Chapter 8 Kenapa harus Dexter?

1503 Kata
Chapter 8 Kenapa harus Dexter?   "Tentu, terima kasih," ujar Amanda tak kalah dingin. "Pangku," rengek Lizzie dan Abe bersamaan. Amanda tanpa kata langsung meletakkan keduanya di atas pangkuannya dan memeluk keduanya dengan sayang dan itu tidak luput dari pandangan Austin. Amanda bahkan menghirup wangi kedua bocah itu yang memang beraroma khas bayi. "Wah kau sudah pantas tuh Manda," seru Marc yang tiba-tiba datang dengan memeluk istrinya posesif. Amanda heran deh apa mereka punya lem khusus nempel terus kayak amplop dan prangko. "Tapi kata paman kau masih betah sendiri ya, mau kucarikan?" tanya Marc lagi dengan seringai menggodanya, dan di hadiahi cubitan oleh sang istri. "Awww sakit sayang," rengek Marc manja. "Ishhh sudah punya buntut masih saja kolokan," sinis Austin. "Biar saja dasar jomblo, iri saja bisanya," ejek Marc. Ucapan Marc mengagetkan Amanda, apa-apaan itu kenapa Marc bilang kalau Austin jomblo. Apa mereka sudah putus? Tapi tidak mungkin karena di apartemen Austin ada foto mereka berdua. Ah entahlah, Amanda malas berspekulasi. "Mom dad tidak datang ya kak?" tanya Cia mencoba mencairkan kekakuan karena perkataan Marc yang membuat Austin melamun, mungkin teringat almarhum Angel. Kasihan kakaknya itu, Cia berdoa semoga kakaknya itu mendapat pengganti kak Angel dengan yang lebih baik lagi. Ya semoga, doa Cia dalam hati. "Paling sebentar lagi, kenapa tidak kita tunggu di taman saja," kata Austin lembut, "semua persiapan pesta sudah selesai kan?" "Sudah kan ada petugas dari EO yang kita sewa, paling bentar lagi para tamu juga pada datang, ayo sayang," kata Cia sambil merentangkan kedua tangannya mengajak kedua buah hatinya yang langsung menyerbu mom mereka. Dengan jalan tergeyol-geyol mereka berusaha tiba lebih dahulu dibanding kembarannya ke arah sang mom. Membuat semua orang tergelak dengan tingkah lucu mereka, tak ketinggalan Marc mengabadikan setiap momen lucu mereka. *** Austin Pov Kenapa bayangan gadis itu terus saja menghantuiku. Tidak mungkin aku terpesona padanya kan? Tapi kenapa senyumnya suaranya begitu membekas dalam ingatanku bahkan ini sudah seminggu sejak terakhir kali aku bertemu dengannya. Tapi aku tidak bisa mengenyahkan bayangannya dari ingatanku. Dia mengingat bagaimana kedekatan Amanda dengan kedua kembar menggemaskan keponakannya yang terlihat begitu menikmati kebersamaan mereka. Begitupun bagaimana sikap gadis ceroboh itu di depan kedua orang tuanya. Bahkan dia tidak kesulitan saat bertemu dengan saudaraku yang lain.  Senyumannya .... Suaranya .... Aroma tubuhnya .... Arghhh ... sial!!! Bahkan kini aku tidak lagi sibuk mengenang Angel, aku merasa bersalah padanya. Baru dua tahun kepergiannya dan aku mulai memikirkan wanita lain. Oh wanita itu bahkan belum bisa dipanggil wanita. Dia masih sangat belia ... berasa seorang p*****l. Dia bahkan lebih muda dari kedua adikku. Pantaskah? Arghhh!!! Aku memandang keluar jendela yang berada di kantorku, bisa kulihat kesibukan kota New York dari kantorku yang memang berada di lantai teratas dari gedung Klein Corp. Tapi pikiranku tidak benar-benar menikmati pemandangan langit kota New York. Bayangan gadis belia itu terus menari-nari di dalam pikiran dan pandanganku. Seakan mengejek perasaan yang perlahan mulai kurasakan. Aku berdecak kesal karena tak bisa mengenyahkannya dari pikiranku. Bahkan gadis belia itu terlihat begitu menggemaskan dalam pandanganku. Aaah Amanda!!! Kupukul kepalaku berharap bayangan senyum gadis itu menghilang dari khayalanku. Tapi, bak kotoran mata ... semakin aku ingin menghilangkannya tapi tiap pagi bangun tidur pasti akan muncul lagi di sudut mataku. Bukankah menyebalkan. Seorang Austin kok punya kotoran mata. Apa kata para wanita yang mengejarku? Heiii ... aku juga manusia biasa. Entah apa saja yang kudebatkan. Pikiranku mengelana, sampai suara ketukan dari arah pintu kudengar. Sialan mengagetkan saja, ini susahnya jika tidak mempunyai sekretaris. Ya si Shinta sudah kupecat karena pekerjaannya tidak benar. Membuatku kesal saja. Aku butuh sekretaris yang handal. Bukan sekretaris yang bisanya cuma menggoda atasannya saja. Menyebalkan sekali. Mungkin itu pihak HRD yang datang karena aku meminta mereka membuka lowongan kerja, bahkan aku membuka kesempatan kepada para mahasiswi yang ingin mencoba bekerja. Ya walau itu sedikit merepotkan tapi aku suka semangat orang muda. Biasanya mereka itu menggebu-gebu dalam bersikap. Buat para mahasiswi itu tentu bukan sebagai sekretarisku karena mereka pasti juga harus menyesuaikan dengan kuliah mereka. Sedang aku butuh sekretarisku hampir full time di kantor. Jadi aku memberi kesempatan mereka sebagai asistenku. "Masuk," kataku sambil berjalan menuju meja kerjaku. Dan seperti dugaanku yang masuk adalah tuan Noah kepala bagian HRD. "Duduk," ujarku singkat, aku terlalu malas untuk berbasa-basi. Biar saja mereka mengataiku arogan atau apa pun aku tidak peduli selama pekerjaan mereka bagus. Aku akan mempertahankan mereka. "Ini data pelamar yang masuk ke kantor ini," kata Noah sambil menyerahkan beberapa map berisi data pribadi pelamar. "Apa ini sudah diseleksi?" tanyaku sambil membolak-balik isi dokumen pribadi itu. "Iya pak, selanjutnya apa bapak akan mewawancarai mereka langsung?" tanya Noah hormat. "Tentu aku tidak mau seperti kejadian si Shinta terulang lagi, wanita itu sama sekali tidak becus apa pun," gerutuku. Secara tidak langsung aku menyindir Noah yang sudah membiarkan wanita tidak kompeten itu menjadi sekretarisku.. "Baik pak, saya minta maaf akibat kelalaian saya membuat bapak tidak nyaman," kata Noah sambil membungkukkan badannya, saat menerima Shinta itu memang keteledoran lelaki itu, apalagi Noah yang mudah tergoda oleh rayuan Shinta sehingga meloloskannya menjadi sekretaris CEO-nya yang terkenal dingin. Ckk, apa perlu aku mengatakan kalau Ceo dingin itu aku sendiri? Karena ketelorannya itu juga yang membuatku tidak bisa mempercayakannya lagi untuk mencari sekretaris baruku. Aku tidak mau ada Shinta-shinta yang lain. Cukup satu Shinta saja sudah membuatku muak. Aku menatap beberapa berkas yang diberikan Noah. Semua data itu terlihat sempurna. Akan tetapi aku merasa ada yang belum lengkap. Kenapa tidak ada data dari para mahasiwa. Jujur aku berharap salah satunya ada nama Amanda di sana. Bukankah luar biasa kalau bisa melihat Amanda di sekitarku sepanjang waktu. Noah yang menyadari kalau sekarang kinerjanya juga kupertanyakan tak banyak berbicara. Apa yang sudah dia lakukan kini membuatku tidak lagi terlalu memprcayainya. Apalagi jika menyangkut orang yang bekerja langsung denganku. Mau bagaimana lagi? Aku tahu Noah hanyalah lelaki normal dengan hasrat yang membara. Aku juga pernah di titik itu. Hingga aku bertemu dan menjalin cinta dengan Angela. Aku berubah menjadi lelaki yang punya komitmen. Bahkan setelah Angela meninggal. Tempatmya masih kokoh di dalam hatiku hingga kehadiran Amanda sedikit membuatku melupakan Angela. Aku jadi merasa bersalah kepada Angela.  Maafkan aku sayang .... Ah ... aku harus fokus pada apa yang kini kukerjakan. Kuenyahkan dulu rasa bersalahku kepada Angela. Biar nanti aku mengunjungi tempat peristirahatannya. "Hemm, lalu bagaimana dengan mahasiswi yang melamar?" tanyaku penasaran, pasalnya aku tidak melihatnya membawa dokumen lain. "Emmm begini pak, saya merasa mereka yang melamar tidak memenuhi kriteria yang Anda inginkan jadi saya tidak membawa dokumennya," kata Noah sambil menunduk. "Bagaimana dengan tawaran magang dari beberapa kampus?" tanyaku lagi. "Oh ada beberapa dari kampus yang meminta untuk mahasiswanya bisa melakukan magang disini pak," kata Noah lagi. "Baik, kau bisa serahkan dokumen mereka ke mari biar saya sortir sendiri, oh ya untuk pelamar sekretaris buatkan janji temu dengan mereka nanti setelah jam makan siang. Bilang jika tidak datang otomatis dianggap mengundurkan diri," kataku datar. Noah hanya mengangguk patuh dan pamit untuk meninggalkan ruangan. Dan kubalas dengan anggukan singkat. Kupejamkan mataku, entah kenapa aku ingin sekali memberi kesempatan mahasiswa untuk magang di tempatnya. Padahal selama ini aku selalu menolak keinginan dari kampus-kampus tersebut. Tentu saja dengan alasan tidak mau merepotkan dengan berurusan dengan orang yang belum berpengalaman. *** Setelah usai mewawancarai calon sekretarisku kini aku mulai melihat data mahasiswa yang dititipkan oleh kampus mereka untuk magang di kantorku. Aku mulai memilah mana yang memenuhi kriteriaku dan juga memang sedang membutuhkan tenaga lebih. Sampai mataku terpaku pada sebuah nama. Amanda Dexter. Menarik, bukannya dia masih kurang dari setahun ini kuliah di Harvard kenapa sudah memulai magang? Kubaca dengan seksama riwayat hidup gadis yang sudah membuat malamku tidak tenang itu. Oh dia sempat kuliah di Sydney kota kelahirannya. Ya setahuku memang keluarga Amanda tidak tinggal di London seperti keluarga Dexter kebanyakan tetapi lebih memilih menetap di Sydney. Tapi beberapa tahun belakangan kedua orang tua Amanda kembali tinggal di London. Kurasa dia gadis yang cerdas, beberapa kali loncat kelas dan masuk kuliah di usianya yang ke enam belas tahun. Mendapat beasiswa dari Harvard setahun kemudian. Hebat!! Dia sudah mulai magang padahal masih dua tahun kuliah. Aku jadi mengingat adik kesayanganku Allicia yang juga terkenal cerdas dibanding semua keluargaku yang lain. Bahkan kini Cia sudah menjadi dokter spesialis jantung. Entah kenapa mengingat Amanda membuatku tiba-tiba dihinggapi rasa bahagia tanpa kutahu sebabnya. Aku pun mulai memikirkan posisi yang sangat pas buatnya. Ha ... Tentu saja posisi yang paling tepat adalah selalu mendampingiku, pikirku dengan seringai iblisku. Tunggu saja sayang, come to papa!! Oh ... aku sudah tidak sabar menanti dirinya selalu menemani langkahku. Aku akan terus melihat senyumnya, mendengar suaranya, menciumi aroma tubuhnya yang memabukkan. Hell!!! Kurasa aku sudah gila. Dia Dexter!! Seorang Dexter!!! Tapi aku sangat mendambanya. Oh Marc akan mencincangku jika aku menyakitinya. Dan jika Marc marah otomatis Cia juga akan marah. Hal yang paling aku hindari adalah membuat Cia marah atau bersedih. Arghhh ... Sialll!!! Kenapa harus Dexter yang membuatku mabuk kepayang seperti ini?? Kenapa??? Dexter adalah marga yang terlarang bagiku. Tapi ... mampukah aku menolak pesona gadis belia itu? Andai mengenyahkannya semudah mengenyahkan wanita lain, mungkin aku tidak akan sepanik ini. >>Bersambung>>
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN