"Bu, pergi dulu." Aku pamit pada Ibu sambil menggendong Riana dengan kain jarik setelah bocah dua tahun berambut lurus dalam dekapanku mau kubujuk dan lepas dari mainannya.
Ibu yang masih saja asyik dengan sinetron kesayangannya, seketika menoleh padaku. Alisnya bertautan seperti melihat sesuatu yang aneh di hadapannya. Ya ampun, padahal pakaianku wajar saja, loh. Kenapa Ibu terlihat heran begitu?
"Mau ke mana kamu?" Ibu menatap curiga padaku.
"Ke rumah Bapak, Bu …."
Ibu menaikkan sebelah alisnya sambil bersedekap saat menginterogasi.
"Perasaan, baru kemarin ke rumah Bapak, hari ini mau ke rumah Bapak lagi? Ngapain?"
"Itu, si Ismi mau ada persami sabtu besok, jadi dia minta ditemani ke pasar buat nyari perlengkapan pramuka." Aku mencari alasan, berharap Ibu bakal percaya dan tak curiga.
"Oh …."
"Ya sudah, kami pergi dulu, inshaa Allah sebelum maghrib sudah pulang."
Ibu hanya berdeham. Mungkin itu perwakilan dari izin yang tak mampu terucap. Hadeuh.
"Listi …." Teriakan Mayang tak kupedulikan.
"Enak banget dia, Bu … jelong-jelong santai lari dari tanggung jawab." Sayup-sayup kudengar suara Mayang saat langkahku dari rumah gedong mertuaku semakin jauh. Bodo amat lah, aku cuma ingin melihat sudah sejauh mana pembuatan kolam ikan di rumah Bapak. Tak sabar rasanya memanfaatkan uang kaget itu untuk sesuatu yang berguna. Berkahilah usaha kami, Ya Rabb.
Seperti biasa, aku harus menaiki angkot untuk menuju ke rumah Bapak yang jaraknya sekitar tiga empat kilo meter dari rumah mertuaku. Selama dalam perjalanan, Riana yang berada dalam dekapanku berceloteh riang. Asal keluar, mata bulatnya tampak berbinar dan senyumnya terus merekah. Mungkinkah bocah cilik ini tahu kalau rumah neneknya panas? Entahlah.
Sampai di rumah Bapak, kubiarkan Riana bermain-main bersama Ismi—adik bungsuku yang masih duduk di bangku SMP kelas dua. Sementara aku menarik langkah ke belakang rumah untuk melihat sudah sejauh mana pengerjaan kolam dibuat.
"Jadi, Bapak nggak perlu ngojek lagi, ya, Lis?" Senyum Bapak terkembang saat ikut membantu pengerjaan pembuatan kolam ikan yang sudah berjalan 50 persen.
"Enggak, Pak. Bismillah saja. Semoga usaha kita ini berhasil." Aku menyahut dengan senyum terukir di bibir. Bangga rasanya bisa melihat Bapak bahagia.
Bapak manggut-manggut mengaminkan.
"Mas Rio sudah pulang, Pak?" Aku mengalihkan pembicaraan saat menyadari suami Asti tak terlihat di sini.
"Sudah. Dia kan kerja malam. Harus tidur katanya biar nanti malam nggak oleng." Bapak terkekeh di sela-sela kegiatannya menarik terpal untuk kolam ikan hias kami nanti.
"Oh … iya-iya." Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum. Senang rasanya melihat Bapak bisa seceria ini sekarang.
"Pram sama keluarganya sudah tau, Lis, kamu menang undian?" Bapak menajamkan pandangan saat menatapku.
"Belum, Pak. Nanti saja … kalau Listi sudah siap keluar dari rumah itu. Baru Listi ngasih tau," ucapku lirih.
"Memangnya … Pram setuju keluar dari rumah itu?" tanya Bapak dengan menunjukkan raut wajah penasaran. Aku menggeleng pelan. Dari dulu, Bapak tahu persis bagaimana Mas Pram yang keukeuh tak mau meninggalkan rumah orang tuanya dengan alasan ingin mengayomi adik bungsu dan ibunya yang janda.
"Biar nanti Listi keluar sama Riana saja, Pak dari rumah itu." Lagi-lagi aku berucap lirih sambil menantikan respon Bapak selanjutnya.
"Astaghfirullah, Lis … kamu mau kabur dari rumah itu?" Bapak terbelalak sambil menunjukkan raut penuh keterkejutan.
"Listi pingin pisah, Pak sama Mas Pram."
"Apa? Jangan main-main, Lis. Memangnya Pram salah apa sampai kamu berpikir begitu? Tidak baik, Nak menggampangkan perceraian seperti itu." Bapak menghentikan kegiatannya dan berjalan mendekatiku.
"Kalau Bapak tanya Mas Pram salah apa sama Listi, jelas kesalahannya banyak, Pak. Dia udah dzolim sama Listi selama ini."
"Dzolim bagaimana?"
Aku terdiam. Selama tiga tahun berumah tangga, aku memang tak pernah menceritakan keburukan suamiku dan keluarganya padaku. Tak ingin Bapak makin terbebani pikirannya jika sampai tahu aku tak bahagia.
"Udah nggak usah dipikirkan, Pak. Kita fokus saja dengan usaha kita ini." Aku berusaha mengalihkan perhatian Bapak agar tak membahas soal Mas Pram dan keluarganya lagi.
"Tapi Bapak nggak setuju kalau kamu sampai cerai dengan Pram. Kasian Riana, Lis. Apa lagi dia anak perempuan. Ah … nggak tega kalau sampai kamu nikah lagi dan punya ayah tiri. Bapak banyak nonton berita-beritanya di tivi. Ngeri, Lis …. Ngeri!"
Deg. Sampai sejauh itu pikiran Bapak? Aku saja tak terpikir sampai ke sana.
Sejenak, mulutku terkunci. Hati tiba-tiba didera perasaan dilema setelah mendengar penuturan Bapak tadi.
Sebelum ini, aku saja tak terpikir bakal menikah lagi jika sampai bercerai dengan Mas Pram. Tapi apa iya aku bisa menolak jika ada cinta yang datang untukku? Umurku saja baru 23 tahun sekarang. Perjalanan hidup masih panjang.
Ah … bagaimana ini? Pusing ….
***
Sebelum maghrib, sesuai janji aku sudah pulang ke rumah gedong mertuaku.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumussalam." Salamku disahut dengan jawaban malas Mayang dari dalam.
Deg. Jantungku seakan hampir terkeluar dari tempatnya manakala membuka pintu, yang kudapati bukanlah Mayang yang berdiri di ruang tamu, tapi Mas Pram.
Tumben sekali dia sudah pulang kerja jam segini?
"Dari mana kamu?" tanya Mas Pram setengah membentak. Raut wajahnya merah padam seperti tomat merah yang siap ditumis bersama buncis dan udang. (Duh, Mak otor jadi laper wkwkwk.)
"Dari … dari rumah Bapak, Mas." Aku menjawab gugup pertanyaan suamiku yang menatapku dengan tatapan tajam menukik.
"Siapa yang memberi ijin?" tanyanya sambil berkacak piggang—persis seperti ibunya. Huh! Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya.
"Tadi aku udah ijin sama Ibu, kok," kilahku cepat.
"Kamu tahu kan, Listi. Berdosa seorang istri keluar tanpa seizin suaminya. Lagian, ada hape canggih, bukannya WA atau SMS, kek. Malah main pergi saja. Berdosa kamu, Lis menyepelekan suami seperti ini!"
Aku memalingkan wajah dengan perasaan geram. Perlukah aku mengambilkannya kaca? Biar dia bisa introspeksi diri bagaimana dia bersikap pada anak dan istrinya selama ini?
"Kalau kamu mau semua disangkut pautkan sama agama tuh jangan setengah-setengah, Mas! Apa kamu nggak nyadar kalau selama ini kamu sudah dzolim sama aku? Tiga tahun kita nikah, kamu cuma menuntutku menunaikan kewajiban. Tapi hakku sebaagai seorang istri kamu abaikan." Aku berucap panjang lebar sambil menahan amarah dalam d**a yang kian membuncah.
"Listi …." Teriakan Mas Pram tak kupedulikan. Aku berjalan ke kamar sambil menutup kedua telinga Riana. Tak mau anak dalam gendonganku tercemar pendengarannya oleh suara lantang sang ayah. Seorang suami yang cuma pandai menuntut kewajiban istrinya tapi mengesampingkan hak-haknya.
Huh!
***
Silakan komen yang banyak kalau mau lanjut.