ajukan."
"Kamu serius? Ini kesempatan langka lo, perusahaan Klein Corp. jarang membuka kesempatan untuk anak magang di Perusahaannya," kata Bu Linda sedikit kecewa, karena dia tadi sudah bersemangat saat ada satu mahasiswa di kampus ini mendapat kesempatan magang di perusahaan sebesar Klein Corp.
Tapi Bu Linda bisa apa jika Amanda sendiri tidak mau melakukan magang di sana?
"Maaf Bu, karena saya pikir kemarin sudah kehabisan tempat untuk magang makanya sesuai saran ibu saya mencari sendiri, dan sekarang saya sudah mendapat tempatnya memang tidak sebesar Klein Corp. Tapi saya tidak enak kalau membatalkan secara sepihak padahal kemarin saya yang memohon diperbolehkan untuk magang di sana," sahut Amanda mencoba memberi alasan, semoga Bu Linda tidak memaksanya lagi.
"Baiklah terserah padamu, segera berikan laporan perbaikanmu berikut data perusahaan tempatmu magang, batas waktunya dua minggu lagi," kata Bu Linda tegas. Amanda menatap bu Linda penuh kelegaan. Meski tak sepenhunya lega. Pasalnya, dia belum mendapatkan ganti tempat dia magang. Kemana dia mencari termpat magang untuk dia ajukan? Tak mau membuat curiga bu Linda, AManda berusaha bersikap tenang.
"Baik Bu, terima kasih," kata Amanda patuh.
"Saya permisi dulu Bu," ucap Amanda sambil tersenyum ramah. Diapun berlalu dari ruang sekretariat jurusan.
Bagaimana ini, dua minggu kemana dia akan mencari perusahaan yang bisa menerimanya magang? Tanyanya gelisah. Amanda mengacak rambutnya dengan kesal.
Bodoh!!! Alasan bodoh!!! Kini kau dalam masalah Amanda.
Berpikir!!! Ayo berpikir!!!
Sepanjang jalan menuju kelasnya dia merutuki bebodohannya. Kembali dia mengacak rambutnya frustasi.
Kemana aku mendapatkan perusahaan yang mau menerimanya magang? Tanyanya dalam hati. Bisa saja dia meminta pada Marc untuk magang di perusahaannya atau ke Rumah sakit Cia, tapi itu masih di sekitaran lelaki itu. Amanda hanya ingin terlepas dari lelaki itu. Lelaki yang sudah punya kekasih, dan Amanda masih punya sedikit malu untuk tidak menggoda lelaki yang sudah punya kekasih. Sebisa mungkin dia akan menghindari lelaki itu. Meski dengan begitu dia harus mengulang kuliah karena belum juga mendapatkan tempat magang. Amanda mengerang kesal, hingga sebuah suara membuatnya terkejut.
"Amanda," panggil seseorang, Amanda menoleh ke sumber suara. Thomas bukan ya? Yang selalu memperhatikan Amanda dari jauh. Sebulan ini selalu setia mengirimkan pesan singkat kepadanya walaupun Amanda jarang mau membalasnya.
Lelaki itu tersenyum ke arahnya. Tampan, harus Amanda akui itu tapi tidak cukup mampu menggetarkan hati Amanda. Hatinya sudah terisi penuh oleh sosok yang sayangnya tidak bisa dia raih.
"Dari mana?" tanya lelaki itu ramah, rambut pirangnya tampak bersinar terkena paparan matahari. Sangat menggoda tentu saja. Tapi biasa saja bagi Amanda. Mungkin jika yang menyapanya semanis itu adalah Austin mungkin saat ini lutut Amanda sudah bergetar karena pesona sang pujaan hati.
"Dari ruang sekretaris jurusan, membahas tempat magangku," kata Amanda lagi, apa dia minta tolong Thomas saja ya? Dia kan anak pemilik perusahaan yang besar juga kalau Amanda tidak salah tangkap dari perkataan teman-temannya yang sayangnya tidak terlalu diperhatikannya waktu itu. Tapi apa itu tidak seperti memanfaatkan perasaan Thomas padanya? Pikirnya gamang. Dia memang butuh tempat magang, tapi tidak dengan memanfaatkan perasaan lelaki itu padanya.
"Sudah dapat?" tanya Thomas penuh perhatian. Kenapa bukan lelaki ini saja pemilik hatinya. Lelaki yang jelas-jelas menaruh hati padanya, erang Amanda dalam hati. Kenapa cintanya harus bertepuk tangan dan juga kepada lelaki yang tidak seharusnya dia cintai? Kenapa Tuhan? tanyanya dalam hati.
"Sudah, tapi aku tidak mau di sana," kata Amanda menunduk, menolak bertatapan dengan Thomas. Thomas memandang Amanda dengan sebelah alis yang terangkat seperti ada yang dipikirkannya. Amanda takut kalau Thomas bisa melihat isi hatinya.
"Emmm bagaimana jika kamu magang di perusahaan ayahku?" tanya Thomas seakan ragu, dia takut Amanda merasa tersinggung, "itu kalau kamu tidak keberatan."
Thomas tidak terlalu berharap kalau Amanda mau menerima tawarannya, karena selama ini wanita yang diam-diam membuat Thomas penasaran itu selalu menghindarinya. Bahkan wanita itu selalu mengabaikan pesannya.
"Apa perusahaan ayahmu masih menerima mahasiswa magang?" tanya Amanda antusias. Mata hijaunya berpendar sangat indah. Menggetarkan sanubari Thomas.
"I ... Iya masih, aku juga magang di sana," kata Thomas dengan senyum menggoda andalannya. Sayangnya tidak berpengaruh untuk Amanda.
"Ah syukurlah kalau begitu aku tenang, soalnya Bu Linda memberiku waktu dua minggu untuk memperbaiki proposal sekaligus data perusahaan tempatku magang," kata Amanda tanpa sadar memegang lengan Thomas membuat lelaki itu seakan tersengat aliran listrik.
Ingat hanya Thomas yang merasakan sengatan listrik itu, bukan Amanda. Amanda sih biasa saja. Anaknya mah lempeng. Listrik statis yang mengalir ke satu arah.
"Baik kalau begitu aku akan memberi tahu ayahku," kata Thomas bahagia. Selama ini dia melakukan pendekatan kepada Amanda. Sama dengan beberapa pria tampan yang mendekatinya, tapi sepertinya gadis di depannya itu tidak merespon perhatiannya. Tapi sekarang gadis ini bahkan melakukan kontak fisik dengannya. Dia yakin ini adalah awal yang bagus untuk hubungannya dengan Amanda di kemudian hari. Meski dia juga tidak terlalu yakin akan hal itu.
Thomas tetap berharap di kemudian hari, gadis yang dicintainya ini bisa membuka hati untuknya.
>>Bersambung>>