Cemen!

1017 Kata
"Berani kamu, Listi!" Ibu mertua membentak sambil melotot saat menatapku. Raut mukanya menunjukkan kebencian yang teramat sangat. Namun, aku menanggapi dengan santai ekspresi tak suka yang Ibu tunjukkan. Aku sudah gerah dan lelah dengan sikap sewenang-wenang mereka. Sudah saatnya aku menyuarakan kata hati yang selama ini terbelenggu oleh keadaan. Ya, kemiskinan yang ada dalam diriku membuatku terlihat lemah dan tak berdaya sebelum ini. Tapi bukankah keadaan sudah jauh berbeda sekarang? "Kenapa, Bu? Ibu nggak terima kalau Mayang harus mencuci bajunya sendiri?" tanyaku setelah menanggalkan rasa takut. Gelas berisi s**u milik Riana sejenak aku lupakan. Kali ini aku tertarik untuk mendebat mertuaku yang terlalu memanjakan putrinya yang bukan lagi seorang anak kecil. Apa Ibu tidak takut kalau Mayang bakal mendapat mertua kejam seperti dirinya? "Lalu, gunanya kamu di sini, tuh apa? Kalau nyuciin baju kami aja kamu keberatan?" sambar Mayang dengan menunjukkan wajah bengisnya yang terlihat menjengkelkan. Usianya baru 17 tahun padahal, bisa-bisanya selalu memanggil aku kamu padaku. "May, aku di sini tuh menantu, bukan pembantu!" Aku setengah membentak karena merasa Mayang masih saja memandang rendah padaku melalui pertanyaannya. Masih dengan mata mendelik, d**a ibu mertuaku tampak naik turun saat menatapku. Peduli apa? Aku sudah cukup bersabar selama tiga tahun ini. Kali ini, aku tak mau lagi jadi b***k untuk mereka yang tetap memandang rendah padaku meski segala tugas rumah telah kukerjakan. Cukup sudah, seorang Listi kalian anggap sebagai b***k, Bu. Cukup sudah. "Dengar, ya, Mayang. Suatu saat kamu pun bakal menjadi seorang istri dan menantu. Kalau kamu nggak bisa apa-apa, bagaimana nasibmu nanti kalau mendapat mertua dan ipar yang jahat seperti--." Kata-kataku kubiarkan menggantung, tapi mataku melirik Ibu dan Mayang bergantian. Membuat Ibu menyentak napas kasar. Sementara Mayang mengentakkan kakinya dengan geram. "Aku nggak mau tau, pokoknya kamu harus cuci baju-baju ini!" Mayang mengintimidasiku, tapi sama sekali tak mempengaruhiku. Aku bukan lagi Listi yang harus merasa tak enak hati karena kemiskinannya. "Kalau aku nggak mau, gimana?" Aku menantang sambil menatap Mayang tanpa rasa takut. "Ibu, liat! Istri Mas Pram sudah durhaka sekarang!" Mayang meraih tangan wanita paruh baya yang memiliki total lima anak. Namun tiga anak yang lain sudah hidup mandiri di luar kota bersama anak dan pasangan mereka. "Siapa yang durhaka, May? Aku masih berbakti mau mencucikan baju Mas Pram dan Ibu. Apa itu yang namanya durhaka?" Aku menyahut cepat. Rasanya tak terima jika dia melabeliku seperti itu. Karena nyatanya aku tak sedurhaka yang dia katakan. Ibu terdiam kaku, seperti berat untuk bersuara. "Ah … sudahlah, keburu iklannya berhenti, tuh." Ibu melepas pegangan tangan Mayang. Ibu lima anak itu lantas berlari kecil menuju ruang tamu. Aku tertawa kecil melihat Mayang yang tampak blingsatan saat sang ibu lebih mementingkan sinetron daripada dirinya. "Berani kamu ketawa, Listi?" Mayang tampak kesal saat merasa aku menertawakannya. Haha. Ini belum apa-apa gadis manja. Saat aku hengkang nanti, kamu harus mengerjakan semua sendiri. Karena aku yakin, Ibu akan sangat sayang menggelontorkan uangnya untuk membayar pembantu. "Kenapa nggak berani? Mulut juga kagak minjem sama elu," cibirku yang membuat Mayang sontak terpelongo. Ekspresinya persis seperti tahanan hukuman mati yang dapat grasi dari presiden. Mungkin begitu. "Berani kamu ngomong elu-gue ke aku?" Mayang bertanya sambil menatap tak percaya. Mungkin dia heran bagaimana wanita miskin sepertiku bisa begitu berani sekarang. "Berani, lah. Kamu bukannya istri presiden, cuma cewe SMA yang sukanya Tik Tok-an. Jadi kenapa juga aku musti takut?" Jawabanku benar-benar membuat Mayang shock. Terbukti dia tak lagi mampu berkata-kata untuk menyanggah ucapanku. Skak mat kau, Mayang. Aku pun berlalu dengan santai setelah menyambar gelas s**u milik Riana. "Ibu …." Terdengar dari dalam kamar, Mayang berteriak saat mungkin kesadarannya pulih. "Apa, sih, ah?" Ibu menyahut bersamaan dengan suara tangis dari sinetron yang tengah ia tonton. Aku hanya geleng kepala saat mengingat mertua jahat sepertinya suka menonton tayangan istri yang teraniaya. Tidakkah ia berkaca kalau dirinya sama dengan mertua jahat yang ada dalam TV? Saat membawa gelas kotor bekas pakai milik Riana ke dapur, terlihat Mayang tengah memasukkan baju-bajunya ke dalam kantong kresek besar. Mau apa? Apa dia ingin membawa baju-bajunya ke laundry? Huh, yang benar saja. Sengaja aku pura-pura tak melihat saat Mayang telah menyelesaikan pekerjaannya—memasukkan baju-baju kotornya ke dalam kantong kresek merah besar. Tak mau dicap kepo dan terlalu ambil peduli. "Mayang mau bawa ke laundry, Bu." Di depan sang ibu, adik iparku menenteng baju-baju kotornya sambil memonyongkan bibir sepanjang lima senti. "Listi … kamu jangan bikin gara-gara, ya! Cepat cuci baju Mayang! Jangan pemborosan!" Ibu bersuara lantang saat mendapati diriku berdiri tak jauh dari anak bungsu kesayangannya yang manjanya naudzubillah. "Nggak mau, Bu … kalau tangan Mayang patah atau rusak baru aku mau nyuciin bajunya." Aku berucap santai tanpa menatap mertua dan iparku. "Rusak? Emangnya remot TV?" berang Ibu sambil mencak-mencak dan menyingsingkan roknya. Aku hanya tersenyum miring melihat raut wajah mertua dan iparku yang tak sedap dipandang mata. I don't care. "Udah, si, tinggal masukin aja ke mesin cuci! Susah amat!" Ibu berucap geram pada Mayang saat aku jalan lenggang kangkung ke kamar untuk menghampiri Riana. "Tapi kurang bersih, Bu … apa lagi kebanyakan ini seragam." Terdengar Mayang menggerutu. Bodo amat. "Ya udah sana, tinggal kucek! Nanti tinggal bilas pake mesin, susah amat!" "Males, Bu …." Huh … mengerjakan hal ringan seperti itu saja malas, suka mengecapku sebagai pemalas. Dasar ipar laknat! "Pokoknya, Ibu nggak mau ngasih uang kalau kamu mau bawa baju-bajumu ke laundry! Pemborosan!" Kalimat Ibu terdengar penuh penekanan di kata terakhir. "Iih Ibu …." Tak berselang lama, aku kembali berjalan ke dapur sekadar untuk menyapu lantai dapur sekaligus ingin memantau apa yang dilakukan adik iparku sekarang. Aku terus menahan tawa saat mendapati gadis yang selama ini terkenal manja dan taunya cuma bersosmed ria, tengah menyikat baju seragamnya dengan gusar di kamar mandi. "Nah … gitu! Sekalian latihan … siapa tahu ntar kamu dapatnya mertua dan ipar yang nyebelinnya kayak kamu. Jadi ntar kamu terbiasa!" Mayang yang tengah menyikat bajunya sambil mendengarkan lagu sontak mendongak mendengar ucapanku. "Ibu …." Mayang berteriak memanggil ibunya tapi tak dipedulikan. Kasian! Aku menyilangkan tangan di depan d**a sambil menyeringai padanya. Dasar cemen! Sukanya mengadu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN