Chapter 5 Gone & Come

1624 Kata
Chapter 5 Gone & Come   Mimpinya sangat sederhana, ingin mempunyai keluarga sendiri seperti keluarga kecil milik orang tuanya. Tentunya dengan orang yang dicintai dan mencintainya seorang. Hidup bersama dengan lelaki yang dicintai dan mencintainya sepenuh hati. Dan memiliki beberapa anak yang memeriahkan rumah mereka. Hanya itu, bisakah? Dan entah kenapa yang ada dalam pikirannya adalah sosok Austin. Austin Gerald Klein. Tapi dia langsung mengenyahkan pikiran busuknya tadi, dia tidak mau merebut kekasih orang, dia tidak mau bersaing dengan orang yang sakit. Tidak.... Aku hanya harus menghindarinya. Aku tidak mau seperti hari ini, aku begitu terbawa perasaan, batin Amanda kesal. Amanda pikir mungkin Austin tertarik padanya, tapi ternyata di hatinya masih ada nama Angel kekasihnya. Dan itu tidak salah kan? Yang salah adalah perasaan Amanda. Dia yang menjijikkan dan tidak tahu malu. Karena sempat terbuai dengan kebaikan lelaki itu. Padahal Amanda tahu bahwa lelaki itu sudah mempunyai kekasih. Atau bahkan mereka sudah menikah? Entahlah.... Berbagai macam pikiran yang memenuhi kepala Amanda membuatnya mengerang kesal. Dia marah pada dirinya sendiri karena terlarut dalam pusara uforia yang hanya dia yang merasakannya. Aku bukan pelakor, dan tidak akan. Tekad Amanda semakin kuat untuk menghindari sosok Austin Gerald Klein. Ya, yang harus dilakukannya adalah menghindar sejauh-jauhnya dari sosok Austin Gerald Klein. Apa pun caranya. “Semangat Amanda kamu pasti bisa,” ujarnya menyemangati dirinya sendiri. *** Austin pov Dua Tahun yang lalu Hari demi hari kondisi Angel semakin parah, sungguh aku tidak tega. Kalau bisa biar aku saja yang menggantikannya merasakan kesakitan demi kesakitan. Bisa kulihat setiap pagi  dia mengumpulkan rambutnya yang mulai rontok. Sungguh aku tidak tega melihat kondisinya. Apalagi seusai menjalani kemoterapi, kondisinya pasti langsung drop. Beberapa hari kerjaannya hanya memuntahkan semua yang ada dalam perutnya. Rambutnya semakin banyak yang rontok, rasa sakit yang dia rasakan semakin menggila. Sungguh aku tidak tega melihatnya. Tapi dia selalu tersenyum, dia bilang ini cara Tuhan memaafkan semua dosanya. Dan Tuhan akan menjemputnya saat semua dosanya sudah terlebur. Hari ini, badan ringkihnya semakin layu. Tapi gurat kebahagiaan selalu tercetak di bibir manisnya. Dia pingsan, setelah dia batuk darah. Aku membawa langsung ke rumah sakit. Aku tahu ini sudah waktunya. Semalam dia mengatakan sesuatu yang membuatku didera ketakutan. "Austin tolong ikhlaskan aku, aku sudah tidak sanggup sayang,” katanya sebelum aku memeluknya kedalam pelukanku. Egoiskah aku jika memintanya bertahan? Sedang aku tahu bagaimana dia menjalani kehidupannya selama tiga tahun ini dalam kesakitan. Egoiskah jika bahkan tubuhnya sudah tidak sanggup lagi.... Haruskah aku melepasnya seperti keinginannya. Dia tersenyum dengan sangat cantik. Bidadariku...Angelku.... Saat ini mereka berada di rumah sakit, karena Angel sedang kritis. Memang beberapa hari ini kondisinya drop. Sepertinya tubuhnya sudah tidak mampu lagi bertahan, Austin terus mendampinginya, ada kesedihan dan kepasrahan dari keduanya. Keluarga sangat mengerti seberapa tulus cinta keduanya, tapi mereka tak bisa menentang takdir. Mereka hanya bisa menjalaninya dan berusaha yang terbaik yang mereka bisa. Itulah yang dilakukan Angel dan Austin. Austin sudah membawa Angel ke berbagai rumah sakit yang terbaik. Menjalani pengobatan demi pengobatan. Austin juga sudah sering melamar Angel, tapi Angel tidak mau. Bukan  karena dia tidak mencintai Austin tapi karena dia menyadari waktunya tidak lama lagi. Dia yakin Austin akan mendapat penggantinya. Dan itulah jodoh sebenarnya Austin. Bukan dirinya. Dan Angel mengetahui siapa wanita itu, karena saat pertama kali melihat wanita itu dan melihat pancaran cinta yang ditujukan pada Austin. Angel langsung mengetahui wanita itu mencintai Austin di pertemuan pertamanya. Angel pertama kali bertemu dengan wanita itu saat pesta perayaan yang diadakan di mansion Marc, saat mereka menyambut kedatangan Marc. Wanita itu datang dari Sydney, karena dia baru lulus High School di sana. Meski kedua orang tuanya tinggal di London. Gadis ceria dan mandiri. Saat itu pulalah Angel melihat tatapan memujanya saat melihat Austin. Tapi saat tahu Austin sudah punya kekasih, wanita itu mulai menjaga jarak. Dia bisa saja menggoda Austin karena kondisi Angel yang tidak seperti wanita pada umumnya. Tapi wanita itu malah menghindar. Dan itu sudah menjadi nilai plus di mata Angel. Angel berharap Austin bisa membuka hatinya jika Angel pergi. Ya semoga. Dia hanya berharap Austin juga bisa merasakan bahagia. Meski bukan dirinya yang mendampingi Austin. Semua keluarga Klein berkumpul di ruang tunggu depan tempat Angel sedang berjuang. Austin terduduk dengan wajah tertekuk, Cia mendekatinya membelai lembut punggung tangan kakak tercintanya. Austin memeluknya lembut mencari ketenangan dari pelukan adik tercintanya. "Relakan jika dia sudah tidak kuat, kasihan dia kesakitan kak,” gumam Cia lirih, tapi masih di dengar oleh Austin. Austin faham selama ini Angel sudah berjuang dengan keras melawan penyakit yang mulai menggerogoti tubuhnya. Dia bisa melihat wajah kesakitan Angel pasca kemoterapi yang dijalaninya. Bagaimana jeritan kesakitan yang coba ditahan Angel jika bersamanya hanya karena tidak mau membuatnya khawatir. Austin tahu itu...tapi dia belum rela melepas. "Kau tak perlu merasa bersalah, apa yang terjadi di masa lalu itu bukan salahmu,” ujar Cia lembut, "semua Tuhan yang mengatur kita tinggal menjalaninya, tolong ikhlaskan kak Angel kak ... Kasihan dia kesakitan." Cia menangis dalam pelukan hangat kakaknya. Orang yang selalu menopangnya sejak dia kanak-kanak, dan orang ini sedang terluka. Seorang dokter keluar dari ruangan perawatan Angel. "Pasien ingin bertemu dengan tuan Austin,” kata dokter itu, Austin langsung berdiri mengikutinya, perasaan Austin sakit bagai ditusuk sembilu. setiap langkah yang membawanya ke dalam ruangan seakan mengantarnya pada vonis mati. Ditatapnya Angel, tubuh wanita itu semakin ringkih, tak ada lagi tubuh mempesona yang sering dijajakannya saat dia masih menjual dirinya. Wajahnya seputih kapas, nafasnya berembus sangat kasar, seperti sesak nafas. Membuatnya mengernyit tak suka. Dia rela menggantikan rasa sakit yang dirasakan Angel. Dia tahu wanita yang dicintainya ini kesakitan, apa benar yang dikatakan Cia jika dia harus merelakan Angel. Haruskah? Apa sekarang saatnya? Bisakah dia hidup tanpa Angel? Wanita itu tersenyum lembut, tangannya menggapai minta Austin memegangnya. Dan dengan lembut Austin menggenggam tangan Angel seakan takut jika terlalu keras dia akan menyakiti Angel. "Relakan aku, aku sudah tidak tahan lagi," ujarnya lirih, sungguh Angel sudah berusaha mengumpulkan tenaga hanya untuk berbicara dengan kekasih hatinya. "Aku bahagia, sungguh," tegasnya saat melihat kekhawatiran di mata Austin. Austin memeluknya lembut, mengecup lembut kening Angel, matanya menelisik ke mata Angel. Dia berbisik di telinga Angel, yang membuat wanita itu tersenyum bahagia dan menutup mata dengan senyum yang mengembang. Yang dibisikkan Austin ke telinga Angel yakni kata-kata cinta. "I do love you, Really love you, and i let you go." Bunyi bip panjang pada monitor menandakan jantung Angel yang berhenti berdetak setelah sang kekasih melepasnya .... Rasa sakit di d**a Austin terasa nyeri, tapi demi melihat senyum sang kekasih saat menjelang ajalnya membuatnya ikut tersenyum. Setidaknya di akhir hidupnya Austin masih bisa membahagiakan bidadarinya. Seperti janjinya sebelumnya. "I love you Angel, good bye,”  bisiknya lirih. Air mata menetes tanpa bisa dia cegah. Sekuat apapun dia berusaha, air mata itu turun membasahi pipinya. ** Pov Austin Semua keluarga ikut mengantar kepergiannya. Kedua orang tuaku, saudara-saudaraku. Bahkan Allicia adik tersayangku yang dulunya pernah disakiti Angel begitu dalam tapi yang juga pernah diselamatkan Angel bahkan membuat Angel akhirnya hanya bisa pasrah di atas kursi roda juga ikut datang di tengah kehamilannya yang besar karena bayi kembarnya. Dia datang tentu saja didampingi suaminya yang posesif. Marcus Dexter. Lelaki itu begitu mencintai adik kecilku itu. Cinta mereka patut kuacungi jempol. Aku ingin seperti Marcus yang mencinta Allicia. Caranya mencintai adik tersayangku itu membuat siapa saja kagum akan cinta yang keduanya miliki. Hanya satu yang tidak datang untuk mengantar Angel ke tempat peristirahatannya yang terakhir, yakni Adam Cross ayah kandung Angel. Lelaki kurang ajar yang sudah menjerumuskan Angel pada kehinaan. Bagaimana seorang ayah begitu tega menjadikan putrinya sebagai p*****r? Ayah yang sudah menjual sang putri demi kenyamanan semata. Akan kusebut apa lelaki itu kalau bertemu. Karena dialah hidup Angel menderita hingga akhir hayatnya. Dan kini di saat terakhir Angel saja dia tidak datang. Setidaknya menyesali perbuatannya yang lalu kepada Angel. *** Suasana pemakaman sangat tenang, usai dimakamkan para pelayat mulai meninggalkan area pemakaman. Di makan Angel hanya tertinggal keluarga inti Klein. Tanpa mereka sadari ada satu sosok yang begitu ingin mendekat ke sana. Akan tetapi sisi gengsinya menahan kakinya beranjak dari tempat sembunyinya. Tampak seorang lelaki paruh baya berdiri di balik pohon tak berani memberikan penghormatan terakhir pada jenazah Angel. Dia memakai kembali kaca mata hitamnya menutupi matanya yang memerah. Rasa sesalnya sungguh tak terkira, dia sudah menjerumuskan anak kandung satu-satunya ke jurang kenistaan, ayah seperti apa dirinya? "Maafkan daddy Angel, maaf,” ujarnya sendu sebelum berlalu. Dia kembali menoleh ke arah makam berharap keluarga Klein meninggalkan makam hingga dia bisa mendekat ke makam putrinya. Setidaknya, sekali saja dia ingin meminta ampun kepada putrinya. Sekali saja. Air mata penyesalan masih saja membasahi pipinya yang sudah berkerut karena usianya yang tak lagi muda. Yang tertinggal hanya penyesalan yang menyesakkan dadanya. "Austin ayo kita pulang nak, besok kau bisa mengunjungi Angel lagi,” ujar Kanaya lembut. Tapi dibalas gelengan oleh Austin. Lelaki itu masih terpekur di depan makam Angela dengan tatapan kosong. "Kalian pergilah lebih dahulu, aku masih mau di sini,” ujarnya pelan. Dia sadar, keluarganyamungkin lelah menunggunya merenungi kematian Angela di sini. Apalagi adiknya, Allicia. Dia pasti sudah lelah berdiri sedari tadi dalam kondisi kehamilannya yang besar. Namun, sepertinya keluarganya tidak menghiraukan ucapannya yang meminta mereka pergi saja. Austin bersyukur memiliki mereka yang selalu ada di kondisi terburuknya ini. "Ashhh ... Marc sakit,” jerit Cia sambil memegangi lengan Marc dengan kencang. "Cia, air ketubanmu sudah keluar,” pekik Aurora yang melihat ada cairan bening di kaki Allicia. "Oh ... Baby kau akan melahirkan ayo kita ke rumah sakit," sahut Marc kalut, dia langsung menggendong Cia ala bridal. Langkahnya berderap kencang ke arah mobilnya terparkir. Dia bahkan tidak kepikiran untuk berpamitan kepada yang lain. Pikirannya hanya keselamatan Allicia. Yang lain bukan urusannya. Austin langsung berlari mengikuti Marc. "Pakai mobilku saja, lebih dekat ayo,” ajak Austin yang melupakan keengganannya meninggalkan makam beberapa waktu lalu.    >>Bersambung>>
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN